Kebijakan Sistem Pembayaran Indonesia Disorot AS, Pemerintah Pastikan Evaluasi Terus Dilakukan

Kuatbaca.com - Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini menyoroti sejumlah kebijakan terkait sistem pembayaran di Indonesia, yang dianggap sebagai hambatan dalam hubungan perdagangan bilateral. Sorotan tersebut muncul dalam laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) yang dirilis pada akhir Maret 2025. Dalam dokumen tersebut, Indonesia masuk dalam daftar negara mitra dagang yang dinilai memiliki regulasi yang bisa menghambat partisipasi pelaku usaha asing, terutama dalam sektor jasa keuangan digital dan sistem pembayaran elektronik.
1. QRIS dan GPN Masuk dalam Fokus Perhatian
Salah satu kebijakan yang menjadi perhatian adalah penerapan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang dikembangkan oleh Bank Indonesia. Sistem ini, meski bertujuan untuk menyederhanakan transaksi digital di dalam negeri, dinilai masih kurang membuka ruang bagi pelaku internasional untuk berpartisipasi secara aktif. Kekhawatiran utama yang disampaikan oleh AS adalah minimnya keterlibatan pihak internasional dalam proses konsultasi pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan hambatan integrasi dengan sistem pembayaran global.
Selain QRIS, kebijakan terkait Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) juga menjadi sorotan. Sistem GPN mewajibkan seluruh transaksi kartu debit dan kredit domestik diproses melalui lembaga switching yang berbasis di Indonesia. Di sisi lain, regulasi tersebut membatasi kepemilikan asing dalam lembaga switching hanya sebesar 20%, yang dianggap sebagai pembatasan partisipasi asing dalam ekosistem transaksi digital domestik.
2. Pembatasan Ekuitas Asing dalam Layanan Keuangan
AS juga menyoroti sejumlah pembatasan terkait kepemilikan asing di sektor keuangan Indonesia, termasuk layanan pembayaran, perusahaan pelaporan kredit swasta, hingga perbankan. Dalam beberapa regulasi yang diterbitkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), investor asing hanya diperbolehkan memiliki saham dalam batas tertentu. Misalnya, untuk operator layanan pembayaran nonbank, kepemilikan asing dibatasi hingga 85%, namun hak suara hanya diperbolehkan maksimal 49%. Sementara untuk operator infrastruktur sistem pembayaran, batas kepemilikan asing hanya 20%.
Kebijakan ini, menurut pihak AS, berpotensi membatasi ruang gerak perusahaan teknologi dan keuangan mereka yang ingin masuk ke pasar Indonesia. Pembatasan ini juga dianggap belum sepenuhnya memberikan insentif yang menarik untuk transfer teknologi maupun pembangunan ekosistem digital bersama.
3. Respons Pemerintah Indonesia terhadap Sorotan AS
Menanggapi laporan tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan telah melakukan evaluasi dan koordinasi dengan Bank Indonesia serta OJK. Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, masukan dari pemerintah AS telah dicermati, termasuk yang terkait dengan sektor keuangan dan sistem pembayaran.
Dalam pernyataan resminya, Airlangga mengatakan, “Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika,” ujarnya dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Perekonomian RI.
Namun, hingga saat ini belum ada pernyataan resmi mengenai perubahan spesifik yang akan diambil sebagai tindak lanjut atas laporan tersebut. Pemerintah menegaskan bahwa pembahasan masih terus berlanjut dalam konteks negosiasi dagang yang lebih luas, termasuk tarif resiprokal yang akan diberlakukan oleh AS terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia.
4. Arah Kebijakan: Membangun Keseimbangan antara Kepentingan Nasional dan Global
Di tengah tekanan global dan sorotan negara mitra dagang, Indonesia tetap menegaskan bahwa seluruh kebijakan yang diterapkan bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional, memperkuat infrastruktur keuangan domestik, dan mendukung pengembangan industri dalam negeri. Penggunaan sistem seperti QRIS dan GPN dimaksudkan untuk menciptakan ekosistem pembayaran yang lebih efisien, aman, dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Pemerintah juga menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara perlindungan industri lokal dengan keterbukaan terhadap investasi asing. Dalam waktu dekat, diskusi-diskusi bilateral akan terus dilakukan guna mencari titik temu yang adil bagi kedua negara.