Kebijakan Pembayaran QRIS dan Pembatasan Ekuitas Asing yang Memicu Kontroversi dengan Amerika Serikat

20 April 2025 15:38 WIB

Kuatbaca - Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menyampaikan kritik terkait sejumlah kebijakan yang diterapkan oleh Indonesia, terutama terkait dengan sistem pembayaran nasional Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan pembatasan kepemilikan asing pada layanan jasa pembayaran. Dalam laporan yang dirilis pada akhir Maret 2025 oleh United States Trade Representative (USTR), kebijakan-kebijakan ini dianggap dapat menghambat perdagangan dan kerjasama ekonomi antara kedua negara. Hal ini menjadi perhatian utama dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang mencakup hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagang, termasuk Indonesia.

QRIS: Tantangan bagi Perusahaan Pembayaran Internasional

Salah satu kebijakan yang mendapat sorotan adalah implementasi sistem pembayaran QRIS yang diterapkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kebijakan ini, yang tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21/18/PADG/2019, mengatur penggunaan kode QR standar untuk pembayaran, yang disinyalir menguntungkan sistem pembayaran domestik Indonesia. USTR mengungkapkan kekhawatiran perusahaan-perusahaan pembayaran internasional, termasuk penyedia layanan dan bank asal AS, yang merasa tidak diberi kesempatan untuk memberikan masukan atau memperoleh penjelasan mengenai potensi perubahan yang dapat terjadi dalam sistem tersebut.

Para pelaku bisnis dari AS menilai bahwa kebijakan ini kurang memberi ruang bagi penyedia layanan pembayaran internasional untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem pembayaran yang sudah ada, serta dinilai kurang transparan dalam proses pengambilannya. Kondisi ini kemudian memicu ketidakpastian dan potensi hambatan dalam memperlancar transaksi lintas negara.

Pembatasan Kepemilikan Asing pada Layanan Pembayaran

Selain QRIS, pembatasan ekuitas asing pada sektor pembayaran juga menjadi isu yang menarik perhatian pemerintah AS. Dalam Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020, yang berlaku sejak Juli 2021, Bank Indonesia menetapkan batasan kepemilikan asing pada operator layanan pembayaran nonbank hingga 85%. Namun, investor asing hanya diperbolehkan memiliki 49% saham dengan hak suara. Untuk operator infrastruktur sistem pembayaran, batasan kepemilikan asingnya bahkan lebih ketat, yaitu hanya 20%. Kebijakan ini dinilai membatasi partisipasi investor asing dalam sektor pembayaran yang semakin berkembang pesat, serta dapat mengurangi potensi investasi dari luar negeri.

USTR mencatat adanya kekhawatiran dari berbagai pihak mengenai kurangnya konsultasi dengan pemangku kepentingan internasional sebelum kebijakan tersebut diterapkan. Hal ini menambah ketidakpastian di kalangan pelaku bisnis global yang ingin terlibat lebih dalam dalam pasar Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki alasan untuk melindungi industri dalam negeri, banyak pihak menilai bahwa pembatasan ini justru akan menghalangi pertumbuhan sektor pembayaran yang lebih inovatif dan kompetitif.

Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan Pembatasan Akses Lintas Negara

Isu lainnya yang juga mendapat perhatian adalah kebijakan terkait Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Berdasarkan Peraturan BI No. 19/8/PBI/2017, transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik diwajibkan untuk diproses melalui lembaga switching yang terdaftar dan memiliki izin dari Bank Indonesia. Di samping itu, peraturan ini juga menetapkan pembatasan kepemilikan asing pada perusahaan penyedia layanan switching, dengan batas maksimal 20% untuk memperoleh izin terkait GPN.

Selain itu, perusahaan asing yang ingin berpartisipasi dalam GPN diwajibkan untuk menjalin kemitraan dengan penyedia layanan switching GPN Indonesia dan mendukung pengembangan industri pembayaran lokal serta transfer teknologi. Kebijakan ini dipandang sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada penyedia layanan pembayaran internasional, namun pada saat yang sama dapat membatasi akses perusahaan asing ke pasar Indonesia, yang dapat berdampak pada kompetisi di sektor ini.

Kebijakan-kebijakan yang diambil Indonesia, baik yang terkait dengan QRIS, pembatasan ekuitas asing, maupun GPN, telah memunculkan ketegangan dalam hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat. Dalam negosiasi yang berlangsung, AS mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kebijakan-kebijakan ini bisa membatasi akses perusahaan-perusahaan mereka ke pasar Indonesia dan merugikan perdagangan dua arah. Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia dan OJK untuk mencari solusi terhadap masukan yang diberikan oleh AS.

Namun, meskipun telah ada pembicaraan antara kedua pihak, Airlangga belum memberikan rincian lebih lanjut mengenai langkah konkret yang akan diambil oleh pemerintah Indonesia dalam merespons kekhawatiran yang disampaikan oleh AS. Pemerintah Indonesia, melalui kementerian terkait, berusaha menemukan jalan tengah yang bisa menjaga kepentingan ekonomi domestik sekaligus membuka peluang bagi kerjasama yang lebih luas dengan mitra dagang utama seperti Amerika Serikat.

Polemik mengenai kebijakan QRIS dan pembatasan ekuitas asing di Indonesia mencerminkan dinamika antara upaya untuk melindungi industri dalam negeri dan kebutuhan untuk mendorong keterbukaan pasar bagi investor internasional. Meskipun Indonesia memiliki hak untuk menetapkan kebijakan yang mendukung sektor keuangan dan pembayaran lokal, penting untuk mempertimbangkan dampak dari kebijakan tersebut terhadap hubungan perdagangan dengan negara-negara mitra, khususnya yang memiliki pengaruh besar seperti Amerika Serikat.

Indonesia harus menyeimbangkan antara mempertahankan kepentingan ekonomi nasional dan membuka pintu bagi inovasi serta kolaborasi internasional yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Jika tidak, kebijakan-kebijakan ini berisiko menjadi hambatan yang memperlambat aliran perdagangan dan investasi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi negara.

Fenomena Terkini






Trending