"Isi Kepala" Trump di Balik Tarif Impor Tinggi: Perspektif Bisnis yang Jadi Kebijakan Negara

13 April 2025 13:24 WIB
chairul-tanjung-di-the-yudhoyono-institute-1744514898185_169.jpeg

Kuatbaca - Kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terus mencuri perhatian dunia. Salah satu langkah kontroversialnya adalah penerapan tarif impor tinggi ke berbagai negara, termasuk negara-negara mitra dagang utama. Di balik keputusan ini, banyak pihak menilai bahwa latar belakang Trump sebagai seorang pebisnis memegang peranan besar dalam membentuk arah kebijakan tersebut. Hal inilah yang disoroti oleh Chairul Tanjung, tokoh bisnis nasional yang akrab disapa CT.

Cara Pandang Pebisnis dalam Politik Ekonomi

Dalam sebuah forum diskusi global bertajuk geopolitik dan dinamika ekonomi dunia, Chairul Tanjung membagikan pandangannya mengenai pola pikir Trump. Menurut CT, Trump memandang dunia bukan dari kacamata politisi atau negarawan pada umumnya, melainkan melalui sudut pandang seorang pebisnis tulen. Seorang pengusaha, kata CT, cenderung berpikir transaksional—semua harus menguntungkan. Dan filosofi itu sangat terasa dalam keputusan Trump terkait kebijakan perdagangan internasional.

Kebijakan tarif impor yang tinggi, bagi Trump, bukan sekadar alat proteksi ekonomi, melainkan strategi bisnis untuk memastikan Amerika Serikat mendapatkan posisi tawar yang kuat dalam perdagangan global. Di bawah slogannya yang terkenal Make America Great Again, Trump menegaskan bahwa keuntungan nasional menjadi prioritas utama—bahkan jika harus mengorbankan prinsip kerja sama multilateral yang sudah mapan.

Periode Kedua, Kebijakan Lebih Agresif

Kebijakan tarif ini bukan barang baru. Pada periode pertama kepemimpinannya di 2017, Trump sudah mulai menerapkan berbagai bentuk tarif terhadap negara-negara mitra dagang. Namun, memasuki periode kedua, pendekatan tersebut menjadi jauh lebih agresif. Daftar negara yang dikenai bea masuk tinggi semakin panjang, dan tarif yang dikenakan juga meningkat drastis.

Chairul Tanjung menilai, langkah ini mencerminkan konsistensi Trump yang menginginkan Amerika berada di posisi dominan dalam setiap transaksi global. Baginya, perdagangan bebas hanya menguntungkan jika AS berada di atas angin. Jika tidak, maka tarif menjadi alat pemaksaan yang digunakan untuk menyeimbangkan kembali kekuatan pasar. Dengan kata lain, dunia dipaksa bermain di lapangan yang ditentukan oleh AS.

Menariknya, menurut CT, Trump juga menggunakan kebijakan tarif ini sebagai alat negosiasi. Ia melihat bahwa Trump tak segan-segan mengejek negara-negara yang terlalu bergantung pada AS dan kemudian “memohon” agar tarifnya diturunkan. Taktik ini sejatinya mencerminkan gaya negosiasi khas dunia usaha, yaitu melakukan tekanan maksimal di awal agar bisa mendapatkan konsesi yang menguntungkan.

Namun, tidak semua negara tunduk pada tekanan tersebut. China menjadi contoh utama bagaimana sebuah negara mampu berdiri sejajar dan bahkan membalas kebijakan tarif AS dengan langkah serupa. Ketegangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar ini kemudian menyulut perang dagang yang berdampak luas, tidak hanya pada kedua negara, tapi juga terhadap kestabilan ekonomi global secara keseluruhan.

Perang Dagang AS-China: Titik Kritis Global

Trump menetapkan tarif mencapai 145% terhadap berbagai produk dari China. Sebagai balasan, China menaikkan tarif menjadi 125%, naik signifikan dari sebelumnya yang hanya 84%. Ini bukan sekadar angka dalam perang dagang—ini adalah pernyataan sikap dari dua negara dengan kekuatan ekonomi besar yang saling unjuk kekuatan.

Chairul Tanjung menilai bahwa perang dagang ini telah menciptakan suasana ketidakpastian global. Investor menahan diri, pelaku usaha was-was, dan negara-negara berkembang harus menyesuaikan langkah agar tidak terseret dalam arus besar dua raksasa ekonomi tersebut.

Meskipun pendekatan Trump dianggap tegas dan berpihak pada kepentingan nasional, banyak pihak mempertanyakan efektivitas jangka panjangnya. Mengubah wajah ekonomi dunia tidak bisa semata-mata dilakukan dengan gaya bisnis satu arah. Ada aspek diplomasi, kerja sama internasional, dan keseimbangan geopolitik yang perlu dipertimbangkan.

Namun di sisi lain, pendekatan yang “unorthodox” ini juga memberi pesan kuat: AS tidak lagi bersedia memimpin dengan prinsip altruistik, melainkan melalui kalkulasi keuntungan konkret. Dunia kini menyaksikan bagaimana ekonomi global berubah, bukan hanya karena dinamika pasar, tetapi juga karena keputusan satu orang yang melihat dunia sebagai papan catur bisnis.

Kebijakan tarif impor tinggi yang diterapkan oleh Donald Trump mencerminkan perubahan besar dalam arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Di balik kebijakan itu, tampak jelas cara berpikir seorang pebisnis yang tak ingin rugi dalam setiap transaksi. Dan seperti yang disampaikan oleh Chairul Tanjung, dunia kini tidak hanya berhadapan dengan kebijakan ekonomi, tetapi juga dengan filosofi bisnis pribadi yang telah menjadi kebijakan negara.

Ke depan, tantangan bagi negara-negara lain adalah bagaimana menyikapi strategi dagang semacam ini. Apakah akan mengikuti permainan Trump, atau justru menciptakan poros kekuatan baru yang lebih seimbang? Waktu akan menjawab. Namun satu hal yang pasti: dunia bisnis dan politik kini semakin sulit dipisahkan.

Fenomena Terkini






Trending