Harga Kelapa Naik Drastis, Mendag Ungkap Penyebabnya

20 April 2025 11:50 WIB
menteri-perdagangan-mendag-budi-santoso-1745115949589_169.jpeg

Kuatbaca.com - Kenaikan harga kelapa bulat yang signifikan dalam beberapa waktu terakhir akhirnya mendapat perhatian langsung dari Menteri Perdagangan, Budi Santoso. Dalam penjelasannya, Budi menyebut bahwa lonjakan harga ini dipicu oleh tingginya permintaan ekspor, terutama dari pasar luar negeri seperti Tiongkok. Permintaan global terhadap kelapa mentah meningkat tajam, menyebabkan banyak eksportir lebih memilih menyalurkan produk mereka ke luar negeri ketimbang memasok pasar domestik.

"Kelapa naik harganya karena ekspor, terutama ke Cina. Harga di sana sedang tinggi, sedangkan industri dalam negeri belinya masih murah. Jadinya eksportir lebih memilih menjual ke luar, dan pasokan dalam negeri pun jadi langka," ungkap Budi saat ditemui di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Minggu (20/4/2025).

1. Ketidakseimbangan Harga Antara Ekspor dan Pasar Lokal

Permasalahan utama yang mencuat dari kondisi ini adalah ketimpangan harga antara pasar ekspor dan pasar dalam negeri. Para pelaku industri lokal belum mampu menyesuaikan harga pembelian kelapa dari para petani atau eksportir. Sementara itu, eksportir mendapatkan harga jauh lebih tinggi di luar negeri, sehingga terjadi pergeseran pasokan yang signifikan ke pasar global.

Hal ini berdampak langsung pada ketersediaan kelapa di pasar lokal. Harga kelapa bulat yang semula dijual di kisaran Rp10.000 - Rp15.000 per butir, kini melonjak drastis hingga menyentuh Rp25.000 per butir, tergantung ukuran dan kualitas. Kenaikan ini dirasakan langsung oleh masyarakat, khususnya pedagang dan konsumen rumah tangga yang mengandalkan kelapa sebagai bahan pokok harian, baik untuk memasak maupun usaha kuliner.

2. Dampak Terhadap Industri Kuliner dan UMKM

Lonjakan harga kelapa ini bukan hanya memberatkan konsumen rumah tangga, tapi juga memberikan dampak besar bagi pelaku UMKM, khususnya di sektor makanan dan minuman. Industri kuliner tradisional seperti pembuat santan, kue basah, dan olahan makanan berbahan kelapa parut ikut terdampak dengan naiknya harga bahan baku secara tiba-tiba.

Seorang pedagang di Pasar Rawa Bebek, Usin, mengeluhkan bahwa harga kelapa parut melonjak dalam hitungan hari. “Biasanya saya beli Rp10.000, paling mahal Rp15.000. Sekarang bisa sampai Rp25.000 per butir. Itu pun kadang susah dapat stoknya,” ujar Usin yang sehari-hari menjual kelapa parut dan santan kelapa di pasar tradisional tersebut.

3. Upaya Pemerintah Menjembatani Eksportir dan Industri Lokal

Dalam menghadapi situasi ini, Kementerian Perdagangan mencoba mengambil langkah konkrit dengan mempertemukan pelaku industri lokal dan eksportir untuk mencari solusi bersama. Sayangnya, hingga saat ini belum ditemukan kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak.

“Kami sudah mempertemukan antara eksportir dengan pelaku usaha industri dalam negeri. Tapi memang belum ada kesepakatan. Kita akan cari solusi terbaik agar kedua sisi tidak dirugikan,” ujar Budi Santoso, menegaskan komitmennya dalam mencari titik tengah untuk mengatasi gejolak harga.

4. Perlunya Kebijakan Penyeimbang untuk Stabilkan Harga

Melihat kondisi ini, pemerintah didesak untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekspor dan konsumsi domestik. Salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan adalah penetapan kuota ekspor kelapa atau insentif bagi pelaku industri lokal agar bisa bersaing dalam hal harga beli dari petani.

Stabilisasi harga bahan pangan pokok seperti kelapa penting dilakukan untuk menghindari gejolak sosial dan ekonomi, terutama di kalangan bawah dan UMKM. Pemerintah juga perlu membuka dialog lebih luas dengan asosiasi petani, eksportir, dan pelaku industri untuk menciptakan sistem perdagangan yang adil dan berkelanjutan.

Fenomena Terkini






Trending