Harga Kelapa Melonjak Tajam, Ekspor Jadi Biang Keladi?

21 April 2025 09:10 WIB
menteri-perdagangan-mendag-budi-santoso-1745114535765_169.jpeg

Kuatbaca.com - Belakangan ini, masyarakat dikejutkan dengan lonjakan harga kelapa bulat yang cukup signifikan di berbagai pasar tradisional. Jika biasanya kelapa dijual dengan harga Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per butir, kini banderolnya bisa mencapai Rp 25.000, tergantung ukuran. Kondisi ini tentu memengaruhi banyak pihak, khususnya pelaku usaha kecil yang bergantung pada kelapa sebagai bahan baku utama.

Di Pasar Rawa Bebek, Jakarta, misalnya, para pedagang mengeluhkan naiknya harga kelapa yang dirasa sangat membebani pembeli. Salah satu pedagang kelapa parut, Usin, menyebut kenaikan harga ini terjadi secara bertahap dalam beberapa minggu terakhir.

“Sekarang Rp 20.000–25.000, tergantung ukurannya. Kalau yang kecil ya Rp 20.000, kalau yang gede Rp 25.000. Kalau lagi normal yang gede paling Rp 15.000, yang kecil Rp 10.000,” ujar Usin saat ditemui di lapaknya.

1. Permintaan Ekspor Tinggi, Pasokan Dalam Negeri Tersendat

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan bahwa lonjakan harga kelapa ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan dari luar negeri. Negara seperti Tiongkok saat ini menjadi salah satu importir utama kelapa dari Indonesia. Harga yang lebih tinggi di pasar ekspor membuat para eksportir lebih memilih menjual produknya ke luar negeri dibandingkan ke pasar domestik.

“Itu kan kelapa naik harganya karena ekspor. Ekspor dari Cina jadi harga naik. Sementara industri dalam negeri belinya dengan harga murah, sehingga eksportir lebih suka berjual. Jadinya langka,” terang Budi saat diwawancarai di Sarinah, Jakarta Pusat, Minggu (20/5/2025).

Karena lebih menguntungkan secara ekonomi, banyak pelaku usaha kelapa memilih jalur ekspor, dan akhirnya pasokan untuk pasar lokal menurun drastis.

2. Pemerintah Upayakan Solusi Lewat Dialog dengan Pelaku Usaha

Merespons kondisi ini, Kementerian Perdagangan telah memfasilitasi pertemuan antara eksportir dan pelaku industri dalam negeri. Tujuannya untuk mencari titik temu agar kedua pihak dapat tetap menjalankan usahanya tanpa merugikan satu sama lain. Namun, sampai saat ini, dialog tersebut belum menghasilkan kesepakatan yang jelas.

“Kemarin sudah ketemu antara eksportir dengan pelaku usaha industri. Tapi belum ada kesepakatan. Kita cari nanti solusinya yang terbaik,” kata Budi menambahkan.

Pemerintah berharap dengan adanya diskusi yang terbuka, maka akan ditemukan skema harga atau distribusi yang adil dan tidak memberatkan salah satu pihak.

3. Usulan Pembatasan Ekspor Masih Dalam Pertimbangan

Salah satu opsi yang sempat dilontarkan adalah penghentian sementara ekspor kelapa demi menstabilkan harga dalam negeri. Namun, Budi menegaskan bahwa wacana tersebut masih perlu pembahasan lebih dalam agar tidak menimbulkan kerugian pada pihak eksportir maupun pelaku industri lokal.

“Nah itu salah satunya dalam rangka itu kita ketemu dulu. Sebelum dibahas lebih lanjut ya. Jadi biar tahu maunya seperti apa. Jangan sampai nanti salah satu dirugikan misalnya. Kita temukan dulu ya,” tegasnya.

Langkah ini mencerminkan upaya pemerintah dalam menyeimbangkan kepentingan pasar lokal dan kebutuhan ekspor, sekaligus menjaga stabilitas harga bahan pokok.

4. Harapan Konsumen: Harga Kembali Terjangkau

Lonjakan harga kelapa tentu menimbulkan keresahan bagi masyarakat luas, terutama rumah tangga dan pelaku usaha makanan seperti warung nasi uduk, tukang es kelapa, hingga industri kecil menengah yang mengandalkan kelapa sebagai bahan baku utama. Mereka berharap pemerintah segera menemukan solusi yang efektif agar harga kelapa kembali stabil dan terjangkau.

Kondisi ini juga menjadi pengingat pentingnya menjaga pasokan bahan pangan pokok di dalam negeri, tanpa mengabaikan potensi ekspor yang memang mendatangkan devisa. Kolaborasi antara pemerintah, eksportir, dan pelaku industri lokal menjadi kunci agar keseimbangan itu tercapai.

Fenomena Terkini






Trending