Kuatbaca - Harga ayam hidup di tingkat peternak saat ini tengah menghadapi penurunan yang cukup tajam. Berdasarkan data terbaru, harga rata-rata ayam hidup nasional berada di kisaran Rp 18.375 per kilogram, jauh di bawah Harga Acuan Pembelian (HAP) yang telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 25.000 per kilogram. Kondisi ini mencerminkan adanya selisih hingga hampir 26,5% lebih rendah dibandingkan harga ideal yang seharusnya diterima peternak.
Pulau Jawa sebagai wilayah produksi ayam terbesar di Indonesia juga tidak luput dari fenomena ini. Di berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Banten, hingga Jawa Timur, harga ayam hidup berkisar antara Rp 18.000 hingga Rp 19.500 per kilogram. Penurunan harga ini turut memengaruhi kondisi peternakan rakyat yang kini berada dalam tekanan cukup serius.
Satuan Tugas Pangan pun turun tangan melakukan investigasi untuk mengidentifikasi akar permasalahan. Salah satu temuan penting adalah bahwa harga pembelian ayam hidup di lapangan tidak selalu mengikuti HAP yang ditetapkan pemerintah. Alih-alih mengacu pada regulasi, penentuan harga lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika harian pasar.
Peternak cenderung menyesuaikan harga berdasarkan kondisi stok, kebutuhan arus kas, dan kesepakatan informal dengan pelaku usaha lainnya. Dengan kata lain, sistem penentuan harga menjadi sangat fleksibel dan cenderung ditentukan oleh negosiasi atau tawar-menawar harian, bukan standar yang telah ditetapkan.
Masalah lainnya yang turut memperparah situasi adalah dominasi peran broker atau perantara dalam menentukan harga akhir transaksi. Banyak pelaku usaha menjual ayam hidup dengan harga yang sangat bergantung pada penawaran yang diberikan oleh para perantara tersebut. Akibatnya, harga yang diterima peternak bisa sangat bervariasi dan sering kali tidak mencerminkan biaya pokok produksi (HPP).
Kondisi ini makin rumit ketika terjadi panic selling, yakni saat harga di pasaran sedang rendah dan peternak atau perusahaan ternak memilih mempercepat panen dan menjual ayam di bawah harga acuan demi menghindari kerugian yang lebih besar. Strategi ini memang membantu mengurangi kerugian jangka pendek, tapi justru memperbesar tekanan pasokan di pasar dan membuat harga semakin turun.
Penurunan harga ayam hidup ini tak hanya berdampak pada peternak, tapi juga berpengaruh langsung ke harga ayam potong yang dijual di pasar. Harga daging ayam secara nasional saat ini berkisar Rp 34.856 per kilogram, atau sekitar 12,86% lebih rendah dari Harga Acuan Penjualan (HAP) yang seharusnya berada di angka Rp 40.000 per kilogram.
Beberapa daerah bahkan mencatat harga daging ayam yang sangat rendah. Misalnya di Sulawesi Selatan harga ayam menyentuh Rp 27.336/kg, sedangkan di Kalimantan Selatan dan Aceh berada di bawah Rp 29.000/kg. Penurunan ini memang menguntungkan konsumen dalam jangka pendek, namun menjadi alarm bagi keberlanjutan industri peternakan.
Menanggapi situasi ini, sejumlah langkah perbaikan mulai dibahas. Salah satu usulan adalah peningkatan kualitas produksi ayam hidup dan produk turunannya. Dengan kualitas yang lebih baik, produk ayam Indonesia diharapkan mampu menembus pasar ekspor dan tidak lagi tergantung sepenuhnya pada pasar domestik yang fluktuatif.
Langkah ini tentunya memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dalam memberikan pelatihan, subsidi pakan, dan membuka akses pasar luar negeri. Di saat yang sama, perlu ada pengawasan lebih ketat agar harga acuan pemerintah bisa dijadikan rujukan yang benar-benar dijalankan oleh seluruh pelaku usaha di rantai pasok ayam.
Anjloknya harga ayam hidup adalah persoalan kompleks yang bukan hanya soal pasokan dan permintaan semata. Ketidakteraturan dalam penentuan harga, dominasi broker, hingga strategi panic selling membuat harga jatuh bebas dan merugikan banyak pihak. Ke depannya, sinergi antara pemerintah, peternak, dan pelaku usaha dibutuhkan agar industri ayam tidak hanya bertahan, tetapi bisa berkembang lebih sehat dan berdaya saing hingga ke pasar internasional.