Gelombang PHK Menghantam: 18 Ribu Pekerja Kehilangan Mata Pencaharian

7 April 2025 13:04 WIB
phk_169.jpeg

Kuatbaca - Awal tahun 2025 rupanya menjadi periode penuh guncangan bagi ribuan pekerja di Indonesia. Dalam waktu dua bulan saja, lebih dari 18.000 orang kehilangan pekerjaan akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Lonjakan angka ini menandakan adanya krisis yang tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja.

PHK Massal: Realita Pahit Dunia Kerja

Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 18.610 orang resmi tercatat sebagai korban PHK hingga akhir Februari 2025. Padahal, pada bulan Januari, jumlahnya masih di angka 3.325 orang. Artinya, hanya dalam waktu satu bulan, terjadi lonjakan hingga hampir lima kali lipat.

Yang lebih mencengangkan, dari total angka tersebut, lebih dari separuhnya berasal dari wilayah Jawa Tengah. Ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap sektor industri tidak hanya terkonsentrasi di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, tetapi juga menyebar ke daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai pusat produksi nasional.

Legislator Serukan Peta Mitigasi Industri

Menanggapi fenomena ini, anggota Komisi IX DPR RI, Zainul Munasichin, mendorong pemerintah untuk mengambil langkah lebih proaktif. Ia mengusulkan agar Kementerian Ketenagakerjaan segera menyusun peta mitigasi berbasis kluster industri di Indonesia. Peta ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi keuangan perusahaan di berbagai sektor secara lebih rinci.

Dengan adanya pemetaan tersebut, perusahaan bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori: sangat sehat, sehat, dan tidak sehat. Kategori ini tidak hanya menjadi indikator, tetapi juga sebagai dasar dalam menentukan perusahaan mana yang rawan melakukan PHK dan mana yang masih mampu bertahan.

Dalam situasi ekonomi global yang tengah bergejolak, Zainul menilai pendekatan pemerintah perlu disesuaikan. Ia menyebut, saat ini sudah tidak realistis lagi jika hanya mengandalkan pendekatan "kerja tetap" atau mencegah PHK dengan segala cara. Dunia usaha terus bergerak, dan tekanan global membuat banyak perusahaan harus beradaptasi cepat — termasuk dalam hal efisiensi tenaga kerja.

Sebagai solusi alternatif, Zainul mendorong strategi “tetap bekerja” — sebuah pendekatan di mana pemerintah, bersama sektor swasta, menyiapkan skema transisi pekerjaan yang cepat bagi korban PHK. Artinya, ketika seseorang di-PHK hari ini, dalam hitungan hari atau minggu ke depan ia sudah harus bisa kembali bekerja di tempat lain. Baik melalui program reskilling, job matching, atau penempatan kerja lintas sektor.

Intervensi Pemerintah Diperlukan, Bukan Hanya Retorika

Pemerintah dinilai perlu mengambil peran lebih aktif, bukan hanya menunggu laporan atau sekadar memberikan imbauan. Bantuan seperti keringanan pajak, insentif operasional, atau subsidi bagi perusahaan dengan kondisi keuangan lemah bisa menjadi strategi jangka pendek untuk menahan laju PHK.

Namun, dalam jangka panjang, skema perlindungan tenaga kerja berbasis data dan respons cepat adalah keharusan. Dunia kerja tidak lagi sama seperti dulu. Perubahan digital, otomatisasi, hingga perang dagang dan tarif impor dari negara besar seperti Amerika Serikat, semuanya saling berkaitan dan berdampak langsung terhadap stabilitas ketenagakerjaan.

Gelombang PHK yang kini sedang berlangsung bukan sekadar angka. Di balik data tersebut, ada wajah-wajah yang kehilangan sumber nafkah, keluarga yang terdampak, dan masa depan yang tiba-tiba jadi penuh ketidakpastian. Situasi ini membutuhkan empati, strategi, dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan — mulai dari pemerintah, legislatif, pengusaha, hingga masyarakat sipil.

Jika tidak diantisipasi secara sistematis, maka 18 ribu korban PHK bisa menjadi awal dari badai yang lebih besar. Namun dengan perencanaan matang, dukungan nyata, dan keberanian untuk berubah, Indonesia tetap punya harapan menjaga kestabilan dunia kerja dan memastikan rakyatnya tetap bisa bekerja dengan layak.

PHK massal di awal 2025 menjadi alarm keras bagi pemerintah dan dunia usaha. Pendekatan baru yang lebih adaptif, serta pemetaan dan intervensi strategis, kini sangat dibutuhkan untuk menahan laju pengangguran dan menjaga optimisme pekerja Indonesia di tengah tantangan global.

Fenomena Terkini






Trending