Derita Petani Singkong Lampung: Impor Tapioka Bikin Harga Anjlok

Kuatbaca - Di tengah semangat kemandirian pangan dan dorongan untuk memberdayakan sektor pertanian, nasib petani singkong dan produsen tapioka di Lampung justru kian terpuruk. Di hadapan Badan Legislasi DPR RI, mereka mengungkapkan kesulitan besar yang tengah dihadapi: melimpahnya hasil panen singkong yang tak mampu terserap pasar dalam negeri, terutama akibat derasnya arus impor tapioka.
Lampung sebagai salah satu daerah sentra produksi singkong nasional kini mengalami ironi. Hasil panen melimpah, namun pembelinya nyaris tak ada. Para petani, yang selama ini menggantungkan hidup dari menanam singkong, kini tak punya kepastian harga maupun pasar. Produksi yang seharusnya menjadi berkah, justru berubah menjadi beban yang menggerus pendapatan mereka.
Tumpukan Tapioka, Tak Bisa Tembus Industri
Masalah bukan hanya dirasakan oleh petani. Produsen tepung tapioka juga ikut terseret dalam badai ini. Dengan stok yang menumpuk hingga ratusan ribu ton, mereka kesulitan menyalurkan produk ke industri-industri pengguna seperti produsen makanan ringan, pempek, kerupuk, hingga industri kertas.
Dari data yang disampaikan pelaku usaha, tercatat setidaknya 250 ribu ton tapioka kini teronggok di gudang. Ini terjadi karena pelaku industri lebih memilih membeli tapioka impor yang harganya lebih murah, yakni sekitar Rp5.200 per kilogram. Harga ini jauh lebih rendah dibandingkan biaya produksi dalam negeri, yang menurut produsen mencapai Rp6.500 per kilogram.
Regulasi Tak Berpihak, Petani Terasa Tak Dianggap
Kondisi ini memperlihatkan satu hal yang lebih mendasar: tidak adanya perlindungan hukum dan kebijakan pemerintah yang berpihak pada petani singkong. Para petani merasa dibiarkan berjuang sendiri, tanpa jaminan harga ataupun kepastian pasar.
Di beberapa wilayah sentra seperti Lampung Tengah, Lampung Selatan, hingga Tulang Bawang, banyak petani mulai enggan menanam kembali. Tanaman yang dulunya dianggap menjanjikan, kini disamakan dengan menanam rumput—tak ada nilai ekonomis, tak ada jaminan kesejahteraan.
Kesenjangan Harga, Pabrik Terjepit di Tengah
Kesenjangan antara harga produksi dan harga pasar menjadi dilema besar bagi pabrik-pabrik tapioka lokal. Di satu sisi, mereka harus membeli singkong dari petani sesuai harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp1.350 per kilogram. Di sisi lain, mereka tidak bisa menjual produknya sesuai biaya produksi karena industri hanya bersedia membeli pada harga yang lebih rendah, mengikuti harga pasaran impor.
Sebanyak 37 pabrik pengolahan yang tersebar di berbagai kabupaten di Lampung kini kesulitan likuiditas. Mereka tak hanya kehilangan pasar, tapi juga kehilangan kemampuan untuk menyerap hasil tani. Ini menjadi rantai kerugian yang merembet dari petani hingga industri hulu.
Data dari sejumlah sumber menyebut bahwa nilai impor tapioka yang masuk ke Indonesia mencapai triliunan rupiah. Ironisnya, nilai itu tidak membawa manfaat ekonomi bagi daerah penghasil singkong seperti Lampung. Justru, petani lokal menjadi korban dari persaingan harga yang tak sehat antara produk lokal dan produk impor.
Masuknya tapioka impor secara masif tanpa pengaturan ketat menciptakan distorsi pasar. Di satu sisi pemerintah mendorong kemandirian pangan dan peningkatan produksi lokal, namun di sisi lain justru membuka keran impor lebar-lebar, menenggelamkan hasil jerih payah petani.
Keluh kesah ini bukan hanya soal harga atau stok. Ini adalah refleksi dari sistem yang belum berpihak pada petani dan pelaku usaha lokal. Sudah saatnya pemerintah hadir dengan kebijakan konkret. Diperlukan regulasi yang mengatur impor secara adil, menetapkan kuota, dan melindungi hasil tani lokal dari gempuran produk luar.
Petani singkong dan produsen tapioka di Lampung tak sedang meminta bantuan, mereka hanya ingin diperlakukan adil di negerinya sendiri. Ketika kebijakan lebih berpihak pada produk luar ketimbang hasil dalam negeri, maka bukan hanya petani yang merugi—tapi juga masa depan pertanian Indonesia.