Dampak Tarif Trump, Ford Terancam Rugi Hingga Rp 24,6 Triliun

Kuatbaca.com - Produsen mobil asal Amerika Serikat, Ford Motor Company, menghadapi tekanan finansial signifikan akibat rencana kebijakan tarif resiprokal dari Presiden AS, Donald Trump. Menurut proyeksi internal perusahaan, kebijakan ini berpotensi menambah beban keuangan hingga US$ 1,5 miliar atau setara Rp 24,6 triliun jika dikonversikan dengan kurs saat ini (Rp 16.400). Tarif tersebut dirancang untuk mengenakan pajak impor yang setara dengan tarif negara mitra terhadap produk AS.
Tarif resiprokal tersebut diyakini dapat mengganggu rantai pasok internasional yang selama ini menjadi tulang punggung efisiensi produksi Ford. Selama beberapa dekade, perusahaan otomotif ini telah memanfaatkan lokasi produksi di luar negeri demi efisiensi biaya dan akses pasar yang lebih cepat.
1. Strategi Ford Pindahkan Produksi dari Meksiko ke Kanada
Menghadapi tantangan tersebut, Ford tidak tinggal diam. CEO Ford, Jim Farley, menjelaskan bahwa perusahaan telah mengambil tindakan strategis untuk menekan dampak negatif dari kebijakan tersebut. Salah satu langkah signifikan adalah memindahkan sebagian operasional produksi dari Meksiko ke Kanada, yang dinilai memiliki hubungan dagang lebih stabil dengan AS.
Langkah ini berhasil mengurangi potensi kerugian hingga US$ 1 miliar atau setara Rp 16,4 triliun. Meskipun masih ada kekurangan sekitar US$ 500 juta dalam skenario terburuk, efisiensi ini memberi sedikit ruang bernapas bagi perusahaan untuk menyesuaikan strategi jangka menengah.
2. Penyesuaian Proyeksi Laba dan Penarikan Panduan Keuangan
Sebelum pengumuman tarif resiprokal tersebut, Ford memproyeksikan laba operasional sebelum bunga dan pajak (EBIT) pada tahun 2025 akan berada di kisaran US$ 7 miliar hingga US$ 8,5 miliar. Namun, dengan dinamika baru tersebut, perusahaan menyatakan perlu melakukan perhitungan ulang terhadap target keuangan mereka.
Sherry House, selaku Kepala Keuangan Ford, mengungkapkan bahwa Ford sempat berada di jalur yang benar untuk mencapai target tersebut. Namun, ketidakpastian ekonomi dan tekanan tarif membuat perusahaan memutuskan untuk menarik panduan keuangan tahun 2025 sebagai langkah antisipatif. Ini merupakan tindakan langka, mengingat banyak perusahaan justru tetap merilis panduan meski ada tekanan ekonomi global.
3. Ford Pilih Tahan Diri, Sementara GM Rilis Panduan Baru
Berbeda dengan Ford, pesaing utamanya seperti General Motors (GM) telah meluncurkan panduan baru untuk menghadapi situasi serupa. GM bahkan telah menyertakan skenario dampak tarif dalam proyeksi mereka. Namun, para eksekutif Ford justru memilih pendekatan hati-hati. Mereka menyatakan belum akan mengeluarkan panduan lanjutan sampai ada kejelasan lebih lanjut mengenai arah kebijakan pemerintah.
Keputusan ini dinilai oleh sejumlah analis sebagai pendekatan realistis di tengah ketidakpastian yang tinggi. Salah satunya, David Whiston, analis dari Morningstar Research, menilai bahwa langkah Ford menarik panduan menunjukkan kehati-hatian yang cukup berani di tengah volatilitas pasar otomotif global.
4. Tantangan Selanjutnya: Reaksi Konsumen dan Harga Produk
Selain dampak langsung terhadap laporan keuangan, Ford juga tengah mempertimbangkan kemungkinan respon negatif dari konsumen jika tarif menyebabkan kenaikan harga jual kendaraan. Seperti diketahui, sebagian besar komponen otomotif dan kendaraan Ford masih berasal dari fasilitas produksi lintas negara. Jika tarif diberlakukan, biaya impor yang meningkat akan berdampak langsung pada harga akhir di pasar domestik.
Jika harga produk Ford naik secara signifikan, bukan tidak mungkin daya saing perusahaan akan terdampak, terutama di segmen kendaraan massal seperti SUV dan pickup yang sangat sensitif terhadap harga.