Dampak Ketidakpastian Pasokan Gas dan Harga Mahal pada Industri Keramik Indonesia

9 May 2025 11:38 WIB
edy-suyantosekar-aqillah-indraswari-1_169.jpeg

Kuatbaca.com -Industri keramik Indonesia kini menghadapi tantangan besar yang mengancam keberlanjutan dan pertumbuhannya, terutama terkait dengan pasokan gas yang tidak menentu dan mahalnya harga regasifikasi gas alam cair (LNG). Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI), Edy Suyanto, menekankan bahwa ketidakpastian pasokan gas dan biaya tinggi yang dikenakan untuk regasifikasi LNG dapat merusak iklim investasi dan menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha di Indonesia.

Industri keramik, yang menjadi salah satu sektor manufaktur penting di Indonesia, mengandalkan pasokan gas sebagai sumber energi utama untuk proses produksi. Tanpa jaminan pasokan gas yang stabil dengan harga yang terjangkau, rencana ekspansi kapasitas industri keramik, yang sebelumnya direncanakan untuk meningkat dari 625 juta meter persegi per tahun menjadi 718 juta meter persegi pada 2026, dapat terhambat. Bahkan, proyeksi jangka panjang untuk mencapai 850 juta meter persegi pada tahun 2030 bisa terancam gagal.

1. Harga Gas yang Tidak Terjangkau Menghambat Pertumbuhan Industri

Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh industri keramik adalah mahalnya harga gas yang harus dibayar oleh perusahaan-perusahaan. Meskipun pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), telah memperpanjang kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk tujuh sektor industri dengan tarif sekitar US$ 6,5-7 per MMBTU, kenyataannya banyak industri yang harus membayar hingga US$ 16,77 per MMBTU karena harus menggunakan gas LNG. Selisih harga yang besar ini memberikan dampak langsung pada biaya produksi, sehingga meningkatkan biaya operasional industri.

Edy Suyanto mengungkapkan bahwa meskipun ada kebijakan pemerintah yang mendukung harga gas tertentu, pelaksanaan kebijakan ini di lapangan ternyata tidak sesuai dengan harapan. Beberapa industri, termasuk industri keramik, terpaksa membayar harga yang jauh lebih tinggi karena keterbatasan pasokan gas. Hal ini tentu saja menghambat laju pertumbuhan industri keramik yang diharapkan dapat berkembang lebih cepat.

2. Pengaruh Harga Gas terhadap Utilisasi dan Kapasitas Produksi

Pada kuartal pertama tahun 2025, sektor industri keramik menunjukkan adanya perbaikan, dengan tingkat utilisasi mencapai 75%, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata tahun 2024 yang hanya 65%. Edy memprediksi bahwa dengan dukungan kebijakan yang tepat, pertumbuhan utilisasi dapat meningkat hingga 85% pada akhir tahun 2025. Salah satu kebijakan yang dapat mendukung hal ini adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), serta pemberlakuan standar SNI yang wajib untuk keramik.

Namun, ketidakpastian pasokan gas dan mahalnya biaya regasifikasi LNG membuat industri keramik terombang-ambing, tidak dapat maju secara stabil. Meskipun beberapa kebijakan pemerintah memberikan dorongan positif, masalah pasokan gas yang tidak merata dan harga yang tinggi membuat sektor ini sulit untuk mempertahankan momentum pertumbuhannya. Keadaan ini memunculkan kekhawatiran bahwa sektor keramik akan kesulitan mencapai target ekspansi yang telah ditetapkan.

3. Penurunan Alokasi Gas di Beberapa Wilayah

Selain harga yang tinggi, ketidakpastian pasokan gas juga berperan besar dalam memperburuk kondisi industri keramik. Di wilayah Jawa Barat, misalnya, Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) yang diterapkan oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) semakin menurun, yang mengakibatkan perusahaan-perusahaan harus membeli gas dengan harga yang lebih mahal. Di Jawa bagian timur, meskipun tidak ada masalah signifikan terkait pasokan gas, gangguan pada hulu gas diperkirakan akan berlangsung hingga Oktober 2025, yang semakin memperburuk situasi bagi industri keramik.

Edy juga menyoroti adanya perbedaan besar dalam persentase alokasi gas di berbagai wilayah, yang mempengaruhi biaya produksi secara signifikan. Di Jawa Barat, alokasi gas hanya mencapai 65,3%, sementara di Jawa Timur bahkan lebih rendah lagi, yaitu 48,8%. Hal ini mengharuskan industri keramik untuk membeli gas dengan harga yang lebih tinggi, yang dapat mencapai lebih dari US$ 8 per MMBTU, atau sekitar 15% lebih mahal dari harga yang ditetapkan.

4. Harapan Industri Keramik untuk Intervensi Pemerintah

Edy Suyanto menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menangani masalah defisit pasokan gas yang terjadi saat ini. Menurutnya, jika pasokan gas tidak lancar, industri keramik tidak akan mampu berkembang dan bahkan bisa mengalami penurunan kapasitas produksi. Pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, perlu segera turun tangan untuk mengatasi permasalahan ini agar industri keramik tetap dapat beroperasi dengan baik.

Industri keramik membutuhkan pasokan gas yang stabil dan harga yang terjangkau agar dapat bersaing di pasar global dan terus berkembang. Tanpa intervensi dari pemerintah untuk memastikan kelancaran pasokan gas dan pengendalian harga regasifikasi LNG, sektor keramik Indonesia akan kesulitan bertahan, bahkan terancam kehilangan daya saing.

Fenomena Terkini






Trending