Daftar Barang RI Kena Tarif Tinggi hingga 47% dari Trump, Indonesia Desak AS Ciptakan Keadilan Dagang

Kuatbaca.com - Pemerintah Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam perdagangan internasional, khususnya dengan Amerika Serikat. Sejumlah komoditas ekspor unggulan Tanah Air terkena tarif super tinggi hingga 47% untuk bisa masuk ke pasar AS. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut langkah proteksionis dari pemerintahan Donald Trump ini membebani ekspor nasional dan menurunkan daya saing Indonesia di pasar global.
1. Tarif Bertingkat untuk Produk Indonesia
Airlangga mengungkapkan bahwa produk-produk asal Indonesia tidak hanya dikenakan satu tarif tunggal, melainkan berlapis. Baru-baru ini, Presiden Donald Trump mengumumkan tarif baru sebesar 32%, yang kemudian diturunkan sementara menjadi 10% selama tiga bulan. Meski demikian, tarif dasar lainnya tetap berlaku, mulai dari 10% hingga 37% untuk sejumlah produk, terutama di sektor tekstil dan garmen.
Jika dijumlahkan, total beban tarif bisa mencapai 47% bagi barang-barang Indonesia yang masuk ke Negeri Paman Sam. Ini tentu menjadi masalah serius, karena margin keuntungan eksportir tergerus dan harga barang menjadi tidak kompetitif di pasar AS.
2. Komoditas yang Paling Terdampak: Tekstil dan Garmen
Salah satu sektor yang paling terkena dampaknya adalah industri tekstil dan produk garmen. Menurut Airlangga, tarif dasar untuk produk ini sudah mencapai 10-37%, dan jika ditambah dengan tarif tambahan dari kebijakan baru Trump, maka biaya total bisa mencapai hampir 50% dari nilai barang.
“Kalau sudah ada tarif 37%, lalu ditambah 10%, maka total menjadi 47%. Ini menjadi beban besar karena akhirnya akan memengaruhi harga jual dan daya saing kita,” jelas Airlangga dalam konferensi pers virtual.
3. Dampak Langsung ke Eksportir dan Konsumen
Penerapan tarif super tinggi ini bukan hanya berdampak ke produsen dan eksportir, tetapi juga ke rantai pasok dan konsumen akhir. Biaya tambahan akibat tarif ini akan dibebankan sebagian kepada pembeli di AS, namun sebagian besar tetap ditanggung oleh eksportir asal Indonesia, termasuk biaya pengiriman dan logistik yang semakin mahal.
Hal ini membuat produk Indonesia seperti pakaian, kain, dan tekstil lainnya menjadi kurang kompetitif dibandingkan produk serupa dari negara lain, terutama dari negara Asia Tenggara yang mendapatkan perlakuan tarif lebih ringan.
4. Pemerintah RI Desak AS Terapkan Keadilan Dagang
Menanggapi kondisi ini, pemerintah Indonesia secara aktif melakukan negosiasi dengan pemerintah AS agar ada penyesuaian tarif yang lebih adil. Airlangga menekankan bahwa saat ini terjadi ketimpangan dalam sistem tarif yang diberlakukan AS terhadap negara-negara di Asia.
Beberapa negara pesaing Indonesia di ASEAN mendapatkan akses pasar yang lebih menguntungkan berkat tarif yang lebih rendah, bahkan nol persen dalam beberapa kasus. Indonesia menuntut adanya level playing field atau perlakuan setara dalam perdagangan internasional.
5. Langkah Diplomatik dan Evaluasi Strategi Ekspor
Untuk mengatasi hal ini, Indonesia tengah menyusun strategi diplomatik dan perundingan bilateral guna meredam dampak tarif tinggi ini. Selain itu, pemerintah juga mengevaluasi kebijakan ekspor nasional agar lebih berdaya saing di tengah proteksionisme global.
Beberapa langkah yang sedang dibahas antara lain:
- Mempercepat perjanjian dagang bilateral (FTA) dengan negara-negara mitra dagang strategis
- Meningkatkan diversifikasi pasar ekspor, tidak hanya mengandalkan AS
- Memberikan insentif bagi pelaku industri terdampak untuk menjaga produktivitas dan kelangsungan usaha
6. Indonesia Lawan Proteksionisme Demi Keadilan Global
Situasi ini menjadi cerminan bahwa perdagangan internasional di era saat ini masih rentan dengan kebijakan proteksionis unilateral. Pemerintah Indonesia, lewat diplomasi ekonomi dan kebijakan strategis, berupaya memastikan bahwa produk lokal tetap mendapat akses pasar global yang adil dan berkelanjutan.
Dengan menuntut kesetaraan dan mengusulkan revisi tarif yang memberatkan, Indonesia ingin menunjukkan bahwa negara berkembang pun memiliki hak yang sama dalam tatanan perdagangan dunia. Jika tidak segera disikapi, tarif tinggi seperti ini hanya akan memperlebar kesenjangan ekonomi antarnegara dan merugikan pelaku usaha kecil dan menengah yang menjadi tulang punggung ekspor Indonesia.