Cempedak Goreng Viral di Glodok, Kuliner Unik yang Bikin Warga Rela Antre

Kuatbaca - Libur panjang sering kali dimanfaatkan warga ibu kota untuk jalan-jalan atau menjelajah kuliner baru. Salah satu destinasi yang tak pernah kehilangan pesonanya adalah Glodok, kawasan pecinan di Jakarta Barat yang dikenal sebagai surga makanan khas Tionghoa. Namun, libur kali ini agak berbeda. Di antara deretan kuliner legendaris, ada satu nama yang tiba-tiba mencuri perhatian publik—cempedak goreng.
Sajian ini mendadak viral di media sosial dan sontak menarik perhatian warga. Ramai-ramai mereka datang ke Glodok demi mencicipi buah eksotis ini yang disulap menjadi kudapan renyah dan menggoda.
Antrean Panjang di Gerai Cempedak Goreng
Pantauan di lokasi pada Jumat (27/6/2025), suasana di Petak 6 Glodok terlihat meriah. Salah satu sudut kawasan itu tampak dipenuhi pengunjung yang rela mengantre panjang hanya untuk mencicipi cempedak goreng yang kini menjadi primadona. Gerai sederhana bernama “Cempedak Goreng” itu menjadi pusat perhatian. Dua wajan besar penuh minyak panas tak henti-hentinya menggoreng potongan cempedak yang sudah dibalur adonan tepung, menghasilkan aroma harum yang menggoda selera.
Di balik wajan, para pegawai sibuk bekerja. Ada yang melayani pembeli di kasir, ada juga yang bolak-balik memasukkan cempedak ke dalam minyak panas. Mereka tampak kewalahan, tapi tetap cekatan melayani gelombang pelanggan yang datang tanpa henti.
Pengaruh TikTok dalam Tren Kuliner Kota
Ayu dan Diva adalah dua dari sekian banyak warga yang datang demi mengikuti tren yang viral. Mereka mengaku mengetahui soal cempedak goreng ini lewat TikTok. Setelah beberapa kali melihatnya berseliweran di linimasa mereka, keduanya sepakat untuk datang langsung ke Glodok dan mencobanya.
"Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Kita penasaran banget soalnya tiap scroll pasti keluar terus videonya," kata Ayu sambil tertawa kecil. Meski harus mengantre cukup lama, mereka tetap semangat karena sudah menjadikan hari itu sebagai misi kulineran.
Diva menambahkan bahwa cempedak goreng adalah salah satu alasan utama mereka datang ke Glodok. Setelah ini, mereka berencana mencicipi bakso legendaris dan mungkin jajanan khas lainnya. "Pokoknya hari ini waktunya makan, bukan diet!" ujar Diva sambil tertawa.
Kejutan Tak Terduga dari Glodok
Sabrina dan Tifa, dua pengunjung lainnya, juga datang secara spontan. Awalnya mereka hanya berniat jalan-jalan saat liburan, tetapi rasa penasaran terhadap kuliner unik membuat mereka belok ke Glodok. Saat melihat kerumunan orang di satu titik, mereka ikut mendekat dan ternyata itulah gerai cempedak goreng yang viral.
"Aku baru tahu ada cempedak digoreng segala. Unik sih, biasanya kan cuma digoreng pisang," ujar Sabrina. Mereka pun mengaku ini adalah kunjungan pertama mereka ke Glodok, dan mereka langsung terpikat oleh nuansa kawasan yang kaya sejarah dan cita rasa.
Cempedak goreng sendiri bukanlah hal baru di beberapa daerah di Sumatera atau Kalimantan. Namun, kemunculannya di Glodok dengan sentuhan kemasan yang kekinian serta promosi di media sosial, menjadikan makanan ini naik kasta dari camilan pasar menjadi kudapan hits.
Rasanya yang manis legit berpadu tekstur renyah dari balutan tepung goreng, menciptakan harmoni rasa yang langsung menggugah nostalgia masa kecil, namun tetap cocok dengan lidah generasi milenial yang haus akan pengalaman kuliner baru.
Selain kuliner, Glodok juga menawarkan pengalaman budaya yang kental. Bangunan-bangunan tua yang masih berdiri kokoh menjadi saksi sejarah kota Jakarta. Banyak pengunjung yang mengaku datang bukan hanya untuk makan, tapi juga ingin melihat sisi lain kota yang sering luput dari perhatian.
“Tempatnya menarik banget. Nostalgia banget suasananya, seperti masuk ke Jakarta tempo dulu,” ucap Tifa sambil memotret bangunan tua dengan ponselnya.
Cempedak goreng hanyalah salah satu contoh bagaimana kekuatan media sosial bisa menghidupkan kembali kawasan-kawasan bersejarah seperti Glodok. Warga dari berbagai penjuru kota berdatangan, tidak hanya untuk menikmati makanan, tapi juga membangun kembali hubungan dengan ruang-ruang kota yang sarat makna budaya.
Dan di balik kerumunan dan antrean, ada harapan bahwa tren seperti ini bisa terus menjaga nyawa kawasan seperti Glodok agar tetap hidup, relevan, dan dicintai. Karena pada akhirnya, kuliner bukan sekadar makanan—ia adalah cerita, warisan, dan cara kita mengenal kota kita sendiri.