Kuatbaca - Pemerintah kembali menunjukkan keseriusannya dalam menata sektor energi, khususnya minyak dan gas bumi (migas). Menteri Investasi sekaligus Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, resmi menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2025. Regulasi ini mengatur kerja sama pengelolaan wilayah kerja migas dengan tujuan utama: menertibkan dan mengoptimalkan potensi sumur minyak yang selama ini dikelola masyarakat secara tidak resmi.
Sumur minyak masyarakat selama ini dikenal sebagai "sumur liar" yang operasionalnya di luar sistem formal. Minyak yang dihasilkan sering kali dijual ke kilang-kilang ilegal yang tak berizin dan tidak memenuhi standar keselamatan dan lingkungan. Situasi ini bukan hanya mengancam keselamatan masyarakat sekitar, tapi juga membuat negara kehilangan potensi pendapatan besar dari sektor energi.
Melalui aturan baru ini, pemerintah mencoba menjembatani realita di lapangan dengan pendekatan pembinaan, bukan sekadar penindakan. Sumur-sumur rakyat yang sudah ada akan difasilitasi untuk terus berproduksi, tetapi di bawah pengawasan dan perbaikan tata kelola sesuai standar keteknikan migas yang baik.
Dalam skema baru ini, pengelolaan sumur rakyat akan melibatkan badan usaha milik daerah (BUMD), koperasi, atau pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Mereka akan menjadi mitra yang sah untuk menjalin kerja sama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) seperti Pertamina. Skema ini ditujukan untuk menciptakan ekosistem legal yang menguntungkan semua pihak, dari masyarakat hingga negara.
Periode pembinaan dan transisi ini akan berlangsung selama empat tahun. Dalam waktu tersebut, pengelolaan sumur akan difokuskan pada perbaikan teknik pengeboran, pengurangan dampak lingkungan, serta peningkatan aspek keselamatan kerja.
Langkah awal dalam pelaksanaan regulasi ini adalah pendataan atau inventarisasi sumur-sumur masyarakat yang sudah eksis. Pemerintah provinsi bekerja sama dengan KKKS di daerah tengah melakukan pendataan lengkap. Hanya sumur yang terdaftar dan telah berproduksi sebelum aturan ini terbit yang akan mendapat pembinaan.
Setelah proses pendataan selesai, pemerintah menegaskan tidak akan mengizinkan adanya sumur baru dari masyarakat. Bila ditemukan aktivitas pengeboran baru tanpa izin, maka penegakan hukum akan diberlakukan secara tegas. Demikian pula dengan keberadaan kilang-kilang ilegal—semuanya harus ditutup dan ditertibkan.
Alih-alih bersikap represif, pendekatan pemerintah kali ini lebih mengedepankan solusi win-win. Bahlil menyebut regulasi ini sebagai jalan tengah untuk meredam potensi konflik sosial di daerah yang selama ini menggantungkan penghidupan dari sumur minyak rakyat.
Dengan legalisasi yang terarah dan sistem pengawasan yang ketat, diharapkan masyarakat bisa tetap terlibat dalam industri migas dengan cara yang benar. Pemerintah menargetkan tambahan lifting (produksi minyak siap jual) minimal 10 ribu barel per hari dari program ini. Angka yang tentu akan sangat membantu pencapaian target produksi migas nasional, sembari membuka lapangan kerja serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Langkah Bahlil ini menunjukkan upaya nyata pemerintah dalam menciptakan tata kelola energi yang inklusif dan berkelanjutan. Sektor migas tak lagi hanya menjadi domain perusahaan besar, tetapi juga bisa menjadi sumber kesejahteraan rakyat asalkan dikelola dengan benar.
Kebijakan ini bisa menjadi tonggak baru dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Jika implementasinya berjalan baik, bukan tidak mungkin model serupa akan diterapkan di sektor lain yang juga bersentuhan langsung dengan masyarakat akar rumput.