AS Soroti QRIS dan GPN, BI Tegaskan Komitmen Perkuat Sistem Pembayaran Nasional

Kuatbaca - Isu perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat kembali mencuat, kali ini berkaitan dengan sistem pembayaran digital nasional. Amerika Serikat menyoroti penggunaan Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dalam negosiasi terkait tarif resiprokal, yang sempat mencuat di era kebijakan perdagangan bergaya proteksionis ala Donald Trump. Sorotan ini muncul karena sistem tersebut dinilai membatasi akses dan ruang gerak perusahaan keuangan asing di Indonesia.
Kedaulatan Pembayaran Digital dalam Fokus
Di tengah isu tersebut, Bank Indonesia angkat bicara. Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menyatakan bahwa proses negosiasi antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat masih berlangsung. Meski enggan mengungkap detail, ia menegaskan bahwa Bank Indonesia memiliki mandat yang jelas dalam memperkuat dan memperlancar sistem pembayaran nasional.
Penerapan QRIS dan GPN, menurut Destry, bukanlah upaya eksklusif yang membatasi akses asing, melainkan langkah konkret untuk mewujudkan sistem keuangan yang inklusif, efisien, dan aman bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk pekerja migran di luar negeri.
QRIS Menjawab Kebutuhan Pekerja Migran
Tak hanya di dalam negeri, ekspansi QRIS telah menjangkau berbagai negara tujuan pekerja migran Indonesia, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Ini menjadi bagian dari strategi Bank Indonesia untuk memberikan kemudahan transaksi lintas negara, khususnya bagi para PMI yang sebelumnya mengandalkan sistem pembayaran konvensional.
Saat ini, BI juga tengah menyiapkan kerja sama serupa dengan negara-negara lain, seperti Korea Selatan, India, dan Arab Saudi—tiga kawasan penting yang menjadi tujuan utama tenaga kerja Indonesia. Ekspansi QRIS ini bukan semata kebanggaan nasional, tetapi juga bentuk nyata dari diplomasi ekonomi digital yang inklusif dan kolaboratif.
Tidak Ada Diskriminasi: Siap Bekerja Sama dengan AS
Destry juga menepis anggapan bahwa QRIS dan GPN bertujuan menyingkirkan pemain asing. Menurutnya, hingga saat ini, produk global seperti Visa dan Mastercard masih tetap dominan dalam ekosistem transaksi Indonesia. “Kalau Amerika siap, kita pun siap,” ungkapnya santai, menandakan keterbukaan kerja sama selama prinsip keadilan dan resiprositas dijaga bersama.
Pesan yang ingin disampaikan jelas: Indonesia tidak memblokir pihak asing, tapi ingin membangun ekosistem pembayaran yang adil, kompetitif, dan berpihak pada kepentingan nasional.
Sementara itu, pemerintah pusat, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, memastikan telah melakukan koordinasi dengan otoritas terkait, termasuk Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pemerintah berusaha menelaah masukan dari Amerika Serikat dengan kepala dingin, termasuk masukan yang menyangkut sistem pembayaran domestik.
Airlangga juga menyebut bahwa selain sektor keuangan, Amerika Serikat menyoroti beberapa kebijakan ekonomi strategis lainnya, seperti sistem perizinan impor berbasis OSS (Online Single Submission), pemberian insentif perpajakan dan kepabeanan, hingga kuota impor tertentu.
Pembahasan antara Indonesia dan Amerika Serikat saat ini lebih dari sekadar perbedaan kebijakan. Ini adalah ujian diplomasi ekonomi, di mana kedua negara berusaha mencari titik temu agar hubungan perdagangan tetap saling menguntungkan. Harapannya, Indonesia bisa tetap menjaga kedaulatan sistem ekonominya, termasuk sektor pembayaran digital, tanpa menutup diri terhadap kerja sama internasional.
Situasi ini juga menandakan babak baru dalam era globalisasi digital, di mana sistem keuangan nasional tak hanya bicara soal efisiensi dan inovasi, tetapi juga soal kepentingan strategis dan kedaulatan ekonomi.