Pengusaha Nakal Musuh Sumitronomics
Nama besar Sumitro Djojohadikusumo seperti dalam peti es sejarah masa revolusi Indonesia. Namanya tidak populis seperti para penggagas Republik, padahal kiprah Sumitro ada sejak barisan pemuda Nusantara yang membentuk Perhimpunan Indonesia di Belanda, membumikan Indonesië Vrijheid.
Sumitro dan Perhimpunan Indonesia menjadi peluncur perjuangan Kemerdekaan, dalam penuturan Prof. Dorodjatun K. Jakti, disebut sebagai sejarah yang tidak tuntas. Ada banyak strategi para pemikir muda kala itu, yang mestinya diurai sebagai pengetahuan pergerakan, mempengaruhi gerakan perjuangan taktis, dan menjadi pengikat segenap komponen bangsa untuk mempelopori Indonesia Merdeka dan mempertahankannya ketika Belanda melakukan agresi.
Sumitro jugalah sang pembawa kabar Eropa bagi Indonesia yang baru merdeka, bahwa Belanda bukanlah negara yang siap mengakui kedaulatan Indonesia. Informasi Sumitro bukan katanya-katanya, ia membangun kesimpulan luar biasa berarti dari pertemuan Dewan Keamanan PBB di London, 1946. Sumitro anak Kebumen tulen kecewa dengan Belanda. George McTurnan Kahin mencatatkan kekecewaan Sumitro terhadap Belanda, membuat ia pulang ke Indonesia. Perdana Menteri Sjahrir langsung mempekerjakan Sumitro sebagai stafnya.
Kahin sebagai akademisi dan sejarawan Amerika, kemudian banyak memotret Sumitro sebagai penjaga nasionalisme dalam statement kebijakan pemerintah. Lihat misalnya, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, ketika Belanda mengajukan hutang Indonesia terhadap pemerintahan Hindia Belanda 6 miliar gulden, Sumitro menyebut kerugian Belanda itu adalah biaya negara kincir angin melawan Indonesia.
Elan vital nasionalisme Sumitro kemudian lebih banyak terdokumentasi dalam kebijakan pembangunan ekonomi masa pemerintahan 22 tahun awal Indonesia merdeka. Pemikirannya dikenal sebagai Rencana Urgensi Ekonomi dan Rencana Sumitro (Sumitro Plan), dan menyertai langkahnya yang demikian itu Sumitro menggagas The Jakarta School of Economics, yang kelak menjadi jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan di kampus Universitas Indonesia.
Nama Sumitro akhirnya dilekatkan dengan kata nomics berarti mengetengahkan Prof. Sumitro sebagai sebuah aliran pemikiran ekonomi.
Pemikir Indonesia yang melahirkan aliran pemikiran, dalam keterangan Prof. Dorodjatun K. Jakti, hanya ada 3 nama, yakni Hatta, Sumitro, dan Widjojo.
Ikhtiar menggenapi sejarah yang tidak tuntas mengenai Sumitronomics di masa kini memang ibarat menghadirkan idealisme di antara gunung pragmatisme. Mengapa? Sebab laju perekonomian negara-negara maju, bukan lagi soal pertentangan mazhab besar dalam kerangka kapitalisme atau sosialisme. Prof. Dorodjatun K. Jakti mengemukakan bahwa, dalam dua dekade terakhir laju ekonomi yang berkembang adalah aliran ambisi. Fakta dari aliran ambisi adalah negara super power semakin chaotic membentuk keseimbangan global.
Membincang Sumitronomics dengan demikian sebuah kerangka berfikir menjaga Indonesia agar tidak terombang-ambing dalam perang ambisi dunia.
Lebih jauh, Prof. Dorodjatun memberi aturan main jika generasi saat ini ingin membincang Sumitro sebagai aliran pemikiran, yakni: Sumitro harus didedah dari dimensi akademik, dimensi pergerakan, dan dimensi profesional. Sebab, sejarah mencatat kegagalan implementasi Sumitro Plan disebabkan kategori kelompok pengusaha sebagai bagian subjek pembangunan, berperilaku sebagai pengusaha nakal.
Jika mau curiga, jangan-jangan para pengusaha nakal itu juga yang selama ini mempeti eskan aliran pemikiran Prof. Sumitro dalam pembangunan Indonesia. []
By:
KUATBACACOM