“Penerapan subsidi seakan menjadi sangat penting saat pembangunan ekonomi Indonesia acapkali memperbesar kesenjangan masyarakat yang dapat dilihat dapat dilihat dari stagnasi pertumbuhan ekonomi dan defisit anggaran, dan lonjakan rasio utang terhadap PDB. Oleh karenanya perlu alternatif kebijakan yang mengedepankan keadilan sosial dan memperkecil kesenjangan melalui sistem negara kesejahteraan”
Indonesia sebagai negara berkembang, meyakini subsidi adalah salah satu elemen penting dalam strategi perekonomiannya demi mengurangi disparitas/kesenjangan dan peningkatan angka kemiskinan.
Dalam literatur ekonomi, subsidi merupakan instrumen kebijakan negara guna mengoreksi ketidaksempurnaan pasar (market imperfection). Subsidi juga dimaknai, jalan tengah menstimulasi produksi dan menjamin terwujudnya proses konsumsi. Subsidi diharapkan bisa memainkan peran menutup bolong-bolong keroposnya pasar.
Mengikuti pemahaman tersebut, subsidi dipastikan merupakan elemen yang sangat vital, penting dan wajib dikelola oleh negara. Sebab, pada faktanya, proses-proses pembangunan yang dilakukan acapkali melahirkan masyarakat yang terpinggirkan dan bahkan terasing.
Pada gilirannya, pembangunan ekonomi yang seharusnya memberikan efek menetes (trickle down effect), sebaliknya justru menghadirkan kesenjangan masyarakat. Hanya sebagian kecil yang menjadi lebih kaya dan sejahtera, sementara yang lain semakin tersisihkan secara kultural dan struktural.
Hal tersebut tergambarkan dari data Center of Economic and Law Studies (Celios), selama dua satu dekade pemerintahan Joko Widodo (2014-2024), kebijakan fiskal Indonesia tidak dalam keadaan baik. Diketahui pertumbuhan ekonomi stagnan 5,1 persen, disertai defisit anggaran yang melebar 171,82 persen, dari Rp226,69 triliun menjadi Rp616,19 triliun.
Selain itu, rasio utang terhadap PDB melonjak 58,42 persen, dari 24,7 persen menjadi 39,13 persen. Ditambah penurunan rasio pajak sebesar 26,28 persen, dari 13,7 persen menjadi 10,1 persen terhadap PDB. Pembiayaan utang pun mendominasi yaitu 74 persen dari total pembiayaan, sementara pembiayaan investasi tidak pernah melebihi 17,5 persen.
Ironisnya, selama beberapa tahun kebelakang, rata-rata presentase subsidi tidak pernah mencapai 16 persen. Angka itu jauh jika dibandingkan dengan periode awal masa pemerintahan Jokowi di 2014, yaitu sebesar Rp391,96 triliun atau 32,57 persen dari total belanja saat itu.
Pembangunan yang seharusnya menumbuhkan ekonomi, justru kontrapoduktif dan terkesan anomaly. Hal ini disebabkan oleh ketidakefektifan program pengentasan kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan infrastruktur antar daerah, dan mengguritanya praktik korupsi.
Terlebih, kondisi subsidi Indonesia saat ini secara makro tetap memiliki tujuan yang sama untuk mengurangi kesenjangan.
Perlu diketahui, kebijakan subsidi Indonesia merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang mengalokasikan anggaran negara dalam program-program subsidi dalam APBN. Sehingga besarnya pendapatan negara menjadi faktor krusial seberapa besar pemerintah dapat mendistribudikan subsidi secara prioritas.
Hanya saja isu terkini, subsidi yang diberikan oleh negara seakan makin dilimitasi. Mulai dari isu pembatasan BBM jenis Pertalite, Tarif KRL yang akan dibedakan berdasarkan klasifikasi Nomor Induk Kependudukan (NIK), kuota subsidi KPR, hingga penurunan subsidi listrik.
Direktur Celios, Bhima Yudhistira mengungkapkan, pembatasan, seperti yang diterapkan pada subsidi BBM, berdampak pada masyarakat kelas menengah, yaitu meningkatkan biaya transportasi. Pembedaan tarif KRL berdasarkan NIK juga menurutnya akan menyulitkan akses masyarakat kepada transportasi publik. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan alternatif-alternatif lainnya yang mungkin dilakukan, ketimbang sekedar memangkas subsidi.
“Nah sekarang kita tidak melihat itu, jadi kita bergantung pada fosil dan merugikan APBN dalam jangka panjang. Tapi begitu kemudian dilakukan pembatasan, transportasi publik justru akan diubah (dan dipersulit). Misalnya pada skema subsidinya (KRL) menjadi NIK,” jelas Bhima.
Merupakan sebuah ironi dalam negara Indonesia, pilihan membeli kendaraan bermotor membuat masyarakat harus mengeluarkan BBM lebih mahal. Sementara ketika ingin beralih ke transportasi publiknya, justru dipersulit dengan berbagai skema.
“Di Negara maju itu, mau orang kaya, kelas menengah, dan orang miskin pakai transportasi publik. Di sinilah masalahnya tidak ada alternatif, sehingga masyarakat tetap harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal, dan ini efeknya tentu beresiko pada biaya transportasi,” katanya.
Menurutnya, hal ini juga berimbas pada industri dan dunia usaha yang kedepannya dapat mempertimbangkan penurunan kapasitas produksi serta efisiensi tenaga kerja.
Meski demikian, kata Bhima, jika kemudian tetap dilakukan pengurangan subsidi BBM, sebaiknya dilakukan bertahap untuk mengurangi dampak inflasi. Sisi lain dukungan finansial bagi kelas menengah melalui subsidi rumah, pendidikan, dan transportasi umum dapat diberikan untuk membantu meringankan beban mereka.
1.Negara Kesejahteraan Mendayung Di Antara Kapitalisme dan Sosialisme
Celios mencatat, belanja perlindungan sosial di Indonesia bertumbuh 124,87 persen. Kalah jauh dibandingkan dengan belanja ketertiban keamanan yang meningkat hingga 199,04 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa prioritas pemerintah masih lebih condong pada aspek keamanan daripada kesejahteraan sosial.
Tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 memuat esensi bahwa Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Negara yang menipiskan kemiskinan, pengangguran, gangguan kesehatan dan lain sebagainya. Sehingga konsep ini tidak sekadar soal pengorganisasian kesejahteraan atau pelayanan sosial, tetapi juga menitikberatkan perolehan hak pelayanan sosial bagi setiap individu. Sehingga, tercipta masyarakat yang adil dan makmur, berkurang kesenjangan sosial dan ekonomi, serta memastikan kesejahteraan yang merata bagi semua lapisan masyarakat.
Konsep Welfare state dapat dikatakan sebagai antitesa dari kegagalan kapitalisme dengan mengusung keangkuhan individualstik dan sosialisme yang terkesan lambat dalam merespon denyut perubahan dunia yang cepat.
Maka, dengan adanya beragam layanan publik dan jaminan sosial yang kuat, pemerintah harusnya dapat memastikan setiap rakyat memiliki akses memadai atas hak kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, serta perlindungan sosial.
Konsep welfare state ini telah berhasil diterapkan di beberapa negara maju seperti Swedia, Denmark, dan Norwegia. Konsep ini menawarkan perspektif baru tentang bagaimana pemerintah dapat memainkan peran aktif dalam mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi melalui layanan publik yang merata.
Di dalam buku Sweden Middle Way tergambarkan konsep welfare state menjadi jalan tengah dari kapitalisme dan komunisme sosialis. Prinsip utamanya adalah membantu masyarakat kelas bawah dan mengangkatnya ke kelas menengah dengan berbagai insentif yang diberikan oleh pemerintah sebagai pengelola pajak rakyat.
Meskipun hal ini membutuhkan dana besar, tetapi akan lebih baik jika dibandingkan dengan membiarkan masyarakat kelas bawah semakin terpuruk, sehingga akan berimbas pada beban negara yang semakin besar.
Masyarakat yang hidup di negara kesejahteraan maka sangat sulit menjadi sangat kaya ataupun miskin. Hampir seluruh warga cenderung berada di tataran kelas menengah. Hal ini dikarenakan welfare state menetapkan pajak tinggi untuk mendistribusikan kekayaan berbentuk layanan publik bebas biaya & berbagai insentif.
2.Menggugat Atas Nama Keadilan
Menurut Plato, keadilan adalah cita-cita ideal yang harus diperjuangkan. Sementara itu, Aristoteles melihat keadilan sebagai realitas yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Perbedaan pandangan kedua filsuf ini menjadi titik tolak diskusi tim Kuatbaca.com dengan Dr. Asep Bambang Hermanto, Pakar Hukum Konstitusi dan Tata Negara Universitas Pancasila, tentang keadilan sosial dalam imajinasi dan praksis di Indonesia.
Meskipun sekilas terlihat bertolak belakang, Dr. Asep menjelaskan bahwa kedua pandangan tersebut sebenarnya saling melengkapi dalam mengkonstruksi keadilan. Menurutnya, kedua argumentasi itu benar dan tidak salah. Satu hal, dia bergerak mengejar cita-cita, tapi hal lain, tidak meninggalkan realitas. Inilah yang disebut keadilan. Melalui pemahaman itu, Asep menurunkannya dalam bentuk praksis keadilan sosial yang terlihat dalam beragam perspektif, mulai dari politik, ekonomi, sosial budaya, administrasi, hingga kultural.
Dr. Asep menekankan bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial, Indonesia perlu kembali pada nilai-nilai dasar yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Terdapat dua aspek besar dalam nilai Pancasila, ialah aspek proses dan tujuan. Aspek proses meliputi sila kesatu hingga keempat. Sedangkan sila kelima merupakan tujuan yang hendak diwujudkan yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Sementara Pasal 33 UUD 1945 yang bisa disebut sebagai blue print demokrasi ekonomi Indonesia, menyebutkan tentang bagaimana mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Sehingga kekuasaan negara semestinya tidak boleh mangkir dalam mengaplikasikannya, disinilah Political Will penguasa menentukan,” tandas Asep.
Ketidakadilan sosial pada gilirannya menciptakan oposisi biner antara kaya dan miskin, yang dapat memicu ketegangan sosial. Negara memiliki tanggung jawab mutlak untuk menyelesaikan masalah ini melalui kebijakan yang adil dan berpihak pada rakyat.
Namun, peran masyarakat juga tidak kalah penting, sikap tenggang rasa dan tepo seliro - ojo adigung-adiguno harus dijaga agar tidak menciptakan situasi yang memantik amarah atau bahkan pembangkangan sipil (civil disobedience). (*)