Kuat-BacaKuatBaca
Kuat-BacaKuatBaca
  1. Home
  2. Telik
KuatBaca-footerKuatBaca

Kategori

    Tentang Perusahaan

    • Susunan Redaksi
    • Pedoman Media Siber
    • Tentang Kami

    Hubungi Kami

    Download on App StoreDownload on Google Play

    Ikuti Kuatbaca.com di media sosial

    © 2025 Kuatbaca.com | All Rights Reserved

    Salah Paham Kasus KFX/IFX

    18 April 2024 15:56 WIB·1781
    cover.jpg

    “Pencekalan satu teknisi Indonesia karena tuduhan pencurian teknologi KFX/IFX menjadi salah satu kasus sensitif yang melanda kedirgantaraan Indonesia. Namun kasus ini dinilai hanyalah kesalahpahaman semata, sehingga kerjasama Indonesia dan Korea Selatan perlu dilanjutkan dengan catatan pemerintah Indonesia perlu melunasi pendanaan yang mandeg dalam proyek ini.”

     

    Kasus pencekalan dua Insinyur Indonesia yang dituduh mencuri teknologi KF-21 Boramae dalam proyek KFX/IFX, seakan meramaikan narasi mengenai masa depan kedirgantaraan Indonesia. Teknisi PT Dirgantara Indonesia tersebut kedapatan membawa flashdisk yang diduga berisi data teknologi rahasia pesawat tempur tersebut.

     

    Pihak Kemenlu, sebelumnya menyebutkan bahawasanya Indonesia telah terlibat dalam proyek ini sejak 2016, maka sudah seharusnya para teknisi WNI sudah memahami prosedur pengembangan proyek KFX/IFX.

     

    Meski demikian insinyur tersebut dalam kondisi sehat dan tidak berada dalam tahanan. Namun ia tidak boleh meninggalkan Korea Selatan hingga April 2024 demi memastikan proses verifikasi berjalan dengan baik.

     

    Tuduhan akan adanya pencurian teknologi proyek KFX/IFX kepada pihak Indonesia seakan terlihat aneh. Karena tujuan awal dari kerjasama ini supaya kedua negara Indonesia dan Korea Selatan mampu melakukan transfer teknologi dan bersama-sama meningkatkan kemampuan produksi pesawat tempur.

     

    Proyek KFX/IFX ini diinisiasi antara PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan Korean Aerospace Industry (KAI) dengan konsepsi yang direncanakan sejak lebih dari satu dekade lalu, tepatnya pada masa pemerintahan SBY. Nilai proyek mencapai Rp114 triliun, dengan skema pendanaannya mencakup 60% dari Pemerintah Korea Selatan, 20% Pemerintah Indonesia dan sisanya dibayarkan oleh KAI.

     

    Berbagai dugaan atas sebab-musabab terjadinya kasus ini muncul di berbagai narasi publik. Salah satunya dikarenakan pendanaan dari Indonesia yang masih menunggak Rp 11,7 triliun. Sedangkan faktor lain ialah karena keterlibatan industri asal Amerika Serikat, Lockheed Martin dalam menyediakan teknologi kunci di proyek KFX/IFX.

     

    Kepala Divisi Transfer Teknologi dan Ofset Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), Yono Reksoprodjo, mengatakan bahwa dana yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia ialah seperti biaya untuk mengikuti pembelajaran. Karena Indonesia belum menyelesaikan pembayaran sehingga program pelajaran tersebut tidak semuanya boleh diikuti oleh Indonesia.

     

    “Karena itu, Indonesia seolah menghambat program. Sebenarnya tidak begitu, karena awalnya Korsel itu ingin punya pesawat sekelas F-35 yang pada saat itu AS bilang kamu gak boleh beli. Kalau gak bisa beli saya bikin sendiri deh, mereka tahu Indonesia punya kapasitas dan kapabilitas. Tapi di tengah jalan AS tiba-tiba menawarkan menjual F-35 salah satu syaratnya adalah menyetop program ini” jelas Yono Reksoprodjo.

     

    Selain itu pergantian pemimpin di masing-masing pemerintahan membuatnya seakan maju mundur dalam pengembangan proyek ini. Meski demikian Indonesia berkesempatan untuk bernegosiasi terhadap produk teknologi dari Lockheed Martin yang tidak bisa didapatkan melalui kerjasama dengan Korea Selatan.

     

    “Mungkin akan lebih mudah bila Indonesia bekerjasama langsung dengan Lockheed Martin karena kita punya UU Nomor 16 Tahun 2012 yang memaksa negara penjual itu harus memberikan alih teknologi, offset, atau imbal dagang. Mereka boleh pilih salah satu yang nilainya satu mekanisme multiplier scoring minimal harus mencapai angka 85% dari nilai kontrak” ujarnya.

     

    Namun sebagai seorang teknisi senior di bidang pertahanan, Yono Reksoprodjo beranggapan bahwa kasus ini hanyalah salah paham saja.

     

    “Kalau kita mau bikin pesawatnya karena Indonesia punya kontrak untuk bikin beberapa komponen. Komponen itu tidak bisa buat tepat secara kebutuhan kalau kita tidak punya gambar utuhnya. Mengapa saya bilang ini salah paham, ya mau bikin pesawat kayak gitu apa kita fasilitasnya aja gak punya” tandasnya.

     

    Oleh karena itu Tim Kuatbaca.com mencoba berkomunikasi dengan salah satu teknisi PT Dirgantara Indonesia yang saat sedang mewakili Indonesia untuk memimpin proyek KFX/IFX di Korean Aerospace Industry (KAI).

     

    Teknisi yang tidak bersedia diungkap identitasnya tersebut memberikan keterangan bahwa terdapat dua insinyur WNI yang terlibat. Satu insinyur dianggap suspect dan satu lagi dicekal oleh Pemerintah Korea Selatan hingga saat ini. Di sisi lain, pelanggaran mereka bukan karena tuduhan spionase. Ia juga melampirkan satu tautan artikel berita berbahasa Korea dari The JoongAng.co.kr yang memuat beberapa fakta eksklusif hasil investigasi dari Intelijen Korea Selatan.

     

    Fakta pertama ialah ditemukannya sekitar 4000 hingga 6600 data di flashdisk tersebut. Namun, hanya 10 diantaranya yang merupakan file strategis. Salah satunya file yang diambil tanpa izin berbentuk model 3D CATIA KF-21.

     

    Padahal rilis KAI pada 2 Februari 2024 menyebutkan bahwa tidak ditemukan materi yang melanggar Rahasia Militer atau Undang-Undang Perlindungan Teknologi Industri Pertahanan.

     

    Kemudian, artikel itu juga memuat identitas WNI yang dicekal tersebut. Ia berinisial A atau juga disebut Mr. A dan ia menjabat sebagai pemimpin proyek dari 16 teknisi Indonesia di KAI. Disebutkan pula bahwa flashdisk tersebut diwariskan dari insinyur pendahulunya. Sedangkan Mr. A tidak secara langsung membocorkan teknologi tersebut ataupun mempraktikkan sambil membuat program serupa dengan Model 3D Catia.

     

    Menurut Pengamat Pertahanan Jakarta Defense Society, Novan Iman Santosa, tuduhan itu agak berlebihan. Karena perencanaan lini perakitan final-nya akan ditempatkan di Korea Selatan, sedangkan pusat desain telah disiapkan di Bandung.

     

    Meskipun, menurutnya di setiap industri utama pertahanan pasti disediakan protokol keamanan, di mana setiap pekerja tidak boleh membawa benda seperti flashdisk demi menghindari spionase industry.

     

    “Jadi kalau misal ada tuduhan pencurian data mestinya itu sesuatu hal yang agak berlebihan walaupun bukan tidak mungkin. Apalagi rilis KAI menyebutkan bahwa data-datanya itu tidak sensitif sifatnya. Mungkin yang jadi pertanyaan adalah bagaimana bisa Model 3D Catia itu diterjemahkan dari program komputer ke mesin pembuatnya” kata Novan Iman kepada Kuatbaca.com.

     

    Menurutnya tuduhan itu tidaklah logis, karena jika flashdisk tersebut merupakan warisan dari pendahulunya maka seharusnya isu ini sudah muncul beberapa tahun sebelumnya. 

     

    “Mungkin saja ini merupakan tekanan kepada pemerintah untuk segera bayar uang sekolah. Karena kan Korea, walaupun mereka memiliki dana tapi kan ada tanggung jawab kita yang belum kita penuhi. Yah, mungkin saja ini semacam psychological warfare misalnya kan” kata Novan.

     

    Meski demikian, menurut Novan, kerjasama ini perlu terus dilanjutkan lantaran Indonesia sudah banyak menginvestasikan waktu dan tenaganya demi keberlangsungan proyek KFX/IFX. Terlebih perlu waktu sekitar 10-15 tahun supaya teknologi KF-21 ini jadi dijalankan dengan matang.

     

    “Tapi tentu pemerintah punya pertimbangan lain, karena kemarin itu kan Menhan Prabowo sudah memenuhi kontrak 42 Rafale dan masih ada rencana untuk pembelian F-15 EX Eagle 2. Sehingga banyak yang mempertanyakan keberlanjutan KFX, karena dua pesawat ini kelasnya di atas KFX memang” kata Novan.

     

    Sedangkan Yono Reksoprodjo mengatakan isu ini sebenarnya tidak terlalu berdampak pada kerjasama sehingga joint development akan terus dilanjutkan.

     

    “Kalau di pabrik pesawat terbang, kalau kita punya kerjasama kontrak yang baik, maka kontrak itu bisa diberikan seumur pesawat terbang itu diproduksi. Jadi sebetulnya di KFX/IFX, pada saat kita ketinggalan ilmunya, bukan berarti kita ketinggalan kesempatan untuk memproduksi komponen nya. Jadi harus bisa mengejar ke arah sana” kata Yono Reksoprodjo. (*)

    Oleh Ade Pamungkas
    Jurnalis :  Ade PamungkasEditor :  Gery GugustomoIllustrator :  Fandy DwimarjayaInfografis :  Fandy Dwimarjaya