Kuat-BacaKuatBaca
Kuat-BacaKuatBaca
  1. Home
  2. Telik
KuatBaca-footerKuatBaca

Kategori

    Tentang Perusahaan

    • Susunan Redaksi
    • Pedoman Media Siber
    • Tentang Kami

    Hubungi Kami

    Download on App StoreDownload on Google Play

    Ikuti Kuatbaca.com di media sosial

    © 2025 Kuatbaca.com | All Rights Reserved

    RAHIM Bertemu Presiden Israel, Diplomasi Berujung Sanksi

    30 May 2025 10:01 WIB·10
    undefined

    Pertemuan sejumlah kader Nahdlatul Ulama (NU) dengan Presiden Israel Isaac Herzog menuai kecaman publik. Tak hanya itu, NU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengambil langkah tegas dengan memecat mereka. Padahal, pendekatan diplomatik semacam ini pernah ditempuh oleh tokoh-tokoh NU seperti Abdurrahman Wahid dan Yahya Cholil Staquf.

     

    Lima kader Nahdlatul Ulama (NU) datang ke Israel, bertemu dengan Presiden Israel, Isaac Herzog untuk menjembatani hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel. Namun, hal tersebut berujung persepsi negatif dari publik. Kelima kader tersebut adalah Sukron Makmun, Zainul Ma’arif, Munawir Aziz, Nurul Bahrul Ulum, dan Izza Annafisah Dania.

     

    Publik menghakimi kelima kader NU tersebut tidak berempati terhadap masyarakat Palestina yang sampai dengan saat ini masih jadi korban genosida oleh Israel. Terlebih cara pandang mereka juga dianggap berbeda oleh kebanyakan warga Indonesia.

     

    Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang langkah tersebut tidak berdasar, karena tindak-tanduk mereka tidak merugikan kedua lembaga keislaman tersebut. PBNU kemudian memecat kelima kader tersebut.

     

    Zainul Maarif menjelaskan bahwa perjalanan mereka mewakili Pusat Studi Warisan Ibrahim untuk Perdamaian (RAHIM) dan dibiayai oleh Israel Trek (I-Trek) dan American Jewish Committee (AJC) melalui The U.S - Indonesia Society (USINDO). Zainul Ma’arif menyesalkan tidak punya kesempatan menjelaskan kepada publik pasca dipecat sepihak oleh PBNU.

     

    Namun, Mukti Ali, yang namanya pernah tercatat sebagai Ketua RAHIM, mengklaim bahwa lembaga tersebut tidak mengetahui pertemuan kelima anggota dengan Presiden Isaac Herzog.

     

    Bahkan ketika Tim Kuatbaca.com menelusuri alamat Kantor RAHIM yang tertera di websitenya, ternyata alamat tersebut merupakan rumah dari istri Zainul Maarif dan bukan milik organisasi Rahim.

     

    Diferensial Pandangan Basis Universal atau Agama 

     

    Sebagian besar masyarakat Indonesia selalu memandang agresi Israel ke Palestina secara negatif lebih banyak disebabkan oleh sudut pandang dan penghakiman berdasarkan agama, tanpa ada perspektif positif terhadap Israel sebagai entitas yang bisa diajak berkompromi atau diplomasi.

     

    Berbeda dengan mayoritas masyarakat dunia yang memberi perhatian hal tersebut secara universalisme kemanusiaan. Hal ini tercermin dari gelombang demonstrasi besar yang disuarakan oleh masyarakat di Amerika Serikat hingga tersebar ke Benua Eropa, mengedepankan sudut pandang kemanusiaan dan perdamaian, dengan mendesak Israel hentikan genosida, khususnya mengorbankan anak dan wanita.

     

    Maka tindak lanjut ketika desakan tersebut tidak dipenuhi adalah pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel. Negara-negara yang mengambil kebijakan tersebut diantaranya adalah Spanyol, Irlandia, dan Kolombia.

     

    Sehingga muncul pertanyaan, apakah mungkinkah masyarakat Indonesia memiliki sedikit perspektif positif terhadap Israel sebagai entitas yang mempunyai kapabilitas dalam hal ekonomi, teknologi, diplomasi, atau perdagangan.

     

    Prinsip universalisme kemanusiaan itu masih dipegang oleh Zainul Maarif. Ia membantah tuduhan bahwa ia mendukung Israel. Ia menegaskan bahwa agresi Israel kepada Palestina sebagai kebiadaban. Namun, langkahnya mendatangi Isaac Herzog bukan karena ia pro terhadap kebiadaban Israel tersebut. Ia ingin mengungkapkan pertentangan tersebut melalui ucapan langsung kepada Israel.

     

    “Jangan katakan saya pro-Israel, tidak! Saya pro-kemanusiaan bahwa yang dilakukan Israel itu biadab. Hal yang mungkin bagi saya ya ngomong. Adapun apakah hal ini bisa mengubah atau tidak, jangan terlalu pesimis pada upaya perdamaian. Di Islam ada pernyataan berikanlah peringatan karena itu berguna bagi orang yang punya keimanan,” kata Zainul Maarif, Jumat (19/7/2024).

     

    Sebenarnya bukan kali ini saja representasi PBNU mendatangi Israel, bahkan sebelumnya dilakukan para petinggi organisasi islam terbesar Indonesia itu, yaitu Abdurrahman Wahid dan juga Yahya Cholil Staquf. Keduanya tentu pernah menjabat Ketua Umum PBNU.

     

    Sejak periode awal 1990-an, Abdurrahman Wahid seringkali menemui Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, dan Menlu Shimon Peres untuk mendukung perdamaian dan pembangunan hubungan Israel-Palestina. Bahkan, Gus Dur juga terlibat keanggotaan The Peres Center for Peace and Innovation.

     

    Langkah yang sama juga dilakukan Yahya Cholil Staquf saat ia menjabat Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sekaligus Katib Aam PBNU. Kala itu ia menjadi pembicara di American Jewish Committee Global Forum dan menemui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Israel pada 10 Juni 2018 silam.

     

    Dalam hal ini, Gus Dur maupun Yahya Staquf menilai perlunya menempuh langkah diplomatik untuk mewujudkan perdamaian win-win solution di Palestina. Keduanya menganggap Indonesia memiliki bargaining power untuk menjembatani masalah Israel-Palestina.

     

    Selaras dengan Zainul Maarif beserta tim RAHIM hendak mengikuti jejak pendahulunya dalam mengupayakan langkah diplomasi dengan menempuh perjalanan ke Israel.

     

    Sekilas Sejarah Yahudi, Zionisme, dan Israel

     

    Berdasarkan perspektif sejarah, kaum Yahudi telah hidup berdampingan dengan masyarakat Nusantara sejak abad ke-16. Hal ini sebagaimana dinyatakan Pengajar Studi Filsafat dan Agama Universitas Gadjah Mada (UGM) Leonard Chrysostomos Epafras.

      

    “Entitas Yahudi sudah ada jauh sebelum masa kolonial Belanda, tepatnya pada abad ke-16. Bukti keberadaannya itu ditemukan dalam laporan para misionaris Katolik dari Serikat Yesus,” tulis Chrysostomos Epafras dalam naskah akademik berjudul “Realisme Sejarah dan Dinamika Identitas Yahudi Nusantara”

     

    Ia menerangkan, Kaum Yahudi singgah ke Nusantara dengan beragam motif, mulai dari perdagangan, investasi, hubungan militer, maupun sebagai tempat aman dari persekusi yang dialami Yahudi di tempat lain. Misalnya pengadilan inkuisisi terhadap Marrano, diskriminasi oleh penguasa Mamluk, maupun penganiayaan Nazi Jerman.

     

    Chrysostomos Epafras juga menemukan berbagai catatan sejarah yang mengisyaratkan bahwa kaum Yahudi seringkali hidup berdampingan dengan aman bersama masyarakat lokal di Nusantara dari masa ke masa.

     

    Meski demikian, perlu diketahui adanya perbedaan antara yahudi dan zionisme. Pengamat Timur Tengah, Muhamad Rofiq Muzakkir menjelaskan perbandingan mencolok.

     

    Menurutnya Zionis adalah gerakan politik dibangun sejak abad ke-19 bertujuan menciptakan negara Israel sebagai tanah air mereka di Palestina yang saat itu masih dikuasai Dinasti Ottoman.

     

    Sedangkan Yahudi sebagai agama tertua Abrahamik, diketahui bukan hanya terdiri dari satu aliran, tetapi berbagai aliran seperti ultra-ortodoks hingga reformis. Merujuk jurnal Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRSC) UGM, dikatakan bahwa Yahudi merujuk pada suku, etnis, atau kelompok masyarakat di mana mayoritas orangnya menganut agama Yudaisme.

    Oleh Gery Gugustomo
    Jurnalis :  Gery GugustomoEditor :  Jajang YanuarIllustrator :  Aditya FirmansyahInfografis :  Aditya Firmansyah