Labelisasi Habaib yang menyeruak sepanjang satu dekade tahun politik, membentuk relasi kuasa-pengetahuan dan konstruksi sosial. Apapun yang dikatakan oleh seorang Habib adalah 'kebenaran agama' karena ia melekat padanya ahlul bait yang suci dan ma'sum.
Narasi ahlul bait ini terus diproduksi sebagai sebuah sistem kekuasaan dalam suatu masyarakat, sehingga terjadi proses 'eksploitasi' untuk menerima relasi kuasa tersebut secara pemaknaan agama: harus diterima dengan ikhlas dan “tabarrukan” kepada zurriyah Rasulullah SAW.
Dalam buku Habib NU, Habib Syiah dan Habib FPI: Relasi Kuasa Jalinan Kultural Diaspora Arab dalam Membentuk Konstruksi Sosial Keagamaan di Indonesia, Muhandis Azzuhri, Maskhur, dan Farah Farhat mendedah secara sosiologis bahwa, terdapat relasi pengetahuan yang sama antara Habib NU, FPI (Front Pembela Islam: yang kini telah dibubarkan) dan Syiah yaitu sama-sama menjadikan relasi pengetahuan “ahlul bait, mujarabnya doa ahlul bait, dan lebih utama ahlul bait bodoh daripada non ahlul bait pintar, karena sebodoh-bodohnya ahlul bait tetap mengalir darah Rasulullah SAW.
Relasi nasab itu dibentuk sebagai kuasa mutlak untuk merekonstruksi sosial masyarakat 'pokoke nderek Habib' agar tidak salah jalan dan sesat meniti hidup dunia akhirat. Hanya saja terdapat beberapa perbedaan diantara NU, FPI, dan Syiah, yakni:
Semakin kesini, semakin banyak yang mempertentangkan eksistensi Habaib secara nasab, asal-usul dan relasi politik pengaruh keturunan Yaman di Indonesia.
.H. Anas Kurd
Misalnya, tanpa angin dan hujan politik, si Raja Dangdut Rhoma Irama dalam podcast “Bisikan Rhoma” di kanal Youtubenya bersama K.H Anas Kurdi mengurai nasab Habaib.
Dalam podcast tersebut, Rhoma mengutarakan keresahannya terhadap klaim dan sikap sebagaian orang yang mengklaim bernasab Habaib, sehingga merasa berhak melekatkan kata Habib pada namanya.
Sontak saja, apa yang diutarakan Rhoma mengundang reaksi dari para habib., seperti Habib Rizieq Shihab dan Habib Bahar Bin Smith. Kedua habib ini membantah keras atas pernyataan Rhoma Irama.
Gus Dur dan Quraish Shihab Tentang Habib
Jauh sebelum kritik Rhoma terhadap pelekatan nasab Habaib yang belakangan marak di Indonesia, Ketua MUI periode 1984-1998, KH. Hasan Basri melontarkan pernyataan di surat kabar Terbit.
“Tidak ada anak keturunan Rasulullah SAW di Indonesia bahkan di dunia, karena sudah dinyatakan terputus dikarenakan tidak adanya lagi keturunan Hasan dan Husein.”
Pernyataan tersebut direspons Habib Al Habsy (Kwitang) dengan memberi mandat Habib Nauval bin Jindan untuk membela kehormatan anak cucu Rasulullah.
Perbedaan KH. Hasan Basri dengan Habib Al Habsy terdengar KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memberikan dukungan dan pembelaan kepada para habib (habaib) di Indonesia.
“Bahwa kedatangan habaib di negeri ini adalah salah satu karunia Tuhan bagi Indonesia, maka perlu kita syukuri bersama”
Pasca pernyataan Gus Dur, polemik atau kegaduhan tentang habib berkurang dan gejolaknya dapat diredam. Gus Dur menjelaskan, mengapa dirinya membela Habaib, yakni, karena hal itu selaras dengan ajaran sang kakek sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Asy’ari yang mengajarkan, bahwa di NU harus mencintai keturunan Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu, pakar ilmu tafsir Al-Qur'an, Quraish Shihab memilih untuk tidak terlalu memperdebatkan klaim nasab, mestinya klaim nasab selaras dengan tolak ukur akhlak dan ilmu yang mencerminkan akhlak dan ilmu sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW,
“Orang boleh berbeda pendapat, apakah si ‘A’ keturunan Rasulullah atau tidak. Di sini lahir yang dinamai ilmu nasab. Ingat ajaran Rasulullah, tidak perlu mengklaim, buktikan hal tersebut melalui akhlak, ilmu Anda,”
Melansir pemberitaan VOA Indonesia, menurut sejarawan Islam, Tiar Anwar Bachtiar, ‘habib’ itu sebutan antropologis untuk keturunan Rasulullah SAW dari jalur Husein bin Ali yang berasal dari Hadramaut (Yaman), khususnya melalui jalur Alawi bin Ubaidillah atau dikenal sebagai Bani Alawi (Ba’alawi).
“Biasanya keturunan Alawiyin inilah yang disebut sebagai ‘habib’. Habib itu hanyalah sebutan, tahu gelar resminya adalah ‘Sayyid’, perempuannya adalah ‘Sayyidah,” kata Tiar, sejarawan Islam Universitas Padjadjaran.
Tesis K.H Imaduddin Membongkar Nasab Habib Di Indonesia
Dalam podcast Rhoma Irama Official edisi “BISIKAN RHOMA # 130: KYAI IMAD YAKIN TESISNYA TAK TERBANTAH, KOK BISA?!”, menghadirkan narasumber
K.H Imaduddin Utsman Al Bantani, pengasuh dan pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Banten dan Komisi Fatwa MUI Provinsi Banten periode 2022-2027.
K.H Imaduddin mengupas tuntas, tesisnya berjudul: “Terputusnya Nasab Habib kepada Nabi Muhammad SAW”,. Ia menilai, nasab Ba’alawi terputus hingga ke Nabi Muhammad SAW.
Menurut K.H Imaddudin, tidak ditemukannya kitab-kitab nasab pada abad 4 sampai 9 Hijriyah yang mencatat nama Ubaidillah sebagai anak dari Ahmad bin Isa al Muhajir yang memiliki nasab sampai ke Rasulullah SAW dan wafat pada 345 H.
Ia juga mengatakan, tidak adanya penyebutan dalam kumpulan manuskrip kuno, bahwa Ahmad bin Isa beserta anak-cucunya berhijrah atau berdomisili ke Hadramaut (Yaman). Sedangkan anak Ahmad bin Isa hanyalah tiga yaitu Muhammad Abu Ja'far di kota Rayy (Iran), Ali di Ramallah, dan Husain di Naisaburi.
K.H Imaddudin menegaskan, nama Alawi baru muncul di kitab sejarah dan kitab nasab pada abad ke-10 H dengan nama bapak Abdullah. Sedangkan, nama Ubaidillah muncul di abad ke-13 H yang ternyata ditulis oleh keluarga Alawi bin Ubaidillah (Ba’alawi) dalam empat kitab di periode yang berdekatan.
Menanggapi tesis K.H Imaddudin, Peneliti Sejarah Gusdurian Network, Rumail Abbas memberikan bantahannya. Menurut Rumail, referensi As-Syajarah Al-Mubarokah karya Imam al-Fakhrurrazi yang menjadi rujukan utama Imaduddin tidak bisa menjadi patokan.
Selanjutnya, Rumail berharap perdebatan isu ini haruslah diselesaikan secara ilmiah berdasarkan keilmuan masing-masing di bidang nasab.
Lantaran menurut Rumail, kitab nasab itu tidaklah menyeluruh atau bahkan problematik dalam menjelaskan garis-garis keturunan Ahmad maupun Isa an Naqib. Terlebih, redaksi penulis juga tidak menyebutkan secara final bahwa anak Ahmad hanyalah tiga.
Tes DNA Habib
Pada narasi di atas, K.H Imaduddin telah menegaskan dalam riset sejarah melalui pustaka dan serakan manuskrip yang ada, bahwa habib tak ada garis keturunan dengan nabi, tetapi hasil riset tersebut banyak dibantah karena bisa jadi bahan yang ditemukan kurang lengkap.
Nah, dalam kondisi seperti itu muncul alternatif ilmiah untuk kembali menguji benar-tidaknya habib memiliki genetika Nabi, yakni dengan tes DNA (DeoxyriboNucleic Acid) yang memiliki kemampuan untuk mereplikasi dirinya sendiri sehingga dapat menurunkan informasi genetik secara turun temurun.
Menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) RI, Sugeng Sugiharto dan Ary Keim, alur lurus ayah sampai Nabi Adam dikenal dengan istilah Y-DNA. Sedangkan, jalur ibu lurus sampai Siti Hawa disebut dengan DNA Mitokondria.
Saat ini, DNA jalur lurus ayah sudah dapat dipetakan dari berbagai jalur kromosom tunggal yang berkelompok-kelompok atau yang disebut dengan haplogroup.
Lalu, bagaimana dengan Klan Ba'alawi yang mengaku keturunan Nabi Muhammad SAW?
Sugeng menjelaskan, bahwa Klan Ba'alawi yang sudah tes DNA sekitar 180 orang. Hasilnya, berdasarkan sampel hasil tes DNA haplogroup mereka adalah G, bukan J1, dengan penjelasan sebagai berikut.
Hal tes DNA untuk mengetahui nasab dibantah oleh pihak dari Rabithah Alawiyah dengan memunculkan sosok Sayyid Fikri Shahab yang mengaku sebagai genealogis, ataupun dari sejumlah pihak keluarga Ba’alawi sendiri mengenai validitas tes DNA.
Namun ketika ditelusuri, sayangnya tim Kuatbaca.com tidak menemukan portofolio mereka sebagai akademisi dan peneliti di ResearchGate maupun website komunitas peneliti lainnya, bahkan tidak ada namanya di LinkedIn
Untuk diketahui, Rabithah Alawiyah merupakan organisasi Islam yang menaungi para keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW di Indonesia dan menghimpun WNI keturunan Arab. Rabithah Alawiyah awalnya bernama Al-Rabithatoel Al-Alawijah. Organisasi ini baru resmi menjadi perkumpulan legal (rechtspersoon) pada 27 Desember 1928.
Pertentangan juga muncul dari Peneliti Biologi Molekuler Universitas Yarsi yang mencoba menelusuri data dari International Society of Genetic Genealogy (ISOGG). Ditemukan bahwa kode haplogroup dari Nabi Muhammad yang diyakini J1-P58-L147.1-L858-L859 tersebut masih perlu membutuhkan studi lebih lanjut untuk pembuktiannya.
Terlebih, belum ada konsensus yang menyebutkan bahwa J merupakan satu-satunya haplogroups dari Bani Hasyim yang merupakan klan dari Nabi Muhammad.
NU dan Habib
Merujuk jurnal yang berjudul "Sejarah Hubungan Habaib dan Nahdlatul Ulama", hubungan antara kiai NU dan habaib telah terjalin sekian lama, karena adanya kesamaan visi dan misi.
Tak sampai di situ, terdapat hal yang menguatkan hubungan keduanya, yaitu adanya kesamaan paradigma keagamaan antara habaib dan kiai tradisional. Lalu, ketika para kiai tradisionalis bersepakat mendirikan NU, banyak habaib yang justru memilih untuk tidak berada di dalam NU meskipun memiliki kesamaan visi, teologi serta praktik keagamaan. Contoh sosok yang merepresentasikan habaib ternama, yakni Habib Ali Kwitang dan Habib Salim Bin Jindan.
Hubungan NU dan Habib juga tergambar dalam kepengurusan PBNU periode 2022-2027 yang sedikitnya diwarnai sembilan habib. Misalnya, dalam kepengurusan mustasyar ada Habib Luthfi bin Yahya, Habib Zein bin Umar bin Smith dan AGH Habib Abdurrahim Assegaf. Lalu, dalam pengembangan amanah di kepengurusan PBNU ada Habib Luthfi bin Ahmad al-Attas.
Melihat rekam jejak dan silsilah habib yang panjang di Indonesia, bahkan tak lepas juga dari hubungannya dengan ormas keagamaan tertua NU tentu sangat wajar apabila kehadiran sosok dengan gelar mulia ini masih menjadi buah bibir publik, baik yang menganggapnya keturunan dari Rasulullah SAW ataupun tidak.
Lalu, akan kemana ujung polemik ini? Desakralisasi, Status Quo, atau upaya membangun nilai-nilai Egalitarianisme baru, atau malah justru suara yang nyaring adalah upaya pelanggengan konstruksi sosial keagamaan berbasis nasab? Semua bergantung pada paradigma masyarakatnya.