“Penikmat kopi racikan masih cukup tinggi di Indonesia, ditandai dengan Indonesia yang menjadi produsen kopi terbesar ketiga di dunia dan negara konsumen kopi terbesar kelima di dunia. Brand menjadi salah satu hal pertama yang perlu dipikirkan sebelum meracik kopi untuk dijual. Value dan segmentasi menjadi dua hal penting dalam meracik formula penamaan brand.”
Indonesia menjadi konsumen kopi terbesar kelima di dunia dengan jumlah konsumsi mencapai 5 juta kantong berukuran 60 kilogram pada periode tahun 2020/2021 menurut data Organisasi Kopi Dunia (International Coffee Organization/ICO).
Berdasarkan data dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), produksi kopi global mencapai 170 juta kantong per 60 kilogram kopi pada periode 2022/2023. Jumlah ini meningkat sebesar 2,8 persen dari periode sebelumnya (year-on-year/yoy) yang tercatat telah memproduksi kopi sebanyak 165,37 juta kantong pada 2021/2022.
Indonesia tercatat sebagai negara penghasil kopi terbesar ke-3 di dunia pada 2022/2023 yang telah memproduksi kopi sebanyak 11,85 juta kantong dengan rincian kopi arabika sebanyak 1,3 juta kantong dan kopi robusta sebanyak 10,5 juta kantong. Dengan jumlah produksi sedemikian banyak, Indonesia menduduki posisi kedua produsen kopi terbesar di Asia & Oseania setelah Vietnam.
Berdasarkan laporan “Statistik Indonesia 2023” dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kopi Indonesia mencapai 794,8 ribu ton pada 2022, meningkat sekitar 1,1 persen dibanding tahun sebelumnya.
Pada 2022 Sumatra Selatan menjadi provinsi penghasil kopi terbesar, yakni 212,4 ribu ton atau 26,72 persen dari total produksi kopi nasional. Selanjutnya ada Lampung dengan produksi kopi 124,5 ribu ton, Sumatra Utara 87 ribu ton, dan Aceh 75,3 ribu ton.
Sementara itu, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo, dan Papua Barat merupakan provinsi dengan produksi kopi paling sedikit di Indonesia, yaitu hanya 0,1 ton atau 100 kilogram. Di sisi lain, Kepulauan Riau, Maluku Utara, dan DKI Jakarta sama-sama tidak memproduksi kopi pada 2022.
Tercatat pada tahun kopi 2022/2023, produksinya meningkat 2,4 persen menjadi 12 juta kantong. Bahkan, jika dilihat dari tingkat konsumsi kopi di Indonesia dalam periode sepuluh tahun antara Oktober 2008 hingga September 2019 pun terjadi pertumbuhan yang signifikan hingga 44 persen.
Dengan tingkat konsumsi dan ketersediaan bahan baku yang banyak, tidak heran bisnis kopi semakin marak diantara pebisnis-pebisnis muda. Asosiasi Pengusaha Kopi dan Cokelat Indonesia (APKCI) telah memperkirakan, pada tahun 2023, jumlah kedai kopi di Indonesia akan mencapai 10 ribu toko dengan pendapatan dari bisnis kedai kopi akan mencapai Rp80 triliun.
Seiring dengan meningkatnya minat orang untuk menjalankan bisnis kopi, maka semakin bervariasi pula nama-nama brand kopi yang ada di Indonesia. Di tahun 2012-2015, banyak brand kopi memakai unsur nama ‘kopi’ dalam penamaannya, seperti Filosofi Kopi, Djournal Coffee, Kopi Tuku, hingga Bakoel Koffie.
Pergeseran tren penamaan pada brand kopi terlihat saat memasuki tahun 2018. Brand kopi kala itu mengandung unsur nama seputar perasaan seperti hati, kenangan, dan jiwa di dalamnya. Adapun contoh brand kopi tersebut antara lain, Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Kopi dari Hati, dan Kopi lain Hati.
Brand bukan lah sekedar sebuah nama, Pakar Brand Senior, Subiakto Priosoedarsono mengatakan pentingnya meracik sebuah nama brand, karena hal itu lah yang akan menjadi identitas produk kopi.
“Sehingga nama itu gak sembarangan. Nama itu harus punya makna supaya dia langgeng. Jadi nama yang baik itu adalah kalau dia punya nama dan punya call to action. Call to action itu bukan ajakan ya tapi menimbulkan rasa takut. Misalnya takut gak kebagian, takut ketinggalan informasi, takut kudet,” terang Subiakto kepada wartawan Kuatbaca.com, Jumat (26/1/2024).
Subiakto atau akrab disapa Pak Bi lantas mencontohkan dengan menyebutkan salah satu brand ternama yakni Indomie. Menurutnya, Indo adalah value dan call to action-nya adalah mie karena resepnya itu resep Indonesia yang memiliki slogan “Indomie Seleraku”. Akhirnya akan cocok bagi lidah orang Indonesia.
Dalam penggunaan bahasa pada penamaan brand kopi menurut pak Bi, tergantung pada targetnya. Jika ingin value-nya gengsi, maka penamaan bisa menggunakan bahasa asing seperti bahasa Inggris. Namun jika value-nya masyarakat ke bawah bisa menggunakan bahasa Indonesia yang mudah diingat.
Pak Bi menilai penamaan brand rokok menjadi contoh paling baik untuk dicontoh karena tidak pernah menunjukkan rokoknya dan justru menonjolkan value dari produknya.
“Contoh yang paling bagus untuk brand itu adalah rokok. Mereka tidak pernah menunjukkan rokok, tapi yang ditunjukkan adalah kamu jadi siapa jika hisap rokok ini,” terangnya.
Mencermati menariknya perubahan tren nama brand kopi sejauh ini, menunjukkan para pebisnis kopi menaruh perhatian tinggi terhadap penyematan value terhadap brand kopi. Salah satunya kafe UD Djaya yang nama brand-nya klasik selama ini lekat dengan nama toko banguan.
Pemilik kafe UD Djaya, Fauzi Arsyad Hendrawan, mengutarakan bahwa brand kafe kopinya menawarkan nuansa heritage toko-toko Indonesia di tahun 80-90an. Saat itu banyak ditemukan nama-nama seperti jaya, abadi, atau makmur. Pilihan nama Djaya sendiri tak lepas dari keberadaan kade UD Djaya yang berada di Kelurahan Kedung Jaya, Kota Bogor. Kemudian nama UD di depannya menjadi bagian paling menarik dan semakin menebalkan kesan tahun 80-90 nya.
“Setelah kami memberikan nama yang agak sedikit nyentrik, kita juga meletakkan concern utama kami ada di karakternya. Jadi kami kasihlah karakternya dengan warna merah. Kalau orang sekarang mengasosiasikan, khususnya di Bogor warna merah dan kopi itu harapan kami di kepala masyarakat terbesit nama UD Djaya,” pungkas Fauzi.
Harapan Fauzi agar masyarakat terbesi nama UD Djaya, relevan dengan pentingnya penentuan segmentasi dalam membangun bisnis kopi. Pak Bi berpendapat bahwa perlu menentukan segmentasi para konsumennya dari segi kebiasaan. Dengan begitu, produk kopi yang dijual akan menyesuaikan dari target yang telah ditentukan berdasarkan segmentasi kebiasaan para konsumen tersebut.
“Karena gak membuat segmentasi dari kebiasaan para konsumen. Misalnya seperti zaman saya muda dulu, kopi hitam itu buat sopir dan kopi susu itu buat tuannya. Jadi kalau saya minum kopi hitam, saya adalah sopir,” jelasnya.
Setelah mengetahui penamaan brand, lalu ada proses branding. Pak Bi menjelaskan dengan singkat perbedaan antara brand dan branding.
“Pernah bermain bola basket lalu dilempar ke tembok? Apa yang terjadi? Mantul kan? Pantulan itu disebut brand, sedangkan melemparnya itu adalah branding. Jadi jangan salah arti,” tutur Pak Bi.
Sekali lagi pak Bi menegaskan bahwa saat membangun bisnis kopi tidak bisa hanya bergantung pada penamaan brand unik tanpa mengandung value dan call to action. Pak Bi juga membeberkan hal-hal yang sering luput bagi para pebisnis kopi.
“Yang membuat bisnis kopi itu sustain adalah brand yang bikin tahan lama adalah maknanya. Kalau namanya asal-asalan, mungkin sekarang laku tapi gak lama akan turun,” pungkasnya.
Menurut pak Bi, prospek bisnis kopi di Indonesia sangat baik karena kopi sudah menjadi ritual harian bagi kebanyakan masyarakat Indonesia.
“Karena kopi termasuk ritual harian. Jadi, 9 dari 10 orang itu ngopi, rate-nya tinggi. Ada yang heavy user penikmat kopi hitam dan ada yang light user yaitu kopi susu. Mengapa bisnis kopi itu berkembang? Karena berbasis kepada ritual harian. Kedua, untuk memancing lebih sering orang itu datang ke kafe, maka pikirkanlah atraksinya. Karena kalau tidak ada aksinya, tidak akan terjadi transaksi dan jika tidak ada transaksi maka tidak terjadi cuan,” terangnya.
Atraksi yang dimaksud pak Bi bisa berupa produk, service, atau sisi diskonnya. Kalau atraksinya pada diskon, itu tidak akan berlangsung lama alias bangkrut karena tidak ada orang yang hidup dari diskon selamanya.
Terakhir, pak Bi menyarankan untuk temukan makna daripada kopi itu sendiri. Apakah maknanya itu untuk connecting people, teman ngobrol, atau hanya untuk ngopi saja. (*)
[INFOGRAFIS]