Kuat-BacaKuatBaca
Kuat-BacaKuatBaca
  1. Home
  2. Telik
KuatBaca-footerKuatBaca

Kategori

    Tentang Perusahaan

    • Susunan Redaksi
    • Pedoman Media Siber
    • Tentang Kami

    Hubungi Kami

    Download on App StoreDownload on Google Play

    Ikuti Kuatbaca.com di media sosial

    © 2025 Kuatbaca.com | All Rights Reserved

    Kisah Mutasi Letjen Kunto dan Kompleksitas Tata Kelola Militer di Indonesia

    24 June 2025 11:48 WIB·41
    Cover WEB - Kisah Mutasi Letjen Kunto dan Kompleksitas Tata Kelola Militer di Indonesia - Aditya Firmansyah 2.jpg

    “Mutasi Letjen Kunto menjadi pembicaraan publik karena dikaitkan isu sikap politik purnawirawan TNI termasuk ayahnya, Try Sutrisno, terhadap wacana pemakzulan Gibran sebagai Wakil Presiden RI. Polemik ini membuka kembali diskusi klasik soal netralitas militer, profesionalisme, dan pentingnya reformasi tata kelola dalam tubuh TNI di era demokrasi.”

    Letnan Jenderal (Letjen) Kunto Arief Wibowo, anak dari eks Wakil Presiden RI sekaligus Purnawirawan Jenderal TNI Try Sutrisno, tiba-tiba dimutasi dari jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I menjadi Staf Khusus Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD). 

    Keputusan itu tertuang dalam Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025 yang menetapkan mutasi 237 perwira tinggi TNI, termasuk Letjen Kunto, pada Selasa (29/4/2025). Namun, mutasi tersebut sontak menuai polemik publik, lantaran terjadi hanya beberapa hari pasca pernyataan sikap ratusan purnawirawan TNI, termasuk Try Sutrisno, yang mendesak pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Jakarta Utara pada Kamis (17/4/2025).

    Kecurigaan terhadap adanya politisasi militer pun bermunculan, apalagi jabatan Letjen Kunto digantikan oleh Laksamana Madya (Laksda) Hersan dari TNI AL, yang diketahui pernah menjadi ajudan Presiden Joko Widodo. Namun, sehari berselang, Panglima TNI Agus Subiyanto mengeluarkan surat pembatalan mutasi dalam Kep/554.A/IV/2025 yang isinya mengoreksi keputusan sebelumnya. Polemik pun berkembang dengan kemunculan dugaan campur tangan Presiden Prabowo terhadap penetapan mutasi Perwira Tinggi TNI beserta pembatalannya.

    Pihak Istana segera membantah adanya keterlibatan Presiden Prabowo Subianto dalam penetapan maupun pembatalan mutasi tersebut. Menurut Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman selaku Penasihat Khusus Presiden Urusan Pertahanan Nasional, mutasi perwira tinggi TNI adalah hal yang lazim.

    "Lazim, dulu pernah juga zaman Pak Gatot, Pak Hadi, itu biasa. Menurut saya enggak ada kaitannya itu, jadi memang biasa itu di lingkungan TNI itu sering seperti itu. Jadi terkadang pada saat Wanjakti kemudian ada pertimbangan. Jadi enggak ada hubungannya antara Pak Try dengan anaknya itu, enggak ada," kata Dudung di Istana Negara Jakarta, Senin (5/5/2025).

    Senada dengan itu, Pakar Pertahanan Universitas Paramadina, Anton Aliabbas. Berdasarkan penuturannya, mutasi di tubuh TNI memang untuk dibutuhkan untuk penyegaran dan penyesuaian. Terlebih melihat jabatan Kogapwilhan biasanya diisi oleh perwira dari angkatan laut. 

    “Jadi sebelumnya, kalau kita lihat riwayat tugas di Kogapwilhan 1 itu, sebelum anaknya Pak Tri, biasanya memang diisi oleh Perwira Tinggi TNI Angkatan Laut. Pak Ali pernah dari sana, lalu KSAL juga pernah dari sana. Tapi kemudian ketika 4 bulan lalu dikasih ke darat, yang ini kemudian penggantinya itu adalah orang AL lagi. Jadi mungkin ada kaitan di situ,” kata Anton. 

    Meski demikian, menurutnya ralat mutasi adalah suatu yang tidak biasa di TNI, walau pernah terjadi sebelumnya. 

    “Terjadi diwaktu eranya Pak Gatot. Jadi Gatot Nurmantyo di penghujung karirnya sebagai Panglima TNI, itu pernah membuat skep mutasi. Kemudian dicopot, diganti sama Pak Hadi Tjahjanto. Rezimnya berbeda, Pak Hadi menganulir skep mutasi sebelumnya. Jadi pernah kejadian, walaupun dengan cerita yang berbeda,” jelasnya.

    Peran Presiden dan Respons Politik Sipil

    Dalam upaya menurunkan tensi publik, Presiden Prabowo menunjukkan sikap hormat kepada Try Sutrisno dalam pertemuan halal bihalal purnawirawan TNI-Polri. Menurut Anton, ini adalah langkah mitigatif.

    “Tipikalnya Pak Prabowo ini kan memang dia hormat sama seniornya. Saya pikir halal bi halal adalah momentum di mana dia ingin meluruskan, saya nggak punya masalah dengan Pak Tri. Jadi kemarin itu nggak ada kaitannya bahwa ini urusan personal saya, nggak ada. Jadi jelas bahwa Pak Prabowo juga ingin memitigasi,” jelas Anton. 

    Meski demikian, Ramainya kasus tersebut patut menjadi refleksi bagi Panglima TNI Agus Subiyanto dan Presiden Prabowo Subianto. Menurut Anton, hal ini seharusnya jadi pemicu bagi pemerintah dan petinggi TNI untuk mereformasi Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tertinggi (Wanjakti) berbasis kompetensi, bukan lagi preferensi subjektif. 

    “Itu tata kelola pembinan karir prajuritnya lebih akuntabel, transparan dan konsisten. Kenapa? Karena ketika bicara tentang profesionalisme militer, itu ada lima elemen, digaji dengan baik, dilatih dengan baik, dididik dengan baik, dipersenjatai dengan baik, dan terakhir dikelola dengan baik. Bagaimana kita membuat tata kelola pembinan karir tidak lagi (berdasarkan) like and dislike,” ujarnya. 

    Bagi pendapatnya, penggunaan kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan dan juga big data dalam menentukan jenjang karir prajurit menjadi lebih baik untuk menghindari preferensi subjektif di kalangan Petinggi TNI. 

    Selain itu menurutnya, petinggi TNI juga perlu untuk mempertimbangkan momentum dalam menetapkan keputusan penting seperti mutasi perwira. Terlebih, meski TNI aktif tidak boleh terlibat dalam praktik politik, tetapi jangan sampai pula buta terhadap kondisi politik dalam negeri. 

    “Karena untuk naik pangkat di perwira tinggi, itu akan membutuhkan tanda tangan Presiden. Jadi mudah digeser isunya dari otonomi TNI ke cerita politik. Maka ada momentum yang kemudian perlu dilihat,” jelas Anton. 

    Militer: Aktor Negara atau Organisme Politik?

    Polemik mutasi Letjen Kunto kembali memunculkan diskursus klasik dalam hubungan sipil-militer, terutama dalam teori Samuel Huntington tentang subjective and objective civilian control.

    Jika dilihat dari tujuannya, subjective civilian control dimaksudkan untuk men-sipilkan militer dan mengandaikan partisipasi militer dalam politik praktis serta menolak ruang lingkupnya yang independen. Sedangkan objective civilian control menempatkan militer pada tempatnya, dan menjadikannya sebagai alat bagi negara, sehingga militer tidak diperkenankan terlibat dalam politik praktis dan mengakui profesionalitasnya yang otonom. 

    “Satu hal yang paling penting bagi sistem kontrol sipil adalah meminimalkan kekuatan militer. Objective civilian control mencapai pengurangan tersebut dengan memprofesionalkan militer, dengan membuat mereka steril dan netral secara politik. Hal ini menghasilkan tingkat kekuasaan politik militer serendah mungkin sehubungan dengan semua kelompok sipil, (tetapi) juga memaksimalkan kemungkinan tercapainya keamanan militer,” tulis Huntington dalam The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations.

    Morris Janowitz kemudian melengkapi pendekatan ini dengan pengakuan bahwa militer tidak sepenuhnya imun dari politisasi.

    “Militer itu tidak imun terhadap politisasi militer. Kenapa? Karena politisasi itu akan diawali dari adanya benturan personality. Yang kemudian nanti akan berujung pada benturan kepentingan politik. Harus dipahami, ketika cerita tentang politisasi militer, itu tidak melulu bahwa dari orang luar mempengaruhi dalam, dari dalam juga bisa melakukan politisasi. Jadi politisasi militer itu ada tiga jenis, pertama adalah dari dalam, dari luar, dan kombinasi dulu luar dan dalam. Di kita kejadian semua tiga-tiganya,” kata Anton. 

    Menurutnya, tiga jenis politisasi militer terjadi semua di Indonesia, khususnya pada era orde lama di era kepemimpinan Soekarno. Politisasi militer dari dalam terlihat dari munculnya faksi-faksinya yang secara pragmatis bergerak sesuai kepentingan politik. 

    Sedangkan dari luar terjadi saat Presiden Soekarno mengubah model kabinet dengan menambahkan jabatan Menteri Panglima Angkatan dalam konteks memotong pengaruh AH Nasution yang sempat menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. 

    Menurut Anton, perdebatan mengenai legalitas militer terlibat dalam politik sangat tergantung pada sejarah pembentukan negara. Saat mencermati sejarah dunia, umumnya militer yang diatur secara ketat dan tidak banyak berpolitik praktis itu terjadi ketika organisasi angkatan bersenjata itu dibentuk oleh negara. 

    Namun berbeda, jika kehadiran suatu entitas militer sudah ada sebelum dibentuknya negara. Kondisi tersebut justru menjadikan fenomena militer yang turut berpartisipasi dalam politik sebagai sesuatu yang tak dapat dipungkiri.

    “Jadi (kalau) negaranya memang lebih kuat daripada tentaranya, dia bisa mengatur. Negara kita dengan Amerika kan beda ceritanya. Jadi dia (entitas militer) sebagai organisme politik, kalau dia memang dari awal berdiri sebuah negara (terbentuk) sebagai organisme politik yang punya senjata, terus mau ngapain? Mau digeser? Ya kan memang organisme politik. Terus ya tinggal bagaimana kita mengatur kemudian organisme politik itu. Bagaimana mengelolanya itu, itu yang harus kita diskusikan sebenarnya,” tandasnya.

    Oleh Gery Gugustomo
    Jurnalis :  Gery GugustomoEditor :  Jajang YanuarIllustrator :  Aditya FirmansyahInfografis :  Aditya Firmansyah