“Klaim mengenai Indonesia sebagai negara fatherless perlu ditelisik lebih mendalam. Dari sisi ayah sebagai pemberi nafkah tentu mengorbankan waktunya untuk bekerja, sehingga diperlukan waktu yang berkualitas dalam memenuhi hubungan ayah-anak. Sedangkan dari sisi anak, tentu kehadiran sosok ayah sangat diperlukan dalam tumbuh kembangnya baik secara kognitif maupun psikologis. Meski demikian kondisi Fatherless di Indonesia sesungguhnya tak sama persis dengan situasi di negara lain”
Munculnya klaim Indonesia sebagai negara fatherless ketiga di dunia patut menjadi pertanyaan dan harus ditelisik lebih lanjut. Hasil penelusuran terhadap publikasi yang mengklaim Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara fatherless di Google Scholar maupun Mendeley dengan keyword fatherless menunjukkan tidak ditemukan satu publikasi ilmiah yang membahas perangkingan fatherless. Dari 1.280 publikasi yang muncul, tidak ada satupun riset atau survei yang membahas Indonesia berada di tingkat ketiga soal fatherless.
Fatherless merupakan fenomena ketidakhadiran peran dan figur ayah pada seorang anak. Namun klaim yang muncul tersebut mengisyaratkan tidak cukupnya waktu ayah pada anak meski hadir secara fisik.
Berdasarkan keterangan UNICEF pada 2021, terdapat 20,9% anak-anak di Indonesia yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Terlebih lagi ditemukan, lebih banyak anak yang hanya tinggal bersama ibu dibandingkan dengan ayah.
Hal ini dibenarkan oleh keterangan dari Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo. Ia menjelaskan, penyebab terbesar fatherless adalah tingginya angka perceraian.
Pernyataan Hasto itu berkorelasi dengan data dari Australia-Indonesia Partnership yang menyebutkan, 95% Perceraian di Indonesia melibatkan anak usia dibawah 18 tahun di 2018. Terlebih Data BPS menyebutkan adanya peningkatan signifikan angka perceraian di Indonesia, Misalnya pada 2022 terdapat 583.266 kasus, nilai tersebut naik 15,31% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus.
Melihat kondisi itu, tim Kuatbaca.com mencoba menggali perspektif dari kacamata seorang ayah. Terlebih, di kota besar seperti Jakarta, membagi waktu dan kewajiban sebagai ayah menjadi tantangan tersendiri. Misalnya seorang ayah dan driver ojol bernama Jodi yang berpendapat tugas penting seorang ayah ialah memberikan pendidikan terbaik.
“Kalau di sekolah ada guru yang mengatur, tetapi kalau di luar sekolah ya tentu orang tuanya yang mendidik,” ujar Jodi.
Begitu juga kata Firman seorang karyawan swasta di bilangan Kota Jakarta Pusat. Menurutnya memang tugas seorang ayah untuk bekerja, tetapi seharusnya perlu meluangkan waktu sedikit untuk keluarga, khususnya anak.
“Kita wajar sibuk, tetapi jangan sampai kehilangan waktu sama sekali lah. Kalau kita sampai kehilangan waktu bersama, ya enggak akan bisa keulang lagi. Memang sudah jadi tanggung jawab kita sebagai laki-laki sudah pasti kehilangan waktu, beda kalau seorang pengusaha.” Jelas Firman.
Iis, seorang perantau dari Banten juga harus merasakan jauh dari anak. Hal paling membahagiakan baginya sebagai seorang ayah adalah doa dan kabar dari anaknya.
“Sebagai ayah ya lumayan sedih juga, karena jauh dari anak. Kadang di rantau tiga bulan sekali baru pulang terus ketemu paling dua malam. Tapi yang paling membahagiakan yaitu kata anak saya, pak yang penting bapak sehat. Dan yang penting ada kabar dari anak dan istri,” katanya.
Peran Kehadiran Ayah Bagi Anak
Dari pandangan ketiga sosok ayah diatas menunjukkan pentingnya kualitas hubungan ayah dan anak meski dihadapkan pada keterbatasan waktu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Yulinda Ashari.
“Peran ayah tidak hanya sebatas mencari nafkah, tetapi juga menjadi panutan bagi anak untuk belajar tentang ketegasan dan keteguhan untuk menolak segala hal negatif yang ditawarkan oleh dunia luar atau teman sebayanya. Kuantitas waktu yang dihabiskan ayah dan anak memang penting, namun kualitas interaksi ayah dan anak jauh lebih penting,” Tulis Yulinda dalam Jurnal Psikoislamika Vol.15 berjudul Fatherless in Indonesia and Its Impact on Children’s Psychological Development
Menurut Guru Besar Studi Perkembangan Manusia University of Delaware, Rob Palkovits, peran seorang ayah dalam tumbuh kembang anak secara positif akan menumbuhkan keterampilan sosial dan kognitif yang baik, serta harga diri yang tinggi bagi seorang anak. Sebaliknya, jika peran ayah dikatakan minim atau bahkan tidak ada, maka ada kecenderungan berimbas pada kehidupan anak.
Ditambah lagi, menurut peneliti The Hong Kong Polytechnic University, Shaolingyun Guo, ketidakhadiran ayah dapat menyebabkan berkurangnya pendapatan rumah tangga, kurangnya perhatian pada anak, komunikasi orang tua-anak yang buruk, dan masalah psikologis pada anak karena lingkungan yang keras untuk bertahan hidup.
Dampak ketidakhadiran sosok ayah dapat tergambarkan dari pengakuan Faris Muhammad Syahid, 27 tahun, seorang pegawai industri F&B di bilangan Senayan. Ia diketahui mengalami turbulensi kehidupan saat ditinggal oleh ayahnya sejak usia 12 tahun.
Faris mengaku terdapat banyak dampak dan gangguan psikologis dalam dirinya sejak ditinggal oleh ayahnya. Misalnya hilang rasa kepercayaan diri dan yang berimbas kesulitan bersosialisasi.
“Dulu waktu masih kecil masalah psikologis sudah pasti begitu juga cara saya dan adik-adik dalam mengambil sikap juga berdampak. Saya juga jadi tidak punya tempat cerita, karena sebelum kejadian itu saya sering banyak yg saya curahkan ke ayah. Itu juga dampaknya membuat saya jadi milih-milih relasi dan teman dalam bersosialisasi, karena semenjak itu hilang kepercayaan diri,” kata Faris.
Menolak Universalitas Fatherless
Pada abad ke 20-an, lumrah terjadinya praktik perceraian sewenang-wenang dan poligami. Bahkan sejak masa Kolonial Belanda. Praktik tersebut tentu memunculkan gerakan perempuan yang mendesak pengaturan ketat mengenai pernikahan, perceraian, dan rujuk.
Salah satunya, Siti Hartinah alias Ibu Tien yang mendorong suaminya, Soeharto, untuk segera menggolkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur bahwa satu pria hanya boleh memiliki seorang istri dan sebaliknya.
Ibu Tien juga mendesak disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, karena saat itu banyak pejabat yang memiliki istri simpanan dan melakukan perceraian sewenang-wenang.
Bisa dikatakan bahwa Ibu Tien Soeharto merupakan figur yang gencar melakukan perlawanan terhadap poligami. Jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, bisa dikatakan bahwa Ibu Tien merupakan figur yang berkeinginan supaya keluarga Indonesia dapat memiliki rumah tangga yang utuh.
Meski demikian kondisi fatherless di Indonesia sesungguhnya tidak sama persis dengan situasi di belahan bumi Barat, dimana teori ini lahir dan bertumbuh kembang. Tuduhan bahwa budaya patriarki menjadi salah satu sebab utama atas kemunculan munculnya fatherless tentu masih dapat diperdebatkan. Tidak dipungkiri, bahwa konstruksi budaya menempatkan posisi laki-laki (ayah) sebagai figur penting baik dalam sistem sosial dan hirarki keluarga.
Padahal perbedaan kultural diyakini dapat menjadi pembeda terkait dampak fatherless secara kognitif maupun non-kognitif di berbagai negara. Tidak semerta-merta karena budaya patriarki. Bahkan peneliti-peneliti dari Barat pun mengakui hal ini, diantara mereka adalah Jonas Radl, Leire Salazar, dan Hector Cebolla-Boado yang merupakan pakar-pakar sosiologi Universidad Carlos III de Madrid.
“Tentu saja, sangat sulit untuk menjelaskan perbedaan lintas negara dalam hal dampak menjadi orang tua tunggal terhadap pendidikan karena maknanya berbeda di berbagai latar belakang budaya, dan implikasinya juga dapat bervariasi sebagai fungsi dari desain kelembagaan sistem pendidikan,” tulis pakar sosiologi Universidad Carlos III de Madrid dalam jurnal berjudul Does Living in a Fatherless Household Compromise Educational Success? A Comparative Study of Cognitive and Non-cognitive Skills.
Tapi yang mesti dipahami, kondisi tersebut lahir bukan tanpa alasan. Dalam konteks ini figur ayah menempati posisi penting, khususnya dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga
Faktanya adalah, banyak ayah yang kemudian merantau jauh dari istri dan anak untuk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya berdasarkan data dari BPS menunjukkan bahwa terdapat 1,6 juta laki-laki berusia produktif (25-59) yang bermigrasi, atau 1,24% dari total penduduk laki-laki di Indonesia.
Fatherless merupakan suatu fenomena banyak terjadi di banyak negara, tapi menyamakan atau meng-universalkan dan memberikan solusi yang seragam, tentu menjadi kurang tepat. (*)