Ancaman Deepfake: Cara Baru Penipuan Digital Mengincar Korban

Kuatbaca.com-Teknologi kecerdasan buatan (AI) yang dulu hanya dipakai untuk hiburan kini telah bertransformasi menjadi ancaman nyata di dunia digital. Salah satu penyalahgunaan AI yang kian marak adalah deepfake, teknologi yang mampu memanipulasi wajah dan suara seseorang hingga menyerupai aslinya secara menakjubkan. Akibatnya, identitas seseorang bisa dicuri dan digunakan untuk melakukan penipuan dengan kerugian besar.
Niki Luhur, Founder sekaligus Group CEO VIDA, mengungkapkan bahwa keamanan data pribadi saat ini semakin rentan diserang, terutama melalui teknologi deepfake. Interaksi digital yang melibatkan pertukaran data pribadi, seperti transaksi di e-commerce, menjadi celah bagi penipuan canggih ini. Menurut Niki, serangan deepfake tak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga merusak reputasi perusahaan dan individu yang menjadi korban.
"Dulu deepfake hanya dianggap sebagai alat hiburan, seperti filter yang membuat wajah terlihat lebih cantik atau lucu, tapi sekarang ini sudah menjadi senjata yang sangat berbahaya. Dengan teknologi ini, seseorang bisa mengubah identitasnya menjadi orang lain atau bahkan meniru saya," jelas Niki dalam acara peluncuran whitepaper VIDA Deepfake Shield di Plaza Senayan, Jakarta.
1. Kasus Penipuan Deepfake Bernilai Rp 400 Miliar
Salah satu contoh nyata dampak negatif deepfake terjadi pada sebuah perusahaan multinasional yang kehilangan sekitar HKD 200 juta, setara dengan Rp 400 miliar. Kasus ini bermula dari insiden penipuan yang menargetkan karyawan di kantor cabang Hong Kong.
Pada Januari 2024, seorang karyawan menerima pesan phishing yang tampak berasal dari CFO kantor pusat di Inggris. Pesan tersebut berisi instruksi melakukan transaksi rahasia. Namun, korban yang curiga tidak langsung menuruti permintaan itu. Selanjutnya, korban diajak mengikuti rapat video conference yang memperlihatkan wajah dan suara CFO beserta beberapa
karyawan lain.
Sayangnya, rapat tersebut ternyata palsu. Semua peserta di video conference adalah hasil deepfake yang dibuat menggunakan rekaman video publik yang disusun sedemikian rupa agar menyerupai orang yang asli. Korban adalah satu-satunya orang asli di dalam pertemuan tersebut.
Selama rapat, korban diperintah untuk melakukan transfer uang sebanyak 15 kali ke beberapa rekening bank di Hong Kong. Akibatnya, perusahaan mengalami kerugian total hingga HKD 200 juta. "Dalam video conference itu, semuanya palsu—wajah, suara, dan gerakan," ungkap Chan, salah satu penyidik kasus tersebut. Penipu memanfaatkan kemiripan yang sangat tinggi sehingga sulit dibedakan dari orang asli.
2. Teknologi Deepfake dan Bahayanya bagi Dunia Digital
Deepfake adalah hasil teknologi AI yang menggunakan teknik pembelajaran mendalam (deep learning) untuk merekayasa video dan audio palsu dengan kualitas sangat tinggi. Teknologi ini mampu mengubah wajah, gerakan bibir, dan intonasi suara sehingga seolah-olah orang yang dimanipulasi memang benar-benar melakukan atau mengatakan sesuatu.
Selain kasus perusahaan di Hong Kong, penggunaan deepfake juga sudah mulai mengincar sektor pribadi maupun bisnis, dengan modus penipuan seperti pemerasan, pencurian data, hingga penyebaran informasi palsu (hoaks). Ancaman ini semakin menguat karena kemudahan akses alat deepfake yang kini tersedia di internet.
Kehadiran teknologi ini menguji kesiapan regulasi dan sistem keamanan data digital di seluruh dunia. Dibutuhkan langkah proaktif
dari perusahaan dan individu dalam menerapkan proteksi dan edukasi terhadap bahaya deepfake dan penipuan berbasis AI.
3. Upaya Perlindungan dan Pencegahan Deepfake
Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan seperti VIDA meluncurkan produk keamanan digital khusus yang disebut Deepfake Shield. Teknologi ini berfungsi mendeteksi dan memblokir konten deepfake yang berpotensi merugikan, sekaligus memperkuat keamanan data pengguna di dunia maya.
Selain itu, penting bagi masyarakat agar semakin kritis dalam menerima informasi digital, terutama yang berasal dari sumber tak terverifikasi. Meningkatkan literasi digital dan kesadaran akan risiko deepfake menjadi langkah preventif yang sangat diperlukan.
Para ahli keamanan digital juga menganjurkan penggunaan autentikasi multi-faktor, pengawasan ketat atas transaksi finansial, serta pelatihan pegawai perusahaan untuk mengenali tanda-tanda penipuan digital.
4. Masa Depan Deepfake dan Etika Penggunaannya
Meski deepfake memiliki risiko besar, teknologi ini juga punya potensi positif jika digunakan secara etis, seperti dalam bidang hiburan, pendidikan, dan produksi film. Namun, penyalahgunaan deepfake harus dicegah dengan regulasi ketat dan kolaborasi antarnegara.
Perkembangan AI harus diiringi dengan tanggung jawab sosial dan hukum agar tidak menjadi senjata yang merugikan masyarakat. Pengawasan yang ketat dan kesadaran bersama akan membantu menekan penyebaran penipuan berbasis deepfake.
Dengan pemahaman yang lebih dalam dan kewaspadaan bersama, masyarakat dan pelaku bisnis bisa meminimalisir risiko yang ditimbulkan oleh teknologi deepfake sekaligus memanfaatkan potensi positif AI untuk kemajuan bersama.