Kuatbaca
11 May 2023 16:58
UU Bea Cukai yang mencakup penyidikan tindak pidana masih menimbulkan masalah sinergi antar lembaga, khususnya kepolisian. Digaungkan perlu direvisi, meskipun dalam pandangan praktisi hukum dapat diselesaikan dengan perbaikan sinergi kerja di lapangan.
Undang-Undang Bea Cukai yang ada sekarang mengatur sedemikian rupa tugas, wewenang, dan kewajiban badan usaha Bea Cukai. Namun, belakangan ini seringkali terjadi kasus pelanggaran hukum dan korupsi yang melibatkan pejabat di lingkungan Bea Cukai. Beberapa kalangan mengusulkan agar Undang-Undang Bea Cukai harus direvisi dengan memasukkan ketentuan yang mengatur peran dan kewenangan penyidik kepolisian dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan Bea Cukai.
Tugas dan wewenang badan usaha Bea Cukai tidak selalu mencakup segala jenis pelanggaran hukum yang terkait dengan Bea Cukai, tetapi dapat mencakup tindak pidana kepabeanan yang melibatkan unsur pidana umum, seperti perdagangan ilegal, penggelapan, dan tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dalam beberapa kasus tertentu, misalnya penyelundupan narkoba atau senjata api yang terkait dengan impor atau ekspor barang melalui pelabuhan. Penanganan secara maksimal tidak hanya sekedar kerjasama antara penyidik kepolisian dan bea cukai, melainkan juga harus memiliki dasar hukum.
Kewenangan penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea Cukai dalam penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan harus memiliki hubungan koordinasi dan pengawasaan bersama Polri. Dalam penjelasan ini, Hartanti pengajar bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Janabadra, hal ini supaya tidak terjadi kesewenangan dalam melakukan tindak pidana kepabeanan.
“Jika tumpang tindih kewenangan penyidik Polri dan Bea Cukai terjadi, harusnya ini juga diselesaikan oleh Undang-Undang. Namun saya kira penting digarisbawahi dalam hal ini adalah upaya untuk mengedepankan koordinasi sekaligus pengawasan dalam hubungan Penyidik Polri dan Bea Cukai,‘’ kata Hartanti, Rabu (3/5).
Hartanti memaparkan, bahwa tindak pidana kepabeanan merupakan tidak pidana khusus yang memerlukan keahlian khusus pula untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi.
"Untuk itu perlu juga dorongan dari kepolisian agar penyidikan tindak pidana kepabeanan dilaksanakan sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang, baik berdasarkan HUHAP maupun berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan," lanjutnya.
Hartanti menambahkan, mekipun Penyidik PPNS Bea Cukai dengan penyidik Polri mempunyai kewenangan yang sama untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana, namun keduanya berbeda lingkupnya..
“Meskipun keduanya memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang. Namun perlu diingat bahwa PPNS Bea Cukai hanya dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana cukai saja sebagaimana diatur dalam Pasal 112 UU Kepabeanan. Sedangkan penyidik Polri mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan pasal 6 ayat (2) HUHAP, dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia,” jelasnya.
Namun, apabila diperhatikan ketentuan UU Kewenangan yang dimiliki oleh PPNS Bea dan Cukai yang diatur dalam Pasal 112 Undang-Undang Kepabeanan bersifat tumpang tindih dengan Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik yang merupakan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU memiliki wewenang sesuai dengan UU yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian RI.
Disebutkan wewenang PPNS Ditjen Bea Cukai. Pasal 112 ayat (2) huruf d UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan memberi wewenang PPNS untuk ‘melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan’.
Sedangkan disisi lain, PPNS meminta bantuan kepada instansi terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penetapan status daftar pencarian orang, atau pencegahan dan penangkalan.
Untuk itu perlu upaya menilik Kembali hubungan PPNS dengan Penyidik Polri dan Penuntut Umum dalam upaya harmonisasi antar sejumlah peraturan perundang-undangan.
Merinci yang Tumpang Tindih
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan peran utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana secara umum tanpa Batasan lingkungan kuasanya. Artinya, Polri oleh KUHAP diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.
Namun demikian KUHAP juga masih memberikan kewenangan kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu untuk melaksanakan penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
‘’Bahwa penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang’’ Bunyi Pasal 6 KUHAP.
Dalam Pasal 107 ayat (1) KUHAP juga menyebutkan bahwa setiap penyidik wajib memberikan bantuan penyidikan terhadap penyidik pegawai negeri sipil, dengan demikian hubungan kerja antara penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Hal ini terkait dengan pelaksanaan koordinasi, pengawasan, pemberian petunjuk dan pemberian bantuan penyidikan dari penyidik Polri kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang didasarkan dengan sendi-sendi hubungan fungsional dengan mengindahkan hierarki masing-masing.
Dalam melakukan koordinasi penyidikan, bantuan wajib yang diberikan oleh penyidik Polri kepada PPNS Bea dan Cukai menurut penyidik Polri baik diminta maupun tidak diminta atau tidak berdasarkan tanggung jawabnya dalam rangka pelaksanaan penyidikan.
Namun dalam pelaksanaannya pengaturan kewenangan oleh masing-masing instansi inilah yang menjadi masalah yang seringkali ditemui oleh penyidik kepolisian dan PPNS Bea Cukai dalam melakukan penyidikan tindak pidana karena adanya tumpang tindih kewenangan yang diberikan oleh UU.
Selain itu, masalah penyidik kepolisian adalah terkait rumitnya hubungan kerja dengan instansi penyidik yang lain dan terkadang PPNS dinilai terlalu lunak dalam menghadapi suatu dugaan pelanggaran. Oleh sebab itulah, Undang-Undang Bea Cukai perlu direvisi dengan memasukkan ketentuan yang mengatur peran dan kewenangan penyidik kepolisian dengan memiliki kedudukan hukum yang jelas dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan Bea Cukai.
Meskipun UU Bea Cukai berfungsi sebagai payung hukum dalam hal pengaturan dan pelaksanaan kegiatan bea cukai di Indonesia, dalam praktiknya masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan yang perlu diperbaiki melalui revisi UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Sementara itu jika ada opsi TNI masuk dalam bea cukai, bisa dilacak dasar hukum bagi adanya Undang-Undang Kerjasama antara Bea Cukai dan TNI, yakni Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Dalam ketentuan ini diatur tentang tugas dan wewenang TNI dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas keamanan dan penegakan hukum di bidang kepabeanan, seperti pengamanan jalur perlintasan barang impor dan ekspor, pemantauan kegiatan kepabeanan di pelabuhan, dan tindakan pengamanan lainnya.
Penting untuk diingat, keterlibatan TNI dalam pelaksanaan tugas-tugas keamanan dan penegakan hukum di bidang kepabeanan harus dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek hukum dan tidak boleh bertindak di luar kewenangannya. Perlu upaya meminimalisir konflik antara lembaga supaya tidak terjadi bias tugas dan fungsi yang dapat memicu ketidakpastian hukum.
“Revisi Undang-Undang Bea Cukai perlu dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan masukan dari berbagai pihak terkait, termasuk Polri dan TNI. Hal ini bertujuan untuk menjamin koordinasi dan sinergi yang baik antara lembaga penegak hukum dalam menangani tindak pidana di sektor bea cukai, sehingga pencegahan dan penindakan tindak pidana dapat dilakukan secara efektif dan efisien tanpa menimbulkan tumpang tindih atau konflik,” pungkas Hartanti.
Komentar
Belum ada komentar