“Depo Pertamina Plumpang kembali kedatangan Si Jago Merah. Kejadian itu mengingatkan luka lama warga Tanah Merah yang akhirnya bersemi kembali sejak tahun 1960-an silam. Luka terkait kepemilikan lahan di Tanah Merah yang hingga saat ini masih membekas di warga Tanah Merah. Tak heran jika luka itu cukup berkesan bagi warga karena telah terjadi selama lebih kurang 60 tahun. Kesaksian warga soal kronologi terjadinya sengketa lahan pada tahun 2012 dan 2023 masih sama, namun saat ini warga sudah lelah dan hanya ingin PT Pertamina memberikan pertanggungjawabannya dari sisi kemanusiaan.”
Si Jago Merah kembali hadir di Tanah Merah. Hembusan nafasnya membuat Depo Pertamina Plumpang menyala di tengah gelapnya malam. Rembulan menjadi saksi atas kebakaran yang terjadi pada Jumat (3/3/2023) tepat pukul 20.00 WIB.
Bukan kali pertama Depo Pertamina Plumpang mengalami kebakaran. Sebelumnya, kehadiran pertama Si Jago Merah terjadi pada Minggu (18/1/2009) di malam hari pukul 21.30.
Kedua kebakaran itu terjadi di malam hari di saat para warga sedang beristirahat tenang. Apalagi lokasi Depo Pertamina Plumpang ini sangat dekat dengan pemukiman warga, bahkan berdampingan.
Kaget bukan main saat terjadinya kebakaran bagi warga sekitar Tanah Merah. Namun, bukan hanya itu yang menjadi permasalahan besarnya. Lahan tanah merah ini mengingatkan luka lama mengenai sengketa tanah yang akhirnya bersemi kembali. Jika melihat sejarahnya ternyata lahan itu masih berstatus tanah sengketa.
Pada tahun 1960-an, Persoalan sengketa tanah telah dimulai seiring pembebasan lahan di kawasan itu. Tepat pada tahun 1965, sudah mulai ada warga yang bermukim di sana dengan jumlah yang sangat sedikit. Terdapat 9 kepala keluarga yang tinggal secara terpencar di tanah tersebut.
Memasuki tahun 1970-an, PT Pertamina mulai datang dan menempati sebagian kecil lahan di Tanah Merah tersebut. Salah satu warga menceritakan tentang awal mula berdirinya Depo Pertamina.
“Bilangnya sih waktu itu cuma mau bikin lapangan voli, eh enggak tahunya datang juga satu tangki BBM,” ujar Salah satu warga Tanah Merah, Didin, Kamis (9/2/2012).
Tepat di tahun 1974, PT Pertamina hadir di Tanah Merah membangun depo seluas 14 hektare. Tak hanya itu, hadir juga pengembang salah satu perumahan yang membangun proyek di sana.
Kedatangan pengembang rumah di daerah itu membuat jumlah warga yang tinggal di sana perlahan bertambah. Akan tetapi, warga yang bermukim di sana mengalami satu kendala yang cukup fatal. Warga sulit untuk dapatkan surat kepemilikan tanah, sehingga mereka tak memiliki legalitas atas kepemilikan tanah yang mereka tempati.
Pertumbuhan jumlah warga di sana cukup besar, pasalnya pada tahun 1986, terbentuklah pemukiman warga yang padat. Warga dari berbagai daerah ikut menempati lahan tersebut. Jumlahya mencapai 344 bangunan dengan 1.284 keluarga.
Seiring berjalannya waktu, baik warga maupun PT Pertamina secara berdampingan menempati lahan tersebut. Masalah kemudian timbul ketika pada tahun 1992, Depo Pertamina Plumpang secara sepihak mengakui seluruh lahan Tanah Merah adalah miliknya.
Pertamina Plumpang kemudian menindaklanjutinya dengan melakukan penggusuran secara paksa seluruh bangunan warga yang dianggap berdiri di Tanah Merah.
Persengketaan lahan itu sempat berlanjut ke meja hijau. Namun, pihak Depo Pertamina yang sudah ngotot mengklaim lahan itu justru tidak dapat membuktikan kepemilikan atas lahan tersebut. Sehingga pengadilan memutuskan bahwa warga tetap berhak menempati wilayah tersebut. “Tahun 1992 itu, perkaranya dimenangkan warga,” terang Didin.
Bersamaan dengan hasil keputusan tersebut, pengadilan juga mewajibkan pihak Pertamina Plumpang untuk ‘membayar ganti rugi’ atas bangunan-bangunan yang rusak dalam tragedi penggusuran tersebut.
Meski pengadilan sudah memutuskan bahwa warga tetap berhak menempati Tanah Merah, hal tersebut tidak lantas membuat permasalahan kependudukan di Tanah Merah selesai.
Selang beberapa hari setelah kesaksian yang diberikan Didin, pihak PT Pertamina pun memberikan kesaksian yang berbeda.
Pertamina berniat menertibkan atau mengosongkan lahan Tanah Merah milik Pertamina di Plumpang, Koja, Jakarta Utara. Pengosongan lahan dilakukan secara bertahap setelah ada sosialisasi.
Langkah bertahap ini harus dilakukan, ujar Vice President Corporate Communication PT Pertamina pada saat itu, Muhammad Harun, Rabu (11/1/2012), karena beberapa hal.
Pertamina juga tidak lagi memberikan uang kerahiman. “Tidak ada lagi uang itu. Sebab, tahun 1992, kami telah melakukan hal itu,” tambah Harun.
Akan tetapi, penertiban tidak bisa dilakukan segera dikarenakan banyaknya jumlah warga yang bermukim di Tanah Merah.
“Di sana ada para ibu dan anak, Jumlah warga yang bermukim di sana pun banyak. Kami tidak ingin pengosongan ini menimbulkan konflik baru,” tutur Harun.
Sebagai informasi, tahun 1992, Pertamina klaim telah membebaskan lahan negara seluas 153 hektar, termasuk di dalamnya 83 hektar lahan yang ditempati warga Tanah Merah. Pembebasan dilakukan hingga proses pengadilan di Mahkamah Agung.
Krisis moneter tahun 1997 yang melanda Indonesia, ikut menyebabkan gagalnya PT Pertamina untuk melakukan pengosongan.
“Karena krisis itu, Pertamina terpaksa membatalkan sejumlah proyek pembangunan. Padahal, lahan sudah dibeli. Akhirnya, kasus seperti Tanah Merah terjadi,” ujar Harun.
Perselisihan antara PT Pertamina dan warga tak kunjung datang hingga terjadi tragedi kebakaran pertama di Depo Plumpang pada tahun 2009. Menurut Pertamina, tidak ada korban jiwa akibat peristiwa kebakaran yang berlangsung sekitar 10 jam ini.
Memasuki tahun 2012, Pemerintah Kota Jakarta Utara justru terlihat membela pihak Pertamina dengan melabeli warga yang tinggal di Tanah Merah sebagai warga ilegal. Bahkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menolak pembuatan RT/RW.
Hingga tibanya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2012 DKI Jakarta, Joko Widodo yang saat itu mengikuti kontestasi tersebut, berjanji memberikan KTP kepada warga Tanah Merah sebagai kontrak politik.
Janji tersebut terealisasi di tahun 2013, ketika sebanyak 1.665 jiwa dan 715 KK Warga mendapat legitimasi pencatatan sipil dari negara yang secara resmi memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang beralamat di Tanah Merah.
Pasca era Jokowi usai, pada Pemilihan Gubernur (PIlgub) DKI Jakarta 2017, Anies juga memiliki janji politik terhadap warga Tanah Merah.
Anies Baswedan dalam kontestasi Pilgub 2017 menjanjikan solusi terhadap sengketa lahan Tanah Merah.
Anies merealisasikannya pada tahun 2021 dengan memberikan izin mendirikan bangunan (IMB) sementara berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 tahun 2010 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 118 Tahun 2020 tentang Izin Pemanfaatan Ruang.
Saat Depo Pertamina Plumpang kembali terbakar pada Maret 2023 dan memakan korban jiwa sebanyak 19 orang, warga klaim bahwa tidak ada sirine tanda bahaya yang berbunyi saat kebakaran Depo Pertamina Plumpang.
“Ini yang menjadi pertanyaan kita, faktor keamanan bagaimana di Pertamina. Masalah peringatan dini dan mitigasi bencana tidak ada sama sekali di masyarakat sekitar,” ujar Ketua Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB), Mohamad Huda, Sabtu (11/3/2023).
Warga mengetahui adanya bahaya dari teriakan warga lain, sebagaimana yang disampaikan Sahlan, salah satu warga yang terdampak kebakaran yang diwawancarai Kuatbaca.com.
“Kan ujan besar, ada suara cos.. cos... saya kira suara istri saya. Saya kira rem angin. Lalu ada yang teriak, 'kebakaran'. Saya keluar, asapnya udah keluar banyak, pes... Asapnya putih semua. Orang ada yang bilang bensin, ada yang bilang gas. Saya sampai lari kayak orang mabok,” ungkap Sahlan, Rabu (8/3/2023).
Pasca kebakaran, publik membahas berbagai macam isu. Pembahasan mengenai aset obyek vital nasional tersebut, yang nampak adalah pilihan kebijakan merelokasi Pertamina atau warga, politik sengketa lahan merah, zona penyangga (buffer zone), hingga bantuan sosial kepada warga terdampak.
Untuk mengetahui pembahasan lengkap soal relokasi Pertamina dan warga, dari segi aturan, hingga efisiensi pembiayaannya bisa ditemukan di Telik KuatBaca yang berjudul “Dalil Kebenaran Sengketa Lahan Tanah Merah”.
Akan tetapi, isu-isu itu mengaburkan fakta, bahwa sejak awal Pertamina tidak dapat membuktikan keabsahannya untuk menempati kawasan Tanah Merah.
Untuk menggali informasi seputar Tanah Merah, tim Kuatbaca sempat mendatangi lokasi pada Rabu (8/3/2023), tepatnya ke Posko Pengungsian Korban Kebakaran Depo Pertamina di Jalan Mandiri VII RT 012/09, Rawa Badak Selatan, Jakarta Utara.
Di lokasi, kami bertemu dengan Sekretaris RW 09, Rawa Badak Selatan, Muktar. Sejumlah pengakuan diutarakan Muktar, mulai dari awal mula terjadinya sengketa lahan hingga apa saja yang saat ini dibutuhkan oleh para warga di Tanah Merah.
Warga saat ini hanya ingin PT Pertamina melihat sisi kemanusiaan dan memperhatikan para korban dan warga yang terkena dampak dari kebakaran itu. Mereka hanya ingin pertanggungjawaban dari Pertamina saja.
“Inilah hati nurani sekarang bicara. Gimana berpihakan Pertamina terhadap masyarakat. Kami berharap tulus ya, mari kita lihat sisi kemanusiaannya jangan lagi lihat di sisi bawah ini yang salah itu yang bener. Lihat manusianya. Mereka ingin hidup di sini. Mungkin itu saja yang dapat saya sampaikan saya tidak bisa panjang lebar bagaimana lihat warga kami pada intinya kami berharap Pertamina harus bertanggung jawab tentang kejadian ini sesuai dengan harapan kami di sini,” tegas Muktar kepada wartawan Kuatbaca.com.
Saat tim KuatBaca mencoba menanyakan terkait bantuan kemanusiaan yang diberikan PT Pertamina dan kesepakatan yang telah terjadi di tahun 1992 terkait ganti rugi yang harus dibayarkan PT Pertamina kepada warga, ternyata hingga saat ini kedua hal tersebut tak kunjung diberikan.
Warga hendak akan memberikan tindakan jika PT Pertamina tak kunjung memberikan sikap terhadap warga.
“Langkah saat ini berdasarkan keputusan rapat bersama, kami akan menyurati Direktur PT Pertamina. Kita akan somasi 1x24 jam. Kalau tidak ada realisasi kami akan aksi di Pertamina,” tutup Muktar. (*)