top ads
Home / Telik / Teknologi / Proyek KCJB, Menjilat Ludah Sendiri Di Muka Jepang

Teknologi

  • 249

Proyek KCJB, Menjilat Ludah Sendiri Di Muka Jepang

  • January 12, 2022
Proyek KCJB, Menjilat Ludah Sendiri Di Muka Jepang

Penggunaan APBN untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung mungkin saja tetap dilakukan. Tapi, masalahnya Indonesia seperti menjilat ludah sendiri di depan muka Jepang, yang sedari awal menilai tidak mungkin proyek berjalan tanpa ada jaminan dari pemerintah Indonesia. China lah yang sesumbar mampu, tapi kini Indonesia yang terkena tulah memilih investor yang jago sesumbar ketimbang yang investor dengan mitigasi yang ditel sejak awal.

 

Biaya anggaran proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membengkak hingga menjadi US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun (kurs Rp14.280). Proyek infrastruktur ini sebelumnya dianggarkan US$6,07 miliar atau setara Rp86,67 triliun.

 

"Tadi, perkiraannya berkembang menjadi US$8,6 miliar. Waktu itu diestimasi pada November 2020 oleh konsultan KCIC (PT Kereta Cepat Indonesia China)," kata Direktur Keuangan & Manajemen Risiko PT KAI Salusra Wijaya saat rapat bersama Komisi VI DPR, Rabu (1/9/2021).

 

PT KCIC yang merupakan perusahaan patungan antara BUMN dengan konsorsium Cina (China Railway International Co. Ltd). Sebanyak empat BUMN yang turut terlibat dalam proyek ini membentuk PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).

 

Sebagai catatan, keempat BUMN tersebut adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan PT Perkebunan Nusantara VIII. Sejumlah BUMN tersebut punya porsi saham yang berbeda-beda di PT PSBI. WIKA memiliki saham sebanyak 38 persen, PTPN VIII dan KAI masing-masing dengan 25 persen, lalu Jasa Marga sebanyak 12 persen. PT PSBI memegang 60 persen saham PT KCIC. Sisa 40 persen lainnya dipegang konsorsium Cina.

 

Awal Proyek

Proyek pembangunan kereta cepat ini dicetuskan pada akhir 2015. Awalnya, pemerintah tidak mau campur tangan dalam proyek tersebut. Dalam Perpres 107/2015 disebutkan proyek tersebut tidak menggunakan APBN dan tanpa jaminan pemerintah. Namun, dalam Perpres 3/2016, pemerintah menjadikan kereta cepat Jakarta-Bandung sebagai salah satu proyek strategis nasional (PSN).

 

Selain itu, dalam perpres tersebut pemerintah juga dapat memberikan jaminan terhadap PSN yang dilaksanakan BUMN. Dalam perpres itu, kereta cepat Jakarta-Bandung tercatat sebagai proyek ke 60 dari 225 PSN yang dicanangkan pemerintah pusat.

 

Seperti diketahui, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung mengalami pembengkakan biaya dan gagal memenuhi target awal penyelesaiannya. Pada awalnya, proyek ini diperhitungkan membutuhkan biaya Rp 86,5 triliun. Kini biaya proyek menjadi Rp 114,24 triliun alias membengkak Rp 27,09 triliun, dana sebesar itu tentu tak sedikit. Target penyelesaian pun molor dari tahun 2019 mundur ke tahun 2022.

 

Agar proyek tidak sampai mangkrak, pemerintah berencana menambal kekurangan dana dengan duit APBN melalui skema penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN yang terlibat di proyek tersebut.

 

Sementara itu, Ekonom senior Faisal Basri menilai banyak proyek yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya membuang dana anggaran negara. Bahkan, beberapa proyek untuk balik modal penggunaan anggaran negara bakal berlangsung lama.

 

"Ini proyek mubazir, nggak karu-karuan, kereta cepat sebentar lagi mau disuntik pakai APBN, Bandara Kertajati lebih baik jadi gudang ternak aja. Pelabuhan Kuala Tanjung dibangun dekat Belawan, kemudian LRT Palembang. Kesimpulannya kesalahan pucuk pimpinan," ucap Ekonom Senior Universitas Indonesia, Faisal Basri dalam dialog bertajuk COVID-19 dan Ancaman Kebangkrutan Dunia Usaha, Jumat, (15/10/2021).

 

Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sebenarnya merupakan inisiasi dari Jepang. Negara itu menawarkan proposal pembangunan ke pemerintah Jokowi melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). JICA bahkan rela menggelontorkan modal sebesar 3,5 juta dollar AS sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan.

 

Namun, di penghujung tahun 2015, pemerintah Indonesia mantap menolak Jepang ikut andil dalam pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung. Absennya Jepang dalam pengembangan megaproyek itu dikarenakan Negeri Sakura tidak bisa memenuhi syarat yang dimintakan pemerintah Jokowi agar bentuk kerjasama diarahkan pada business to business, bukan antar pemerintahan. 

 

"Kalau Jepang kan memang dari awal maunya G to G, tapi jadinya B to B, di situ Jepang nggak bisa ikut dalam pengadaan Kereta Jakarta Bandung," ujar Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki (kini Menkop UKM) seperti dikutip kompas.com pada 29 September 2015.

 

Polemik Kereta Cepat Jakarta-Bandung sempat membuat hubungan Indonesia-Jepang merenggang. Terlebih setelah Tokyo mengetahui kalau pemerintah Indonesia berpaling ke China dalam proyek tersebut. Dikutip dari pemberitaan Kompas.com 4 September 2015, Duta Besar Jepang untuk Indonesia saat itu, Yasuaki Tanizaki, sempat meluapkan kekecewaan dan penyesalan pemerintahnya kepada Indonesia.

 

"Saya telah menyatakan penyesalan saya karena dua alasan," kata Tanizaki.

 

Pertama, pihak Jepang menyesal lantaran dana yang sudah dikucurkan untuk studi kelayakan high speed rail (HSR) rute Jakarta-Bandung sangat besar. Studi kelayakan HSR dikerjakan selama tiga tahun dan melibatkan pakar teknologi Jepang yang bermitra dengan Indonesia.

 

Kedua, Tanizaki menuturkan teknologi yang ditawarkan Jepang merupakan teknologi terbaik dan memiliki standar keamanan tinggi. "Tapi keputusan ini sudah dibuat pemerintah Indonesia dan kami menghormatinya, karena ini bukan keputusan yang mudah. Saya akan langsung menyampaikannya ke Tokyo," kata Tanizaki.

 


Janji China ke Indonesia

China memenangkan persaingan dengan Jepang dalam pembangunan kereta cepat sepanjang 142,3 km tersebut. Saat itu, Jepang mengajukan proposal dengan nilai 6,2 miliar dolar AS, sedangkan China mengajukan 5,5 miliar dollar AS. Jepang menawarkan pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 0,1 persen. Sementara China dengan tenor yang sama, menawarkan bunga pinjaman 2 persen.

 

Setidaknya, ada tiga alasan mengapa akhirnya pemerintah Indonesia memilih negeri tirai bambu ketimbang menggunakan teknologi Jepang yang sudah lebih dulu melakukan studi kelayakan dan menawarkan bunga utang jauh lebih rendah.

 

1. Janji tanpa APBN, China menang karena menjanjikan proyek tersebut bisa dilakukan murni dengan skema bisnis antar-BUMN kedua negara alias business to business (B to B). Menteri BUMN 2014-2019 Rini Soemarno mengatakan bahwa pemerintah Indonesia menerima China karena negara itu menawarkan pembangunan proyek tanpa APBN seperser pun. 

"Begini soal kereta cepat supaya semua jelas. Padahal kan sebetulnya keputusan pemerintah sangat jelas. Nah kalau dilihat dari dua proposal yang diterima, yang memenuhi syarat adalah proposal dari Tiongkok. Karena dari Tiongkok tidak meminta jaminan dari pemerintah. Tidak minta anggaran dari pemerintah dan ini transaksi B to B karena BUMN dengan BUMN," kata Rini Soemarno kala itu. 

 

2. Tanpa jaminan pemerintah, saat mengajukan proposal Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Jepang enggan menggarap proyek tersebut apabila pemerintah Indonesia tidak memberikan jaminan. Namun di tengah keraguan pemerintah Indonesia atas tawaran Jepang, China lalu muncul dan menawarkan kerja sama pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung dengan skema pengerjaan oleh BUMN.

China meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa tak perlu memberikan jaminan apa pun di proyek tersebut. Dengan kata lain, kalau pun di kemudian hari ada masalah pembangunan seperti biaya investasi yang membengkak atau kendala lainnya, risiko itu diserahkan ke perusahaan konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Baik pihak China maupun BUMN Indonesia, bisa menambah modal yang nantinya akan menambah besaran saham di PT KCIC dan mendilusi pemilik saham lainnya dalam konsorsium.

 

3. Terbuka soal teknologi, hal lain yang masuk pertimbangan pemerintah Indonesia memilih China, adalah karena Negeri Panda berjanji akan terbuka soal teknologi, sehingga memungkinkan adanya transfer ilmu. Berbeda dalam proposal Jepang, transfer teknologi tak ada dalam klausul. Hal ini juga menjadi salah satu alasan pemerintah enggan melanjutkan pembahasan penawaran dari Negeri Sakura itu.

 

Jokowi revisi janjinya

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya resmi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.

 

Dari beberapa pasal revisi, yang paling jadi sorotan publik adalah revisi Pasal 4, di mana proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung kini diizinkan untuk didanai APBN.

 

Padahal, saat perencanaan hingga awal pembangunan, baik Presiden Jokowi maupun para pembantunya, berjanji untuk tidak menggunakan uang rakyat seperser pun untuk membiayai proyek kerja sama dengan China tersebut.

 

Dalam aturan lama, yakni Pasal 4 Perpres 107 Tahun 2015 berbunyi demikian:

 

"(2) Pelaksanaan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah," demikian bunyi Ayat 2 Pasal 4 Perpres No 107 tahun 2015.

 

"Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business. Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi," kata Jokowi dikutip dari laman Sekretariat Kabinet pada 15 September 2015.

 

"Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN," ucap Jokowi menegaskan.

 

Sementara dalam aturan yang baru, penggunaan duit APBN kini sudah diperbolehkan melalui revisi terbaru yakni Perpres Nomor 93 Tahun 2021, berikut bunyi Pasal 4 terbaru:

 

Pasal 4

(1) Pendanaan dalam rangka pelaksanaan penugasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 bersumber dari:

a. penerbitan obligasi oleh konsorsium badan usaha milik negara atau perusahaan patungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3);

b. pinjaman konsorsium badan usaha milik negara atau perusahaan patungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (3) dari lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan luar negeri atau multilateral; dan/atau

c. pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

 

(2) Pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal.

 

(3) Pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a. penyertaan modal negara kepada pimpinan konsorsium badan usaha milik negara; dan/atau

b. penjaminan kewajiban pimpinan konsorsium badan usaha milik negara.

 

Penyertaan Modal Negara

Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir membeberkan, apa yang menjadi penyebab hingga membuat biaya (cost overrun) proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) membengkak hingga USD8,6 miliar atau setara Rp121,01 triliun (kurs rupiah Rp14.071/USD). Mantan Bos Inter Milan itu menegaskan, pembengkakan biaya terjadi bukan lantaran praktik korupsi, namun disebabkan sejumlah faktor.

 

Erick Thohir mengklaim, mulai dari mahalnya pembebasan lahan hingga naiknya harga material proyek selama pandemi Covid-19. Selain itu, menurut Erick, skema awal pendanaan proyek KCJB memperburuk kinerja keuangan BUMN. Erick pun meminta DPR menyetujui proyek kerjasama dengan China senilai Rp 4,1 tirliun itu didanai dari APBN.

 

"Dan kenapa harganya naik? Kan kita tahu, pembebasan tanah di Indonesia ini susah bangat. Dan ini akhirnya angkanya jadi naik. Kedua, Covid-19 ini, lihat harga barang, semuanya naik, harga baja naik, batu bara, minyak naik, semua cost daripada tadi investasi juga naik yang hubungan dengan sumber daya alam, baja, batu bara semuanya naik, jadi ada peningkatan," ujar Erick Thohir di Jakarta, Selasa (16/11/2021).

 

Dari hitungan awal konsorsium BUMN atau PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung mencapai USD6,07. Jumlah tersebut terdiri atas pembiayaan Engineering Procurement Construction (EPC) sebesar USD4,8 miliar dan USD1,3 miliar untuk non-EPC.

 

Namun begitu, sejak dilakukan kajian dengan bantuan konsultan pada November 2020 lalu, anggaran justru mengalami pembengkakan. Dimana estimasi melebar hingga angka USD8,6 miliar atau setara Rp114,24 triliun.

 

Di lain sisi, Erick beralasan pemerintah menyepakati pembiayaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2021. Tujuan penggunaan APBN untuk mempercepat penyelesaian konstruksi KCJB.

 

Alasan harus pakai APBN

Pendanaan KCJB dalam skema penyertaan modal negara (PMN) perlu dilakukan untuk menyelesaikan pembangunan proyek strategi nasional (PSN) tersebut. Pasalnya, sumber pendanaan lain seperti membuka opsi bagi investor di luar konsorsium Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) tidak memungkinakan untuk dilakukan pemerintah.

 

Menurutnya, KCJB merupakan investasi di sektor konstruksi yang keuntungannya dalam jangka waktu panjang. Sehingga tidak memungkinkan untuk diserahkan ke mekanisme pasar saat ini. Sementara, pendanaan dibutuhkan untuk menyelesaikan proses pembangunannya.

 

Sementara diberitakan sebelumnya, pemerintah berencana memberikan PMN ke proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) senilai Rp 4,3 triliun. Hal itu untuk pemenuhan base equity capital KCJB. Tercatat, base equity capital yang mesti dibayar oleh konsorsium BUMN yakni PT Kereta Api Indonesia (KAI) senilai Rp 440 miliar, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk senilai Rp 240 miliar, PT Jasa Marga (Persero) Tbk senilai Rp 540 miliar dan PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) senilai Rp 3,1 triliun.

 

Semula PTPN VIII akan menyetorkan modal dalam bentuk tanah di daerah Walini Kabupaten Bandung Barat. Namun hal itu tidak disetujui oleh konsorsium.

 

Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, setoran modal awal Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) senilai Rp 4,3 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan disuntik melalui Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) tahun 2021.

 

“Anggaran modal awal kereta cepat Jakarta-Bandung akan menggunakan sisa anggaran tahun ini,” kata Tiko, panggilan akrab Kartika. 

 

Dana APBN tersebut akan mengalir dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Kereta Api Indonesia, yang kini menjadi pimpinan konsorsium BUMN di proyek Kereta Cepat, menggantikan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA).

 

Hal senada juga diamini oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang membeberkan bahwa pemerintah tetap akan mencairkan duit APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sebesar Rp 4,3 triliun.

 

Melonjaknya biaya investasi kereta cepat kerja sama Indonesia-China bahkan juga sudah jauh malampaui dana pembangunan untuk proyek yang sama yang ditawarkan Jepang melalui JICA, meski pihak Tokyo menawarkan bunga utang lebih rendah. "Ini proyek KCJB yang business to business (B to B). Makanya, pemerintah memasukkan Rp 4,3 triliun dalam rangka memenuhi base equity (setoran saham) penyelesaian kereta api cepat Jakarta-Bandung," kata Sri Mulyani dalam keterangannya dikutip pada Rabu (14/12/2021).

 

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebutkan, suntikan modal untuk Kereta Cepat Jakarta Bandung itu masuk dalam suntikan modal untuk PT KAI sebesar Rp 6,9 triliun tahun 2021. Semula, PMN untuk KAI tidak tercantum dalam UU APBN tahun 2021. Oleh karena itu, PMN akan menggunakan Sisa Lebih Anggaran (SAL) tahun 2021. Bersama KAI, pemerintah juga akan menyuntik Waskita Karya senilai Rp 7,9 triliun yang semula anggarannya tidak ada dalam APBN.

 

"Jadi PT Kereta Api yang dapatkan PMN Rp 6,9 triliun untuk menyelesaikan LRT Jabodetabek yang alami cost overrun Rp 2,6 triliun dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung untuk memenuhi kebutuhan base equity Rp 4,3 triliun," katanya.

 

Sri Mulyani mengatakan bahwa tanpa tambahan dana dari APBN, pinjaman China untuk perusahaan konsorsium Kereta Cepat Jakarta Bandung sulit dicairkan dari China. 

 

"Sebetulnya proyek ini jalan berdasarkan pinjaman dari CDB (China Development Bank) dan dia mencairkan. Sampai suatu titik tertentu enggak bisa dicairkan karena tidak ada ekuitas yang mendukungnya atau ekuitasnya sudah habis. Jadi sekarang ini proyek enggak mungkin bisa jalan either melalui pinjaman," ujar Sri Mulyani. Di sisi lain, Sri Mulyani menyatakan, pemerintah harus membantu lantaran proyek ini sudah masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2020. (*)

Jurnalis :Mochamad Rizky Fauzan
Editor :Jajang Yanuar
Illustrator :Priyana Nur Hasanah
Infografis :Priyana Nur Hasanah
side ads
side ads