Pemilik industri energi konvensional terancam oleh komitmen pemerintah untuk mengadaptasi EBT. Tahun depan, DPR juga akan membahas EBT ke dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang saat ini statusnya sudah masuk dalam Prolegnas 2022.
Adaptasi Indonesia pada EBT memang sudah disampaikan Presiden Jokowi dalam Pakta Iklim Glasgow di Konferensi Perubahan Iklim Britania Raya 2021. Pada Pakta Iklim Glasgow pasal 36 disebutkan jika PBB “Mendesak negara anggota untuk mempercepat pembangunan, penyeberluasan teknologi dan adopsi politik, transisi sistem energi rendah emisi, dan pembangunan pembangkit energi bersih. Serta menghentikan energi kotor batu bara dan inefisiensi bahan bakar fosil. Pakta Iklim Glasgow dan Paris Agreement secara tegas mendesak negara anggota untuk mengurangi metana.
Pakta itu menunjukan jika masyarakat dunia saat ini butuh mengadaptasi energi terbarukan demi keberlangsungan bumi. Perhatian itu juga muncul pada beberapa aktor global, misalnya dilakukan konglomerat Elon Musk dan Richard Brenson.
Ketika menangkan kontrak Transgrid pada Oktober 2017, Elon berkomentar jika kita harus berpindah pada energi terbarukan dan “Kita punya pilihan atas kerusakan peradaban –dan kembali ka zaman kegelapan– atau mencari sesuatu yang terbarukan. Komitmen itu dibuktikan empat tahun setelahnya, ketika ia berhasil membangun penyimpanan baterai energi bersih secara besar-besaran di Australia Barat.
Komentar serta saran juga keluar dari mulut multi-biliuner asal Inggris Richard Brenson. Ia berpendapat bahwa “hal ini (pengadaptasian energi terbarukan) adalah solusi win-win untuk semuanya, ini akan menguntungkan untuk perusahaan, menguntungan bagi publik, keuntungan dalam menciptakan lapangan pekerjaan, menguntungkan untuk pemerintah, dan yang paling penting ialah keuntungan untuk menciptakan keindahan bumi kita”.
Tentu pernyataan itu tidak hanya manis di bibir saja. Pasca rusaknya pembangkit energi kepulauan karibia akibat bencana angin topan, ia langsung mendanai pembangunan pembangkit energi hijau pada 2017. Kemudian dua tahun berikutnya ia berhasil membangun panel surya di beberapa titik di kepulauan yang terletak di selatan Amerika Serikat tersebut.
Tidak hanya di Dunia Barat, Pemerintah China dan Huawei juga terang-terangan menyatakan kesiapan mengadaptasi energi keterbaruan. Presiden China Xi Jinping mengatakan bahwa “China akan berusaha mengatur ulang struktur industri, membangun energi terbarukan, mempercepat proses perencanaan dan pengembangan besar tenaga angin dan basis fotovoltaik.
Korporasi teknologi raksasa China, Huawei juga menyatakan komitmen untuk mengadaptasi energi terbarukan. Salah satu hal besar yang ia lakukan dalam pengembangan EBT ialah ketika Huawei tandatangani kontrak SEPCOIII for the Red Sea Projet untuk membangun solusi penyimpanan energi baterai sebesar 400 MW PV plus 1300 MW. Proyek itu dinilai sebagai penyimpan energi baterai terbesar di dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo menyampaikan beberapa target terkait pengadaptasian energi baru dan terbarukan (EBT). Pemerintah Indonesia ingin untuk mencapai karbon netral pada 2060, dan untuk mencapai itu pemerintah menargetkan pembauran EBT sebesar 23% di 2025, menghentikan operasional batu bara hingga 2030, dan penyediaan listrik bertenaga terbarukan sebesar 51% dari total kapasitas pembangkit baru dalam kurun 2021-2030. Rencana itu juga didukung dalam Prolegnas 2022 yang telah ditetapkan akhir tahun ini.
PLN dan Pertamina sebagai tangan kanan pemerintah akan menggenjot pengembangan EBT. Saat ini PLN tengah menargetkan pembangunan pembangkit listrik EBT sebesar 10.6 GW hingga 2025. Kemudian Pertamina juga merencanakan pembangunan delapan proyek energi bersih termasuk panas bumi (geothermal) dan Bioavtur J2.4.
Namun, beberapa pemilik industri energi konvensional di Indonesia masih enggan mengadaptasi teknologi ramah lingkungan pada perusahaannya. Padahal jika melihat fakta, sebagian besar pemilik perusahaan tambang batu bara justru memiliki keterikatan dengan pejabat tinggi maupun politisi. Seharusnya, mereka memiliki komitmen yang baik untuk teknologi ramah lingkungan sebagaimana diarahkan Presiden Joko Widodo.
Menurut Ketua asosiasi energi seluruh indonesia Fabby Tumiwa mengatakan, sejak 2019 hingga sekarang hanya dua perusahaan swasta yang menggelar sendiri pembangkit tenaga surya (PLTS) diatas atap perusahaan mereka.
Sederet perusahaan tambang yang memiliki keterkaitan dengan politisi dan pejabat pemerintah, dapat dirinci mulai dari PT Adaro Energy Tbk. sebagai salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia. Kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir, Garibaldi ‘Boy’ Thohir diketahui merupakan dewan direksi dengan kepemilikan saham sebesar 6,18% di Adaro.
Selain itu Menteri Parekraf Sandiaga Uno ialah mantan direktur PT Adaro. Di sisi lain Sandiaga juga merupakan salah satu pemilik saham terbesar di PT Saratoga Investama Sadaya, dengan porsi kepemilikan saham 15,24 % dari totalnya.
Menteri Marves yang kerap dijuluki Lord Luhut juga disebut pemilik mayoritas perusahaan tambang batu bara PT Toba Sejahtera. Pada tahun 2013 Luhut dikatakan memiliki saham sebesar 99,8% di perusahaan dengan nama emiten TOBA tersebut. Namun kepada media Detik, Lord Luhut sendiri mengaku hanya memiliki saham sebesar 10% di TOBA.
Masih di kalangan pejabat, Prabowo Subianto sempat mendirikan korporasi batu bara PT Nusantara Energy pada 2001. Keterkaitan Prabowo pada Nusantara Energy membuat namanya tercantum dalam paradise paper yang dipublikasikan oleh International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ).
Politikus serta anggota dewan penasehat Partai Golkar Aburizal Bakrie juga berkutat pada bisnis batu bara PT Bumi Resources dengan kode emiten di bursa efek BUMI. Meskipun ia sudah tidak menjabat sebagai direksi BUMI, namun kepemimpinan PT Bumi Resources masih dimiliki oleh keluarga Bakrie. Bedasarkan laporan keuangan BUMI, Aburizal Bakrie memperoleh pendapatan sebesar Rp6,13 triliun pada 2021.
Tidak hanya itu, Presiden Direktur Indika Energy Arsjad Rasjid yang pada Oktober lalu diangkat menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) hingga 2026 juga tidak banyak mempopulerkan energi ramah lingkungan. Atau justru, kemungkinan peran ganda antara pemilik industri sektor energi dengan pejabat dan politisi menjadi tameng agar tidak dikejar oleh ketentuan baru?
Dari beberapa perusahaan tambang tersebut hanya dua yang memiliki komitmen dan melakukan aksi langsung dalam pengembangan energi terbarukan. Seperti TOBA yang tengah menyiapkan kucuran dana sebesar Rp7,1 triliun selama lima tahun kedepan untuk berinvestasi pada industri energi bersih. Selain itu Toba juga tengah membangun PLTB berkapasitas 22 MW. Hal senada juga diumbar Indika Energy yang juga dalam tahap rencana mengucurkan dana sebesar US$37 juta hingga US$47 juta selama lima tahun kedepan.
Sedangkan ketiga perusahaan lain masih belum menyatakan komitmen kuat terkait EBT. Bumi Resources mengklaim akan melakukan gasifikasi batu bara menjadi metanol dengan kapasitas 1.8 juta per tahun. Selebihnya, Nusantara Energy dan Bumi Resources masih belum mengeluarkan rencana terkait energi hijau.
Pengaruh peran ganda pejabat dan politisi di bisnis energi terasa dalam rendahnya komitmen dalam upaya Presiden Jokowi dalam menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) EBT. Puncaknya pada 8 Oktober lalu, pemerintah hendak menunda penerbitan Perpres EBT pada 2022.
Alasan pemerintah kala itu, penolakan tanda tangan Rancangan Perpres EBT dilatari fakta listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan dianggap lebih mahal dibandingkan energi konvensional.
Alasan itu tentunya bertentangan dengan perrnyataan Risky Bussiness Project yang menyampaikan bahwa transisi ke energy terbarukan sangat mudah dilakukan secara teknis maupun ekonomis. Terlebih lagi International Renewable Energy Agency (IRENA) menyebutkan bahwa harga EBT jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar fosil yang termurah.
Selain itu Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) juga menyampaikan bahwa biaya listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan sangat bergantung pada jenis teknologi, ukuran kapasitas pembangkit yang dibangun dan kelengkapan infrastruktur yang ada pada daerah yang akan dibangun pembangkit tersebut.
Sedangkan kualitas pembangkit EBT masih terbilang sangat rendah. Catatan Kementerian ESDM, Indonesia masih menempat posisi 16 pada pemeringkatan kapasitas pembangkit EBT dalam kategori negara yang tergabung dalam G20. Kapasitas pembangkit EBT diperkirakan mencapai 16,8 terawatt (TW) per jam, Bahkan masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan Brasil dan Meksiko apalagi dengan China dan Amerika Serikat. Bahkan Indonesia berada di terendah dalam kapasitas pembangkit surya G20 yaitu dengan 0,2 gigawatt.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Salamuddin Daeng sendiri menyampaikan keraguan terkait pembangunan EBT di Indonesia. Menurutnya pembangunan energi terbarukan khususnya energi termurah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dapat diselesaikan maksimal 2 tahun. Pembangunan pun seharusnya dapat dilakukan sejak lama.
“Jadi kalau ada kemauan serta tidak ada mafia batu bara, tidak ada mafia gas, kalau mau satu negara itu bisa membangun itu. Kalau mau, kita bisa bangun apa saja maksimal dua tahun”
Dari pendapatnya tersebut maka seharusnya target bauran EBT 23% persen pada 2025 dapat dinilai terlalu lama. Karena baginya Indonesia memiliki kapasitas yang baik untuk membangun dan mengadaptasi EBT secara cepat, namun ia berpendapat jika pemerintah Indonesia nyatanya masih banyak menunda pembangunan dan transisi energi terbarukan.
“Kalau bangun itu terlalu lama, itu ya berarti ada yang ingin bangun itu lama-lama, entah dengan merubah aturan dan penundaan pembangunan. Kayak gitu modelnya, padahal sebetulnya tenaga kerja banyak, sumber daya ada, mesin ada, apa-apa ada, tapi tetap saja proyek dikerjain lama lama,” sindir dia.
Biaya listrik Indonesia dikatakan masih bergantung pada energi batu bara, gas dan minyak bumi. Menurutnya penggunaan energi fosil mencapai 80% dari total biaya listrik. Hal itu sepadan dengan apa yang disebutkan IRENA. Dalam laporan Renewable Energy Prospect, IRENA memprediksi jika Indonesia masih akan bergantung pada energi fosil hingga 2030. Diperkirakan bahwa batu bara masih mendominasi energi Indonesia sebesar 33% pada 2030. (*)