SidebarKanan
Sosial & Budaya

Taufiq Ismail Sastrawan Lintas Zaman

Kuatbaca

26 February 2023 04:03

Test

Taufiq Ismail bisa dikatakan sebagai sastrawan yang secara umur paling senior saat ini. Ia melewati berbagai zaman yang menerpa Indonesia pasca kemerdekaan hingga berbagai orde pemerintahan. Karyanya yang didominasi topik cinta tanah air dan religi menempatkan dirinya pada isu sentra politik sastra.

 

Di usianya yang ke-86 tahun, Taufiq Ismail masih produktif. Ia banyak terlibat dalam beberapa kegiatan sastra baik sebagai pembicara diskusi, pembaca puisi, orasi kebudayaan, juri lomba, hingga wawancara untuk konten youtube. Bahkan di masa pandemi, Taufiq Ismail mengalihkan aktivitasnya dari offline ke online.

 

Ia mulai membiasakan diri dengan segala perangkat digital. Dimulai dari mengunduh aplikasi zoom cloud meeting, membuat akun Instagram, hingga channel youtube Taufiq Ismail Official.

 

Hal ini menjadikan Taufiq sebagai salah satu dari sekian banyak sastrawan yang cukup adaptif dalam percepatan digitalisasi. Bahkan, jauh sebelum boomingnya sastra digital, Taufiq sempat meluncurkan 8 DVD puisi berjudul “Meniti Kehidupan (karya 1957-2017)”, puisi-puisi yang dibacakan dengan iringan biola dan gitar.

 

Selain itu, puisi-puisinya juga di alih wahana ke dalam bentuk lagu yang dinyanyikan oleh Bimbo, Chrisye, Nike Ardila, Ahmad Albar, Ucok Harahap, untuk menyebut beberapa nama. Menurutnya hal semacam ini penting agar jangkauan publik puisi menjadi lebih luas.

 

Sebuah kesempatan yang menyenangkan, di bulan Oktober lalu, tim kuatbaca.com dalam program #safarisastra diterima oleh Taufiq Ismail di kediamannya di Utan Kayu, Jakarta. Kami berbincang tentang proses kreatif Taufiq Ismail dalam memulai karirnya sebagai penulis, bagaimana pengaruh keluarganya dalam membentuk tradisi membaca dan menulis, seperti apa pandangannya tentang generasi muda sastra, hingga membincangkan puisi-puisinya yang masih terus dibicarakan hingga hari ini.

 

Taufiq Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1910-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1912-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatra Barat. Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri permi. Ia menghabiskan masa SD di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, dan SMA di Pekalongan.

 

Taufiq tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Ia lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan Pertanian (FKHP) UI Bogor pada 1963 (IPB saat ini). Taufiq Ismail pernah bercita-cita menjadi dokter hewan dan mengurus peternakan. Tetapi akhirnya gagal memiliki usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.

 

Taufiq Ismail mendapat banyak pengaruh dari keluarganya dalam tradisi membaca dan menulis. “Kebiasaan membaca sudah terpelihara dengan baik hasil didikan Ayah dan Ibu saya,” ucap Taufiq.

 

Ia mulai menulis sejak usia remaja di usia 17 tahun. Selain menulis puisi, Taufiq juga menulis esai, cerita pendek, drama, dan laporan jurnalistik. Taufiq Ismail adalah penyair lintas zaman yang berhasil merekam situasi sosial politik dari masa revolusi hingga reformasi.

 

Puisi “Karangan Bunga”, “Kembalikan Indonesia Padaku”, “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” menjadi saksi situasi politik Indonesia dari zaman ke zaman. Misalnya, puisi ‘Karangan Bunga” sebagai respon dari situasi politik di tahun 1966, berbeda dengan puisi “Kembalikan Indonesia Padaku’ yang ditulis di tahun 1971 sebagai refleksi atas situasi politik Orde Baru. Puisi “Kembalikan Indonesia Padaku’ adalah rasa optimisme sebagai bangsa Indonesia harus terus berjuang dan terus maju.



Dalam pengamatan kami, karya-karyanya tidak hanya bicara soal politik, tapi juga bertema lain seperti puisi religi, cinta, alam, dan persoalan kemanusiaan. Puisi-puisinya bisa dijumpai dalam bukunya “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” (1998), “Tirani dan Benteng” (1992), “Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit” (2008), “Debu di Atas Debu” (2014).

 

Buku puisi "Debu di atas Debu” berhasil diterjemahkan ke dalam 13 bahasa diantaranya dalam bahasa Rusia, Arab, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Farsi, Bosnia, Amerika, Korea, China, Jepang, dan Turki. Dalam kiprahnya 70 tahun berkarya, Taufiq juga menulis esai sastra, catatan kebudayaan, hingga esai politik. Terangkum dalam beberapa buku diantaranya: “Katastrofi Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba” (2004), “Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah)” diterbitkan pada tahun 1995.

 

Tidak hanya berkontribusi besar dalam dunia sastra Indonesia, Taufiq Ismail juga mencurahkan perhatian yang besar pada peningkatan kualitas pendidikan literasi di Indonesia, khususnya melalui gerakan Siswa Bertanya Sastrawan Bicara (SBSB) serta Majalah Sastra Horison. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seperti penangkalan narkoba dan pertukaran pelajar antarnegara

 

Menurutnya, kegemaran membaca dan menulis harus ditumbuhkan sejak remaja. Ini pula yang menginspirasi Taufiq membangun Rumah Puisi di Padang Panjang sebagai perpustakaan dan ruang belajar bagi generasi muda di Sumatera Barat. “Saya gembira sekali karena banyak pelajar dan mahasiswa yang datang ke Rumah Puisi untuk membaca, berdiskusi, belajar menulis, dan mebincangkan karyanya” ungkap Taufiq Ismail.

 

Simak obrolan kami selengkapnya di kuatbaca youtube channel :

SATU JAM LEBIH DEKAT BERSAMA TAUFIQ ISMAIL. EPS 04 #SAFARISASTRA

https://www.youtube.com/watch?v=eMt4y0fmu1M

Jurnalis : Nissa Rengganis

Editor : Jajang Yanuar

Illustrator : Rahma Monika

Infografis : Rahma Monika


Komentar

Pencarian tidak ditemukan

Belum ada komentar

SidebarKanan
Kuatbaca.com

Informasi


Tentang Kami

Pedoman Media Siber

Susunan Redaksi

2023 © KuatBaca.com. Hak Cipta Dilindungi