“Sisi positif dari kasus deportasi UAS di Singapura adalah pelajaran ketatnya sebuah negara dalam melindungi warganya dari paham radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. UAS yang masih memiliki banyak pengikut diboikot lantaran beberapa kasus, sebut saja seorang remaja Singapura yang memaknai bom bunuh diri adalah ajaran Islam setelah mendengar ceramah UAS. Terlepas benar atau salah pemaknaan isi ceramah itu, Singapura terlanjur mengklaim UAS jadi pengaruh buruk bagi warganya. Selain ketat dalam pencegahan, program mitigasi juga gencar dilakukan Singapura. Alih-alih menjerumuskan ke dalam penjara, Singapura lebih memilih melakukan deradikalisasi warga terduga teroris. Berkaca dari Singapura, Indonesia yang memiliki warga muslim terbanyak di dunia dapat dikatakan masih jauh tertinggal dalam menyikapi radikalisme, ekstremisme dan terorisme.”
Singapura memang dikenal ketat dalam menangkal ancaman masuknya paham radikalisme, ekstremisme, hingga terorisme baik dari dalam maupun luar negeri. Itu sebabnya Ustaz Abdul Somad (UAS) ditolak masuk ke negara yang akrab disebut Negeri Singa itu.
Tak pandang bulu, UAS yang memiliki banyak pengikut di negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia harus dipaksa pulang ke Indonesia lantaran takut membawa pengaruh buruk.
Bukan tanpa sebab, Menteri Dalam Negeri Singapura, K. Shanmugam mengatakan bahwa UAS sudah lama berada dalam radar pantauan otoritas Singapura. Shanmugam mengklaim sejumlah warganya terpapar radikalisme agama setelah menyaksikan video ceramah UAS.
Seorang pemuda berusia 17 tahun di Singapura misalnya, setelah mendengar ceramah UAS remaja tersebut meyakini bahwa bom bunuh diri adalah bentuk pengorbanan yang dibenarkan agama.
Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari The Straits Times pada 23 Mei lalu, remaja itu dilaporkan menjadi ekstremis agama pasca menonton ceramah UAS di YouTube. Aparat Singapura meringkus remaja tersebut pada Januari 2020 berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri.
“Jadi Anda dapat melihat bahwa khotbah Somad memiliki konsekuensi di dunia nyata,” kata Shanmugam.
Pada pencegahan dalam negeri, Pemerintah Singapura punya cara yang efektif untuk mencegah munculnya bibit-bibit teroris di negaranya. Strategi andalan itu adalah tidak memenjarakan warga yang diduga masuk dalam organisasi terorisme. Singapura memilih cara pendekatan deradikalisasi yang manusiawi untuk mengarahkan mereka kembali ke jalan yang benar.
Deputi Perdana Menteri merangkap Menteri Koordinator Keamanan Nasional Singapura, Teo Chee Hean, mengungkapkan pemerintah tidak ingin terus-menerus memenjarakan warganya yang dicurigai terlibat ekstremisme dan terorisme, selama yang bersangkutan dinilai masih bisa disadarkan.
“Kami justru ingin melepaskan mereka (dari tahanan) dan membawa mereka kembali ke tengah-tengah masyarakat, melalui suatu program deradikalisasi yang juga melibatkan masyarakat. Program ini dikenal sebagai Grup Rehabilitasi Religius atau RRG (Religious Rehabilitation Group),” kata Teo, Selasa, (3/10/2017).
Program ini melibatkan para ulama dan cendekiawan Muslim serta memberikan layanan konseling bagi warga yang bermasalah sekaligus membantu keluarga mereka.
“Selain program RRG, Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) juga telah membentuk jaringan untuk melatih para ustaz dan kaum muda dalam memberikan konseling dan deradikalisasi,” kata Teo.
Pengurus dan relawan Program RRG, Salim Mohamed Nasir, mengungkapkan langkah-langkah yang dilakukan pihaknya dalam menanggulangi ideologi ekstremis adalah dengan cara meluruskan pemahaman agama yang salah. Dengan begitu, nilai-nilai kehidupan harmonis dalam bermasyarakat dengan mudah ditanamkan.
“Para konselor meluruskan nilai-nilai agama yang disalahartikan oleh penyebar ekstremisme. Lalu mereka memasukkan pemahaman yang benar dari ajaran agama itu, dan selanjutnya mempromosikan integrasi dan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat yang multi-ras dan multi-kepercayaan ini,” kata Salim, yang juga dosen di Nanyang Technological University.
Dia membeberkan, setelah berjalan sekitar 14 tahun, program RRG sukses “menyadarkan” mereka yang sempat terjerat ekstremisme untuk kembali ke jalan yang benar.
“Kaum muda relatif lebih mudah untuk disadarkan kembali melalui konseling oleh para ustaz terpilih,” lanjut Salim.
Di sisi lain, untuk melestarikan dan memperkuat kerukunan komunal serta memastikan bahwa tatanan sosial Singapura dapat menahan ancaman terorisme, Pemerintah Singapura mengadakan Community Engagement Program (CEP) pada tahun 2006.
CEP bertujuan untuk memperkuat ikatan antar-komunal, dan membuat rencana tanggapan demi membantu menangani potensi ketegangan komunal setelah insiden serangan teroris.
CEP memastikan bahwa masyarakat tetap kuat dan bersatu setelah insiden teroris sehingga Singapura dapat pulih dengan cepat dan masyarakat dapat melanjutkan kehidupan sehari-hari dalam damai dan harmoni.
Program ini melibatkan lima kelompok yaitu Kelompok agama dan organisasi etnis serta kesejahteraan, Lembaga pendidikan, media dan seni, bisnis dan serikat pekerja hingga Organisasi akar rumput.
Berbagai organisasi di masing-masing klaster ini akan memperkuat jaringan dan ikatan di dalam dan di antara komunitas mereka masing-masing.
Pada pencegahan eksternal, mengutip artikel yang berjudul ‘Singapura dan Permasalahan Terorisme’ dari Universitas Udayana, proses pemberantasan terorisme di Singapura bersifat Law Enforcement. Untuk pencegahan ini Singapura membentuk National Security Coordination Secretariat (NSCS) untuk menguatkan kerja sama dan integrasi antar lembaga dalam upaya menangani ancaman terorisme.
NSCS memiliki tanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri dan Security Police Review Committee. Tindakan penanganan terhadap ancaman terrorisme yang dilakukan oleh Singapura juga bersifat tersentralisasi di bawah NSCS dengan memiliki dua lembaga yang bekerja di bawahnya yaitu Homefront Security Office dan Joint Counter Terrorism Centre.
Pencegahan Paham Radikalisme, Ekstrimisme dan Terorisme di Indonesia
Berkaca dari penanganan di Singapura yang telah memiliki standarisasi dalam menangkal ekstremisme, radikalisme, hingga terorisme, Indonesia saat ini masih sangat tertinggal.
Sebagai negara tetangga, Indonesia terlihat masih belum bisa mengambil sikap dalam membentuk standarisasi baku sebagai konsensus yang diterapkan. Padahal, saat ini Pemerintah perlu melihat fenomena ini dan segera membentuk standar dalam pelabelan dalam menyebut suatu individu atau kelompok termasuk pada kategori ekstrem, radikal dan teroris.
Belum adanya standar baku, ditandai dengan maraknya keributan yang dapat dijumpai menyangkut soal agama. Agama saat ini menjadi sangat sensitif karena di Indonesia memiliki banyak tokoh pemuka agama yang dijadikan masyarakat sebagai kiblat untuk menjalankan ritual ibadah masing-masing.
Terdapat perbedaan ajaran karena masing-masing pemuka agama memiliki pemahaman berbeda yang dapat dipertanggungjawabkan berlandaskan Al Quran dan hadis. Namun, masih banyak masyarakat Muslim yang menanggapi perbedaan pemahaman ini secara liar tanpa adanya parameter yang jelas.
Ada satu indikator yang sering menjadi persoalan di tengah-tengah masyarakat Muslim, yaitu penampilan. Sebagaimana dikatakan oleh Cendekiawan Nahdatul Ulama (NU) Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir, ia menyayangkan sekelompok orang yang memandang negatif terhadap cara berpakaian kaum Muslim. Misalnya, gamis, jilbab, cadar dan celana cingkrang.
Narasi yang melekat pada cara berpakaian itu adalah radikalis bahkan teroris. Menurut Gus Nadir, penampilan bukan ukuran seseorang menjadi radikal.
“Radikal-radikul itu bukan soal pakaian. Yang pakai cadar, gamis atau celana cingkrang atau jilbab syar’i tidak lantas membuat mereka otomatis jadi radikal, taliban, kadrun atau apapun labelnya,” tulis Gus Nadir di akun Twitternya, Senin (21/6/2021).
Senada, Deputi 1 Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Hendri P Lubis menegaskan radikalisme dan terorisme tidak bisa dinilai dari apa yang dikenakan seseorang.
"Kita menilai seseorang bukan dari penampilan fisiknya, yang paling bahaya adalah pemikirannya. Radikal dalam pemikiran, radikal dalam sikap, dan radikal dalam tindakan," ujar Hendri, Kamis (7/11/2019).
Perihal indikator, Direktur Pencegahan BNPT, Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid mengatakan, ada lima indikator yang bisa digunakan untuk mengetahui seorang penceramah masuk kategori penceramah radikal atau tidak.
Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci serta membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan penyebaran hoaks.
Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan.
“Mengenali ciri-ciri penceramah jangan terjebak pada tampilan, tetapi isi ceramah dan cara pandang mereka dalam melihat persoalan keagamaan yang selalu dibenturkan dengan wawasan kebangsaan, kebudayaan, dan keragaman,” kata Nurwakhid.
Meskipun indikator tersebut sudah diumumkan oleh BNPT, namun nyatanya hingga saat ini masyarakat Indonesia masih mudah menghakimi orang lain dengan label ekstrimis maupun radikalis.
Salah seorang pengurus DKM Masjid Al-Fatah, Kampung Melayu mengungkapkan kepada jurnalis KuatBaca.com bahwa hal tersebut merupakan sikap menilai sesuatu atau seseorang hanya dari sampulnya saja.
“Dunia nih, seringkali melanggar perkataan ‘don’t judge a book by the cover’. Jadi dilihat kulitnya doang sedikit, terus dengan seenaknya mereka langsung main simpulin begini dan begitu tanpa kenal dulu orang tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, orang nomor satu di Pengurus Besar NU (PBNU), Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya sempat menyebut soal moderasi beragama yang bukan hanya untuk agama Islam. Menurutnya Islam menjadi sorotan lantaran banyaknya aksi teroris yang diindikasikan atas dasar ajaran agama Islam. Hal tersebut sudah berlangsung selama puluhan tahun.
“Sebenarnya kita butuhkan wacana tentang moderasi berbagai agama, jadi itu bukan hanya urusan Islam. Belakangan ini, sekitar 20an tahunan, memang Islam menjadi sorotan karena terorisme, sehingga banyak orang ngomong tentang moderasi Islam, seolah-olah Islam satu-satunya tertuduh,” ucap Gus Yahya, Jumat (29/4/2022).(*)