“Pernyataan sekretaris fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Di Rio Sambodo soal laporan intoleransi di sekolah DKI Jakarta, tidak terbukti. DKI Jakarta, saat ini justru banyak berkaca dari kasus sekolah intoleran di daerah, salahsatunya yang terbaru kasus di Yogyakarta. Pemerintah DKI Jakarta justru tengah melakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal serupa.”
Kasus pemaksaan penggunaan atribut agama tertentu yang terjadi di SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta berujung dijatuhkannya sanksi kepegawaian oleh tiga orang oknum guru dan satu orang kepala sekolah. Sanksi tersebut dijatuhkan setelah tim investigasi menemukan bukti pelanggaran yang dilakukan keempat oknum pendidik itu.
Keempat oknum tenaga kependidikan tersebut merupakan pegawai negeri sipil, maka sanksi kedisiplinan kepegawaian berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Sanksi ringan dijatuhkan kepada mereka dengan rincian sanksi paling berat diberikan kepada Kepala SMAN 1 Banguntapan berupa pernyataan tidak puas secara tertulis. Sedangkan, satu guru Bimbingan Konseling (BK) dan satu wali kelas di sekolah itu mendapatkan sanksi ringan berupa Teguran Tertulis. Sementara satu guru BK lainnya mendapatkan sanksi Teguran Lisan.
Penerapan sanksi dilakukan meski sudah ada mediasi yang dilakukan dan orangtua siswa serta oknum guru memilih untuk berdamai.
“Pihak sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, dua guru BK (bimbingan konseling) dan wali kelas dan orang tua siswa telah sepakat saling memaafkan dan menutup permasalahan secara kekeluargaan hari ini,” ungkap Kadisdikpora DIY, Didik Wardaya, dilansir dari Suara.com, Rabu (10/8/2022).
Selain kasus yang terjadi di sekolah tersebut, dugaan isu serupa juga terjadi di SMA Negeri 4 Jogja. Sekolah ini diduga membuat aturan tertulis mengenai penggunaan atribut keagamaan dalam ketentuan seragam bagi para siswi. Aturan yang sudah ditandatangani dan dicap oleh kepala sekolah tersebut dikeluarkan pada 11 Juli 2022.
Aturan tersebut sebenarnya sudah direvisi per 4 Agustus 2022, meskipun belum penuh sebulan diberlakukan, kabar mengenai aturan itu sudah diteruskan ke pihak terkait yaitu Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY untuk dilakukan investigasi lebih lanjut.
Tak lama berselang dari mencuatnya kasus intoleran sekolah di Jogja, Sekretaris Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Di Rio Sambodo mengungkapkan adanya kasus serupa di Ibukota. Setidaknya ada sepuluh sekolah yang disebutkan Rio pada pertemuan Fraksi PDI P dengan Dinas Pendidikan di Ruang Rapat Fraksi, Rabu (10/8/2022).
Tudingan yang disampaikan pada pertemuan tersebut adalah adanya kewajiban menggunakan atribut keagamaan yang diterapkan kepada para siswi, pelarangan memilih ketua osis dengan background agama tertentu, hingga murid dipaksa mengikuti kegiatan keagamaan tertentu.
Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta mengklaim ada 10 laporan masyarakat yang diadukan terkait dugaan tindak intoleransi kepada para murid di sekolah negeri di DKI Jakarta sejak tahun 2020.
“Beberapa fenomena atau tren di DKI Jakarta yang kita selama ini selalu anggap fenomena gunung es. Artinya, ini adalah beberapa hal saja yang muncul di permukaan,” kata Rio, Rabu (10/8/2022).
Sekolah-sekolah yang disebut Rio antara lain SMAN 58 Jakarta Timur, SMAN 101 Jakarta Barat, SMPN 46 Jakarta Selatan, SDN 2 Jakarta Pusat, dan SMKN 6 Jakarta Selatan, SMPN 75 Jakarta Barat. Lalu, SMPN 74 Jakarta Timur, SDN 03 Tanah Sareal Jakarta Barat, SMPN 250 Jakarta Selatan, dan SDN 3 Cilangkap Jakarta Timur.
Tim Kuatbaca berusaha mengkonfirmasi data yang dimaksud Rio dengan mempertanyakan data tertulis yang telah dihimpun, namun hingga berita ini ditulis, Rio belum dapat memberikan data yang dijanjikan.
“Nanti ya, saya ke Fraksi dahulu. Sekarang saya masih isoman sampai minggu depan,” kata Rio melalui pesan teks kepada tim Kuatbaca, Senin (23/8/2022).
Untuk mengkonfirmasi pernyataan Rio, tim Kuatbaca mendatangi sekolah yang sempat disebutkan dalam rapat bersama Dinas Pendidikan DKI Jakarta tersebut.
Dari sepuluh sekolah yang diduga menjadi tempat tindakan intoleran, tim Kuatbaca mendatangi dua diantaranya, yakni SMAN 101 Jakarta Barat dan SMPN 75 Jakarta Barat. Dalam konfirmasinya masing-masing sekolah menyangkal terjadinya sikap intoleran di sekolah, baik dari oknum guru maupun aduan murid.
Kepala sekolah SMPN 75, Edi Krisnanto mengatakan jika selama ia menjabat sebagai kepala sekolah, tidak ada aturan mengenai kewajiban menggunakan hijab.
Edi menjelaskan jika kabar dugaan pemaksaan penggunaan jilbab ini bermula dari postingan salah satu anggota DPRD DKI, kemudian Edi meminta konfirmasi kepada yang bersangkutan mengenai unggahan tersebut.
“Ibu X yang melapor tersebut tinggal di Kemanggisan dan tidak memiliki anak yang bersekolah di SMPN 75. Ibu X mendapatkan kabar pemaksaan penggunaan jilbab dari temannya ketika ia ingin mencarikan sekolah untuk anaknya pada masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2021,” katanya kepada tim Kuatbaca, Senin (22/8/2022).
Lain cerita di SMAN 101 Jakarta Barat, Tusi Humas sekolah tersebut menjelaskan jika pada saat sekolahnya viral dan kepala sekolah dipanggil Dinas Pendidikan, pihaknya langsung mengkonfirmasi kepada guru-guru terkait dugaan tersebut.
“Yang pertama kita lakukan ya introspeksi diri, kita tanyain guru agama Kristen soal itu, ya jawabanya ga ada,” kata Tusi Senin (22/8/2022).
Kepala sekolah SMAN 101 Satya Budi juga angkat bicara soal adanya dugaan intoleran di sekolahnya. Satya juga memastikan tidak ada guru yang memaksakan muridnya menggunakan jilbab.
“Hoaks itu. Saya agama Kristen. Masa murid saya disuruh pake jilbab. Anak saya juga pernah sekolah di sini, saya tanya dong. Anak saya kan Kristen di sini, aman enggak ada cerita-cerita begitu,” ucap Satya Budi, Jumat (12/8/2022).
Dari kedua sekolah yang tim Kuatbaca datangi mengaku tidak pernah mengeluarkan kebijakan yang bersifat intoleran terhadap siswanya. Namun sebenarnya jika dilihat dari nama sekolah yang sudah dirilis terdapat satu kasus yang sudah terbukti, yaitu sekolah SMAN 58 Jakarta yang terjadi di tahun 2020 lalu.
Kasus yang terjadi dua tahun lalu tersebut bahkan sempat diselidiki oleh Polres Metro Jakarta Timur, namun memang para pelapor belum memenuhi persyaratan pelaporan.
Akibat dari kasus tersebut, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Nahdiana memastikan oknum guru tersebut telah dimutasi.
“Ketika ada larangan tak boleh memilih ketua OSIS nonmuslim, gurunya sudah hukuman disiplin dan sekarang ada proses mutasi juga,” kata Nahdiana saat menggelar rapat dengan Fraksi PDIP DPRD DKI di ruang Fraksi PDIP DPRD DKI, Jakarta, Rabu (10/8/2022).
Dampak dari laporan 10 sekolah diduga intoleran yang disampaikan Rio, Nahdiana memastikan pihaknya akan melakukan upaya preventif dengan terus melakukan pembinaan kepada pelaksana di satuan pendidikan baik kepala sekolah serta guru melalui pelatihan wawasan kebangsaan dan menghargai keberagaman.
Nahdiana memastikan bahwa pihaknya akan menindak oknum yang terbukti bersikap intoleransi di lingkungan sekolah negeri di Jakarta.
“Ada kasus yang kami baru tahu dan akan kami tindak lanjuti dengan pembinaan. Peran guru melakukan monitoring peran-peran kesertaan yang lain memastikan bahwa paham di sekolah adalah paham yang sesuai dengan paham negara kita, bukan paham tertentu. Pelibatan yang lain pun harus jelas identitasnya," tutup Nahdiana.
Selain itu pemahaman terkait seragam sekolah yakni Peraturan Menteri Nomor 45 Tahun 2014 yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 178 Tahun 2014 harus kembali dipahami.
“Tidak ada pasal yang menyebutkan kata wajib, namun disesuaikan dengan keyakinan pelajar. Itu sesuai agama, keyakinan dan keterpanggilan peserta didik yang bersangkutan,” jelas Nahdiana.
Sebenarnya dugaan-dugaan sikap intoleran bukan hal baru di dunia pendidikan. Beberapa kasus bahkan viral beberapa tahun lalu. Sebut saja kasus yang terjadi di tanah minang. Intoleransi itu bahkan berbentuk Instruksi Walikota Padang No. 451/442/BINSOS-iii/2005, yang dikeluarkan Wali Kota Padang Fauzi Bahar pada 2005.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi para pelajar melakukan tindakan intoleransi, diantaranya faktor keagamaan (pemahaman dangkal terhadap ajaran agama), faktor psikologis (usia remaja yang labil), faktor politik (akses politik anak muda yang relatif minim), serta faktor ekonomi (kemiskinan dan ketimpangan kondisi ekonomi).
Dekan Fakultas ISIP, Bagong Suyanto mengatakan apapun faktor yang melatarbelakangi tindakan intoleran, tentu akan berakibat fatal.
“Tindakan pemaksaan itu bukan hanya melanggar hak asasi anak, tetapi juga berisiko menjadi investasi sikap sempit dan bahkan kultur kekerasan menghadapi keberagaman yang sebetulnya menjadi roh dan identitas bangsa Indonesia yang multipluralis,” katanya dikutip dari detik.com (25/1/2021). (*)