Kuatbaca
24 April 2023 06:15
“Kasus serial killer dari dukun penggandaan uang yang dilakukan oleh Mbah Slamet bukanlah hal baru lantaran pernah terjadi sejak 2007 sejak kasus Dukun Usep. Namun kali ini berbeda, ia memanfaatkan media sosial sebagai modus operandi menjangkau korban dari berbagai daerah, menurut psikolog keluarga, kehidupan yang serba wah menuntut korban mencari uang secara instan. Namun menurut sosiolog, masih terdapat kultur klenik dan supranatural yang kental di kalangan masyarakat Indonesia.”
Belakangan ini kembali merebak kisah dari kasus pembunuhan beruntun yang dilakukan oleh oknum penipu yang mengaku sebagai dukun pengganda uang di Banjarnegara. Diketahui korban pembunuhan pelaku berinisial TH itu mencapai belasan orang yang berasal dari berbagai daerah.
Pelaku yang juga biasa dipanggil Mbah Slamet mengakui itu secara langsung sambil menunjukan tempat ia menguburkan jenazah dari korban-korbannya.
Berdasarkan pemberitaan terdapat 8 dari 12 korban yang sudah teridentifikasi. Mereka berasal dari Magelang, Lampung, Sukabumi, dan Palembang. Meskipun demikian menurut pengakuan pelaku, ada juga korban dari Tasikmalaya, Jakarta, dan Yogyakarta.
Paling tidak terdapat dua modus operandi yang dilakukan oleh pelaku. Modus pertama melalui media sosial Facebook yang dioperasikan oleh rekannya BS. Melalui jejaring sosial itu komplotan pelaku mengaku sebagai dukun yang dapat menggandakan uang.
Kemudian modus berikutnya melalui perantara orang lain, hal ini dialami oleh korban yang berasal dari Lampung. Mereka ialah dua pasang suami istri IR bersama TR, dan SA dengan YA.
Berdasarkan pengakuan keluarga korban, lewat perantara seseorang bernama Kijo inilah, mereka dikenalkan dan bahkan dipertemukan dengan Mbah Slamet di Banjarnegara.
"Orang bernama Kijo ini mengatakan bahwa ada padepokan di Tulung Agung, Jawa Tengah yang bisa menggandakan uang. Mereka berangkat ke Jawa Tengah untuk menemui pelaku dengan tujuan menggandakan uang," ujar Kepala Bidang Humas Polda Lampung Kombes Zahwani Pandra, Jumat (07/04/2023).
Melalui dua metode itu, komplotan mengiming-imingi penggandaan uang dengan jumlah yang fantastis. Misal korban setor uang sebesar Rp40 Juta hingga Rp70 juta maka pelaku akan menjanjinkan sebesar Rp 5 Miliar. Tentu saja, hal itu hanya tipuan belaka.
Ketika korban menagih janjinya, pelaku mengundangnya ke rumah dan memberikan minuman yang ternyata mengandung racun. TH menjanjikan penggandaan uang jika korban meminum racun tersebut.
"Korban diundang diajak ke rumahnya, kemudian dikasih minuman dengan janji apabila anda kuat nanti uangnya akan dia gandakan. Setelah diminum korban lemas, kemudian dipukul hingga meninggal," kata Kapolda Jateng, Irjen Pol Ahmad Luthfi (05/04/2023).
Kejadian serupa juga pernah terjadi sebelumnya. Paling tidak terdapat dua kasus lain dari sejumlah oknum yang mengaku mampu menggandakan uang dari tahun ke tahun.
Pada 2008, seseorang berinisial nama TYM atau biasa disebut Dukun Usep divonis hukuman mati setelah melakukan pembunuhan berencana terhadap delapan korban yang ingin menggandakan uang melalui apa yang ia sebut “bank gaib”.
Sama seperti TH, Usep beserta komplotannya menawarkan minuman beracun sebagai syarat menggandakan uang melalui ritual.
Kejadian ini berlokasi di Lebak, Banten. Tidak hanya itu korban juga diharuskan untuk menggali lubang sebagai bagian dari ritual sebelum menenggak minuman tersebut. Syarat uang minimal yang diajukan pelaku kepada korban ialah Rp20 Juta.
Kemudian di Jawa Barat, DS atau juga biasa dikenal Aki Wowon (60) ditangkap lantaran melakukan pembunuhan berantai kepada 9 korbannya. Meskipun demikian pihak kepolisian menduga masih ada beberapa korban lain yang belum terungkap.
Modus operandi dari Aki Wowon sedikit berbeda. Korban dibunuh melalui sosok imajinatif Aki Banyu. Beberapa modus yang dilakukan pelaku ialah dengan memberikan arahan kepada korban untuk melompat ke laut, kemudian dicekik, dan diracun demi bisa meraih kekayaan. Padahal itu dilakukan untuk menyingkirkan orang-orang yang mulai curiga adanya penipuan dari Wowon.
Jika dihitung paling tidak terdapat puluhan orang yang tertipu dan menjadi korban pembunuhan dari oknum yang mengaku mampu menggandakan uang. Itupun tidak hanya terjadi di satu kasus, melainkan juga sudah terjadi sejak 2007.
Sebuah pertanyaan mengemuka. Bagaimana mungkin seseorang bisa mempercayai adanya modus tersebut di zaman yang serba modern dengan sistem keuangan yang kompleks bahkan menuju Digitalisasi?
Layaknya kasus penipuan berkedok trading, pengamat menilai bahwa keinginan untuk mendapat uang secara instan menjadi salah satu faktor. Praktisi psikolog keluarga, Nuzulia Rahma Tristinarum menilai terdapat dua faktor yang dapat membuat seseorang tergiur untuk memperoleh kekayaan secara instan.
Pertama ialah faktor eksternal. Beberapa diantaranya berupa pengaruh media yang menyajikan kehidupan serbah mewah, kemudian tuntutan lingkungan keluarga dan gaya hidup menjadi pemicu seseorang menggunakan cara tak lazim untuk mengubah hidupnya.
"Dalam hal ini cara instan adalah praktek perdukunan. Penyebab externalnya berupa pengaruh media yang menyajikan kehidupan hedonis sehingga membuat tergiur melakukan hal instan untuk mendapatkan kehidupan yang sama," ujar Nuzulia, Selasa (04/04/2023).
Faktor kedua ialah berasal dari dalam diri korban. Termasuk, kelemahan seseorang dalam berpikir kritis serta kemampuan mengelola keuangan
"Penyebab internal lain yaitu kurangnya kemampuan berpikir kritis sehingga mudah terkena penipuan, kurangnya kemampuan untuk mengelola uang sehingga selalu merasa kurang dan rendahnya adversity quotient, yaitu kecerdadan seseorang dalam menghadapi situasi sulit, atau rendahnya kecerdasan seseorang dalam berjuang untuk hidup yang baik," jelas Nuzulia.
Klenik Dibalik Manusia Modern
Melihat dari kejadian ini, dapat disimpulkan bahwa dibalik lingkungan kehidupan yang serba modern dan digital, masyarakat Indonesia masih tidak bisa terlepas dari karakteristik dan budaya klenik dan supranatural. Hal ini disampaikan langsung oleh Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Yuanita Apriliandini kepada Kuatbaca.com
“Ini kan kita bicara sisa sisa tradisi ritual leluhur yah. Karena kan beberapa kali kan modus dari tersangka ini ada ritualnya gitu ya. Ini kan sebenarnya ritualnya kalau misalnya kita katakanlah kita rasionalkan itu kan tidak rasional. Tapi kan masyarakat kita tidak seperti itu. Keliatan bahwa masyarakat kita enggak bisa bilang ini tradisional, ini modern, kota itu rasional, desa itu irasional” jelas Yuanita, Selasa (11/04/2023).
Menurutnya, sisa-sisa tradisi yang masih kental dirasakan masyarakat Indonesia, bahkan juga terhadap mereka yang berasal dari kalangan kelas menengah terdidik.
“Jadi kita itu seperti dua sisi mata uang, dan ini khas negara berkembang, negara dunia ketiga, Asia-Afrika. Jadi walaupun kelas menengah terdidik gitu dia belum bisa sepenuhnya meninggalkan hal hal yang bersifat supranatural dan metafisis di dalam kehidupan sehari-harinya” kata dia.
Namun, ada hal menarik dibalik kasus serial killer Mbah Slamet, yaitu ialah penggunaan ruang digital termasuk media sosial sebagai sarana untuk mengiklankan penipuan tersebut dengan testimoni yang ternyata dipublikasikan oleh komplotannya berinisial BS. Keberadaan iklan di ruang digital inilah yang menarik korban dari berbagai daerah, bahkan sebagian berasal dari kota besar.
Menurut Yuanita, ini adalah efek dari cultural lag yaitu ketidaksiapan kultural masyarakat menghadapi kondisi kehidupan dari teknologi yang serba canggih.
“Teori posmo, jadi memang dibalik kondisi high-technology, tetapi kalau kita belum siap ya begini ini. Jadi hardware-nya, casingnya memang abad 21-22 gitu yah, tapi konten-nya pertengahan masehi awal awal. Karena gini, kalau orang yang sudah 100 persen rasional, ya masa sih dia bisa merasionalkan penggandaan uang. Nah tapi kan ada aspek kultural yang memang tadi saya bilang belum selesai” ungkap Yuanita. (*)
Jurnalis : Ade Pamungkas
Editor : Gery Gugustomo
Illustrator : Fandy Dwimarjaya
Infografis : Fandy Dwimarjaya
Komentar
Belum ada komentar