Kuatbaca
24 February 2023 10:49
“Gagasan childfree yang dipopulerkan oleh berbagai influencer menjadi perhatian besar di masyarakat. Namun ternyata masifnya keputusan itu dapat berdampak pada penurunan angka kelahiran di suatu negara yang kemudian akan berimbas menuju depopulasi jika dilihat berdasarkan studi kasus Jepang, Korea Selatan, Jerman, dan italia, yaitu negara-negara yang notabene banyak penganut childfree. Kemudian dampak dari depopulasi tidak hanya menjadikan lansia terbengkalai, tetapi juga dapat menyusutkan ekonomi secara makro, mengingat angka usia muda dan produktif yang semakin menyusut dan angka lansia yang semakin bertambah.”
Gagasan childfree yang dipopulerkan oleh berbagai influencer terkhusus Selebgram Gita Savitri seakan menimbulkan perhatian besar di kalangan masyarakat. Tentu pilihan untuk untuk tidak memiliki anak merupakan hak personal. Tetapi jika dilihat secara lebih luas, keputusan-keputusan itu ternyata dapat merugikan negara.
Eropa sebagai kawasan yang sangat kental akan budaya individualis dan libertarian menjadi terdampak akan angka kelahiran yang semakin rendah akibat merebaknya individu/pasangan yang tidak ingin mempunyai anak.
“Salah satu pendorong utamanya ialah perubahan tren pernikahan, semakin banyak orang yang menunda pernikahan dan memiliki anak, maka akan semakin rendah pula angka kelahirannya” ujar Lyman Stone, Kepala Divisi Informasi Demographic Intelligence.
Penurunan angka kelahiran yang semakin menyusut tentunya dapat berdampak pada anjloknya jumlah penduduk disuatu negara. Penelitian dari Institute for Health Metrics, Universitas Washington menunjukkan adanya proyeksi depopulasi atau penurunan signifikan populasi secara global hingga 2100 akibat semakin merendahnya angka kelahiran.
Misal saja jumlah penduduk Italia, Korea Selatan, dan Jepang yang diproyeksikan akan menyusut hampir setengahnya di tahun 2100 dibandingkan dengan angka pada 2018. Sedangkan Jerman menciut hampir seperempatnya.
Jika kita lihat secara lebih dekat, penduduk usia muda yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan usia 40 tahun ke atas, disertai angka kelahiran yang sangat rendah. Hal ini seakan menandakan jika jumlah generasi penerus negara-negara tersebut ke depannya akan semakin mengecil.
Berbicara kembali mengenai fenomena childfree, diambil dari berbagai sumber, terdapat banyak penduduk wanita atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak di keempat negara tersebut. Jepang menjadi yang tertinggi, dimana sebesar 47% wanita di usia subur (20-49 tahun) tidak ingin melahirkan anak, berdasarkan survei di rentang 2014-2018. Sedangkan Jerman sebesar 26% (2018), Italia 21.5% (2022), dan 11.6 % di Korea Selatan (2019).
Disisi lain, World Economic Forum menyebutkan bahwa rendahnya angka kelahiran ditambah dengan meningkatnya harapan hidup di seluruh dunia akan menciptakan peningkatan populasi lansia kedepannya serta menurunkan angka usia produktif.
Dampak Depopulasi Berdasarkan Demografis
Mungkin penyusutan penduduk menjadi hal kurang urgensional jika dari kacamata awam. Tetapi dari segi demografis, ternyata justru dapat merugikan secara sosial dan ekonomi.
Dampak depopulasi disampaikan langsung oleh Elda Pardede, Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia kepada tim Kuatbaca.com. Menurutnya akan ada dua efek negatif yang terjadi pada suatu daerah yang mengalami penyusutan penduduk.
Pertama, ialah berkurangnya angkatan-angkatan muda, sehingga sedikit yang bisa membiayai dan merawat lansia. Fenomena ini sempat terjadi di Jepang, sebagaimana dikutip dari berbagai sumber, terdapat banyak lansia berumur diatas 65 tahun meninggal dalam keadaan terbengkalai sendirian di rumahnya atau biasa dikenal dengan istilah kodokushi.
Disebutkan terdapat 6.7 juta warga lanjut usia (lansia) di Jepang yang hidup sendirian di rumahnya pada 2020. Sehingga, pemerintah bahkan warga lokal sulit me deteksi lansia yang mengalami kodokushi tersebut.
Kemudian, jika suatu negara kekurangan penduduk maka kegiatan ekonomi akan melemah. Secara makro, efek ini akan menyusutkan kemampuan ekonomi negara ke depannya. Lantaran angka usia produktif berkurang dan lansia atau pensiunan yang semakin bertambah.
“Kalau sampai penduduk pada jumlah yang enggak cukup untuk kegiatan ekonomi bisa jadi masalah juga kedepannya. Ketika angka umur produktif berkurang maka ekonomi secara makro juga akan shrinking” ujar Elda Pardede kepada Kuatbaca, Selasa (14/02/2023).
Hal ini akhirnya disadari oleh pemerintah keempat negara tersebut. Karena berdasarkan garukan informasi dari Tambang Data, nyatanya mereka masif memberikan insentif berupa uang dan materi lain terhadap warganya yang hendak memiliki anak. Kebijakan itu dialamatkan untuk mendorong angka kelahiran di dalam negeri.
Tidak hanya itu, sejumlah negara juga aktif menarik imigran untuk tinggal dan/atau bekerja di negaranya sebagai dorongan untuk meningkatkan angka usia produktif.
Program Ausbildung, Au Pair, atau Program Jisshusei, menjadi beberapa contoh upaya peningkatan angka usia produktif. Ditambah juga dengan maraknya program beasiswa untuk mahasiswa asing dari negara-negara tersebut.
“Cara pertama, negara itu harus melahirkan lagi susah nih dorong perempuan-perempuan untuk punya anak. Kedua mereka rekrut pekerja di luar gitu, makanya ada negara-negara yang memang kebijakan imigrasinya menarik orang lain untuk bisa masuk, merekrut orang-orang dari luar untuk datang” kata Elda.
Dampak Childfree Demografi Indonesia
Elda menerangkan bahwa pada dasarnya fenomena ini muncul dikalangan masyarakat yang berpendidikan tinggi dan hidup di perkotaan.
“Saya sih secara angka melihat ini lebih ke fenomena perkotaan dan orang berpendidikan tinggi. Kalau kita lihat ada studi yang nunjukkin buat orang-orang pedesaan. Misalnya buat mereka biaya besarin anak itu tidak besar tapi kalau orang diperkotaan ditanya justru lebih besar” kata Elda.
Meskipun demikian, menurut Elda angka kelahiran atau fertility rate (FR) di Indonesia masih akan turun pelan-pelan secara stabil, dimana saat ini angka FR Indonesia berkisar di angka 2.19. Menurutnya, hal itu dikarenakan jumlah masyarakat yang berkeinginan untuk memiliki dua anak tetap akan mendominasi.
Terlebih, data dari BKKBN menunjukan bahwa jumlah wanita yang tidak ingin punya anak hanya berkisar 0.5%, dan 0.4% pria di tahun 2017. Sehingga fenomena tersebut dirasa tidak akan terlalu mempengaruhi angka pertumbuhan penduduk. Tetapi jika gejala ini terjadi secara masif maka akan berdampak pada penurunan angka kelahiran secara cepat.
“Kalau saya nggak melihat ini sebagai hal yang begitu besar, mungkin nanti di masa depan. Kalau misalnya penerapan Child-free yang masif, maka kita bisa punya penurunan angka kelahiran yang cepat” Tandas Elda. (*)
Komentar
Belum ada komentar