Ada 14 poin krusial dalam draf RKUHP terbaru yang dibahas Pemerintah dan DPR. KUHP yang dulunya berasal dari hukum Belanda jadi RUU yang paling lama disusun sekaligus paling buru-buru disahkan. Selain isu transparansi dan partisipasi yang minim, RKUHP menunjukkan keterbatasan paradigma hukum di Indonesia yang berorientasi pidana dan pemenjaraan. Padahal, beberapa pengamat telah mengusulkan alternatif selain ranah pidana, yaitu hukum perdata atau juga paradigma keadilan perspektif demi menghindari penuhnya penjara dan bertambahnya pengeluaran negara.
Di masa pendudukan Belanda, saat itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda. WvSNI yang awalnya turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) diberlakukan di Belanda mulai tahun 1886. Pemerintah koloni Belanda melakukan penyesuaian dalam implementasi WvS sesuai dengan misi kolonialisme negeri kincir angin itu. Barulah pada 1918, WvSNI diberlakukan di Hindia Belanda. Pasca kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mengganti istilah WvSNI menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 1946.
RKUHP bisa jadi rancangan UU yang paling lama digagas dan dibahas dalam sejarah legislasi nasional. Awalnya pembahasan dilakukan di Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada tahun 1963. Semenjak seminar, RKUHP terus menjadi pembahasan di legislasi. Bahkan, hingga kini, sejumlah delik yang muncul sekarang merupakan warisan seminar tersebut. Misalnya, ada delik kejahatan keamanan negara (ideologi), delik ekonomi, hukum adat (living law), sampai delik kesusilaan.
Sudah tujuh presiden berganti dan 13 menteri bertukar, RKUHP belum disahkan. Saking lama pengesahannya, Prof Barda Nawawi dari Universitas Diponegoro menyebut RKUHP seperti bayi di kandungan yang tak kunjung lahir, tapi tetap hidup.
“Janinnya sudah terlalu tua,” kelakar Guru Besar Undip tersebut di Simposium Nasional dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi pada Mei 2016.
Sebelumnya, Panja DPR Benny K Harman sempat menargetkan pembahasan RKUHP rampung di penghujung 2013. Meski masa jabatan DPR periode 2009-2014 telah usai, RKHUP tak juga selesai. Di periode 2014-2019, Presiden Jokowi menerbitkan Surpres (Surat Presiden) pada 4 Juni 2015 tentang kesiapan pemerintah dalam pembahasan RKUHP, terdiri dari Buku I dan Buku II berisi 786 pasal. Pada penyerahan draf RKUHP kedua kali, DPR dan pemerintah bersepakat menyelesaikan pembahasan dalam waktu 2 tahun, yakni 2017.
Target tersebut mundur. Pasalnya sejumlah pasal masih belum disepakati dan dipending pembahasannya. Pada kelanjutannya, RKUHP masuk RUU Prolegnas Prioritas 2018. Di 2019, usaha mengesahkan RKUHP kembali diupayakan. Gelombang demonstrasi besar-besaran terjadi menolak pengesahannya, hingga akhirnya pemerintah menunda dan menargetkan di Juli 2022.
Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang menyatakan proses penyusunan RKUHP menjadi yang paling terlama dalam sejarah. Salinan pertama sudah sejak 1963, lalu dibahas di tahun 1964, 1968, 1991, 2003, 2019, dan saat ini 2022.
Lama Disusun, Buru-Buru Disahkan
Pada 25 Mei 2022, pemerintah bersama DPR membahas 14 poin isu krusial RKUHP. Naskah RKUHP diserahkan oleh Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiraej di rapat kerja dengan Komisi III. Para anggota dewan sepakat tidak akan membuka kembali substansi RKUHP.
“Terkait 14 isu krusial berdasarkan hasil diskusi publik yang telah diselenggarakan di 12 kota di Indonesia, tim pembahasan RUU KUHP telah mengkaji dan menyesuaikan isu krusial RUU KUHP yang meliputi 14 isu,” ucap Wamenkumham Edward Omar Sharif.
Menanggapi sikap tersebut, Direktur Eksekutif ICJR (Institute of Criminal Justice Reform) menilai pembahasan yang tak partisipatif di 2019 kembali terulang.
“Kesalahan yang sama mengundangkan UU yang dibahas secara tidak partisipatif justru kembali dilakukan di RKUHP. Padahal pembahasan terdahulu RKUHP cukup substansial yang seharusnya hal tersebut diteruskan. Presiden pun jelas telah menyuarakan bahwa alasan penundaan pengesahan RKUHP September 2019 lalu karena masalah materi. Malah lantas materi tidak dibahas,” tegasnya
Sinyal gelagat untuk percepat pengesahan RUU KUHP menguat. Indikasi ini terlihat pada rapat Komisi Hukum, 25 Mei lalu. Sejumlah besar anggota DPR menyatakan RUU KUHP tak perlu ada pembahasan dari awal sebab sudah diketok di pembahasan tingkat I DPR 2014-2019.
Menanggapi isu ini, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menjelaskan Komisi Hukum tak bisa secepat itu mengetuk palu ke rapat paripurna. Kalau ini terjadi, maka DPR dan pemerintah melakukan perbuatan inkonstitusional.
Sejalan dengan Bivitri, peneliti Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia) Lucius Karus menerangkan tidak ada perintah UU RUU carry over tak perlu dibahas lagi.
“Apa gunanya pemerintah menyerahkan kembali draf ke DPR jika bukan berarti bahwa draf itu harus dibicarakan dengan DPR sebelum disahkan,” ujarnya dikutip dari Detik.com, Selasa (12/7/2022).
Menurut Pakar Sosiologi Hukum, Trubus Rahardiansyah, peraturan publik harus melibatkan tiga unsur KIE, yaitu komunikasi, informasi, dan edukasi. Ia menjelaskan 14 pasal RKUHP itu harus betul dikomunikasikan kepada masyarakat. Kemudian, informasi yang diberikan harus utuh, dan mesti terbuka. Ketiga, edukasi menjadi vital agar masyarakat paham proses-proses pembuatan perundang-undangan RUKHP tersebut.
Dari laman resmi Amnesty International Indonesia, pemerintah sebenarnya sudah melaksanakan sosialisasi sejak 2019. Namun, masukan substanstif dari partisipasi aktif dan bermakna oleh masyarakat terkait revisi draf RKUHP belum dipertimbangkan. Bahkan, Survei Litbang Kompas menemukan 89,3% responden tidak tahu RKUHP akan disahkan DPR RI.
Pertanyaannya, mengapa hanya ada 14 pasal yang dianggap krusial untuk dibahas. Sedangkan ada sekitar 646 pasal yang ada di RKUHP. Padahal, di luar 14 pasal itu, ada pasal-pasal lain yang tentu tak kalah penting untuk dibahas.
“Yang ditonjolin hanya 14 pasal itu. Masalahnya ada pasal-pasal lain yang sebenarnya perlu didiskusikan,” ucap Trubus Rahardiansyah kepada Kuatbaca.com, Selasa (12/7/2022).
Ia mengambil contoh pasal menyoal berita bohong. Menurutnya, kampanye pejabat atau calon kepala daerah yang tak menepati janjinya bisa disebut berita bohong.
“Misalnya kampanye calon kepala daerah atau pejabat yang tak menempatinya berarti menyampaikan berita bohong. Itu harus dipidana,” jelasnya.
Alternatif Paradigma Hukum Non Pidana
“Ya tidak semua perbuatan buruk harus dipidana, dan tidak semua yang dipidana itu buruk”
Ucapan tersebut dilontarkan sendiri oleh anggota tim pengurus RKUHP Andi Hamzah pada 10 Oktober 2019. Ia mengatakan pasal-pasal RKUHP merupakan bentuk kehendak negara untuk mengatur segala perbuatan buruk. Andi Hamzah tak salah, ada alternatif hukum lain selain hukum pidana.
Dalam tulisan berjudul “Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi”, ahli hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar menjelaskan meskipun RUU KUHP di ranah hukum pidana, paradigma hukum lain layak dipertimbangkan, terutama dalam konteks negara hukum dan demokrasi.
Ia mengambil contoh pasal penghinaan presiden yang lebih cocok di ranah perdata karena terkait hubungan individual. Dosen hukum tata negara UGM itu menjelaskan alasan di balik negara demokrasi presidensial tak memidana terduga penghina presiden.
“Posisinya malah semakin berganda, rakyat bukan hanya selaku warga negara, tetapi juga selaku pemilih. Relasi yang ada adalah warga negara dan juga sebagai pemilih yang memiliki relasi langsung dengan presiden yang dipilihnya. Itu sebabnya, negara dengan demokrasi presidensial tidak banyak yang menggunakannya,” jelas Arifin Mochtar dikutip dari Kompas.id, Rabu (13/7/2022).
Sedangkan aturan ala lese majeste lazim digunakan oleh negara monarki dengan raja/ratunya sebagai simbol negara secara turunan. Aturan seperti ini, misalnya, dapat ditemui di negara tetangga Thailand yang menjatuhkan koin baht saja dapat dianggap menghina raja. Karena itu, konteks Indonesia tak bisa dijustifikasi melalui aturan itu yang presidennya dipilih langsung.
Menyamakan delik makar dan delik aduan penghinaan juga menurut Arifin salah kaprah. Sebab, makar berpotensi mengganggu stabilitas publik. Adapun penghinaan presiden hampir tak berimplikasi serius kecuali atas individu presiden itu sendiri.
Perihal serupa juga diutarakan pakar sosiologi hukum Trubus Rahardiansyah. “Menurut saya tidak perlu karena Presiden dan Wakil Presiden itu jabatan publik. Kalau itu dimasukkan, banyak orang mengkritik kemudian di penjara. Dan itu bertentangan dengan demokrasi,” tegas Trubus.
Kekhawatiran akan penuhnya penjara menjadi valid. Sebab, per 9 September 2021, jumlah tahanan dan narapidana berjumlah 266.663 orang. Sementara itu, kapasitas seharusnya berjumlah 132.107 orang. Jadi, ada over kapasitas sebesar 134.556 atau setara 201%.
Hasil riset Ditjen Pemasyarakatan bersama Center for Detention Studies mengemukakan jika masalah over crowded di lapas tak ditangani, maka jumlah narapidana akan mencapai 136% pada 2025. Dengan jumlah itu, Indonesia membutuhkan 179 lapas baru dengan biaya pembangunan mencapai Rp 35,8 triliun, plus biaya makanan narapidana Rp 10,3 triliun hingga 2025.
Adapun, dalam draf RKUHP, ada total 1.251 perbuatan pidana. Dari jumlah tersebut, 1.198 diantaranya diancam dengan pidana penjara. Hirauan serupa sebenarnya sudah pernah diutarakan oleh sejumlah pengamat dan aktivis. Ketua YLBHI waktu itu Asfinawati menyatakan pasal-pasal pidana ini dapat menjerat masyarakat sekaligus membuat lapas semakin sesak.
“Kira-kira kalau ini diberlakukan, maka bayangan saya akan banyak orang yang masuk penjara, harapan lapas untuk mengurangi tidak akan terjadi,” katanya dikutip dari Liputan6.com, Sabtu (21/8/2019).
Alternatif lain dari hukum pidana, yakni pendekatan restorative justice. Treatment ini sebenarnya sudah banyak diterapkan oleh banyak negara dengan adanya hukuman. Lemhanas mendefinisikan keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana berfokus pada pemidanaan yang dihibah menjadi proses dialog dan mediasi melibatkan pelaku, korban, dan keluarga pelaku atau korban, dan pihak terkait.
“Pendekatan restorative justice bertujuan untuk memulihkan korban, pelaku, dan masyarakat. Dengan pendekatan keadilan restorative, diharapkan permasalahan Lembaga Pemasyarakatan yang terlampau penuh (over crowded) dapat diselesaikan,” ucap Pembimbing Kemasyarakatan Muda pada Bapas Kelas I Yogyakarta Tri Handoyo, Kamis (9/8/2021).