top ads
Home / Telik / Sosial & Budaya / Bumerang Politik Anies Ganti Nama Jalan

Sosial & Budaya

  • 285

Bumerang Politik Anies Ganti Nama Jalan

  • July 05, 2022
Bumerang Politik Anies Ganti Nama Jalan

“Pergantian 22 nama jalan di DKI Jakarta oleh Anies Baswedan menimbulkan pertanyaan mengingat tidak ada urgensi dalam kebijakan ini. Selain tidak ada urgensi, tidak adanya keterlibatan warga membuat pengamat makin yakin ada indikasi politis atas keputusan Anies. Targetnya, ingin merebut hati warga Betawi yang tersingkirkan dari kampung sendiri jelang kontestasi Pemilu 2024. Sayangnya protes warga yang tak terlibat serta tidak adanya pertimbangan terhadap PP No. 2 Tahun 2021 menjadi bumerang bagi mantan Mendikbud itu.”

 

Sebagai tuan rumah, warga Betawi tak banyak secara jumlah tinggal di Jakarta. Di wilayah ibukota ini, persentase jumlah suku Betawi hanya sebesar 28,1%. Sisanya adalah pendatang dari suku Jawa (35,9%), Sunda (14,5%), Tionghoa (6,5 persen), dan Batak (3,4 persen). Lalu, ke mana perginya si tuan rumah?

 

Kebanyakan dari mereka berpindah ke wilayah Bodetabek. Di dalam wilayah ini, sebaran suku Betawi di DKI Jakarta sebesar 41%, disusul Bekasi 24,4%, Tangerang dengan 13,2%, Depok dengan 9,7%, Bogor dengan 4,7%, dan Tangerang Selatan dengan 7%.

 

Masyarakat Betawi Ibu kota mulai tersingkir bersamaan dengan masifnya pembangunan Jakarta. Sejak 1949, dari catatan Shahab (2004), sejumlah kampung-kampung Betawi dibongkar untuk kawasan kota. Dalam pembangunan Kota Satelit Kebayoran Baru, tak kurang dari 730 hektar perkampungan dibongkar, bersama 1.688 unit rumah, kandang ternak, dan 700.000 pohon produktif milik orang Betawi.

 

Selanjutnya, pembongkaran dilakukan terhadap Kampong Senayan dan Petunduan untuk fasilitas olahraga Asian Games. Pada akhir 1960an, demi terbangunnya fasilitas kantor dan rumah mewah, Kampong Kuningan dan Pondok Pinang turut dibongkar.

Kisah pembongkaran ini pada akhirnya menjadi awal cerita ‘peminggiran’ orang Betawi ke luar Jakarta, seperti Bekasi, Depok, Tangerang, hingga Bogor.

 

Ditilik dari provinsi, suku Betawi paling banyak ada di DKI Jakarta (2.700.722 jiwa), Jawa Barat (2.66.143 jiwa), dan Banten (1.365.614). Jumlah totalnya, menurut BPS (2010), sebesar 2,88% dari total penduduk Indonesia atau 6.807.968 jiwa.

 

Dalam lingkup Indonesia, data dari BPS (2010) menyebut suku Betawi berjumlah 6.807.968 jiwa. Dengan jumlah tersebut, suku Betawi menempati urutan keenam suku dengan populasi terbanyak di Indonesia.

 

Penyebaran warga Betawi ini menarik di mata sang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Di wilayah otoritasnya saat ini, ia mengeluarkan kebijakan penggantian 22 nama jalan dengan nama tokoh Betawi. Dengan pakaian khas Betawinya, Anies meresmikan 22 nama jalan baru tersebut.

 

“Dengan mengucap bismillahirrohmanirrohim, pada hari Senin, 20 Juni 2022, penetapan nama jalan itu zona dengan nama tokoh Betawi dan nama tokoh asal Jakarta di Provinsi DKI Jakarta secara resmi ditetapkan,” kata Anies, Senin (20/6/2022).

 

Maksud Anies memenangkan hati warga Betawi memang disambut baik beberapa kalangan warga Betawi. Ketua DPD Bamus Betawi 1982 Jakarta Utara M Ichwan Ridwan menyatakan kebijakan ini tepat untuk mengenang tokoh Betawi yang sudah berjasa terhadap Kota Jakarta dan Indonesia.

 

Seorang warga asli Betawi, Rocky yang rumahnya dekat dengan Jalan Bang Pitung mengaku setuju dengan pergantian ini. “Kebetulan saya orang Betawi asli seneng banget dengan adanya bacaan Bang Pitung. Karena dia yang membuat sejarah di Jakarta,” ujarnya.

 

Sejarawan Betawi JJ Rizal turut mengapresiasi keputusan Anies. Menurut Rizal, kebijakan ini menjadi langkah menghormati warga Betawi.

 

“Sudah terlalu lama orang Betawi dilupakan dalam derap pembangunan Jakarta”, ucapnya dikutip dari Kompas.com, Rabu (22/6/2022).

 

Di balik yang mendukung, tak sedikit pula warga yang menolak pergantian nama jalan. Sebagian besar mengeluhkan sulit dalam mengurus ulang dokumen kependudukan, kendaraan, perbankan, asuransi, dan dokumen lainnya.

 

Salah satu warga Pondok Gede, Jakarta Timur, Mei Suliswati misalnya, dirinya menyatakan mendukung kebijakan ini, akan tetapi juga khawatir dengan perubahan kartu identitasnya.

 

“Saya setuju karena beliau (Haji Bokir Bin Dji’un) seniman populer di Ibu Kota Jakarta. Tapi saya mewakili warga setempat akan keberatan kalau nanti misalnya itu berpengaruh ke identitas lain,” ujar Mei dikutip dari Kompas.com, Rabu (22/6/2022). 



Politis tak Taktis

Adanya sejumlah penolakan warga terhadap keputusan Anies ini lantaran orang yang digadang-gadang sebagai Capres 2024 itu tidak melakukan musyawarah dan sosialisasi bersama warga yang jalannya diubah.

 

Tanpa musyawarah dan sosialisasi, kebijakan publik rawan terhadap protes sebab tak mengindahkan kepentingan publik. Hal ini dijelaskan oleh Pengamat Kebijakan Publik Trubus Ragadiansyah. Menurutnya, kebijakan ini bersifat top-down.

 

“Yang jelas kebijakan (pergantian nama jalan) itu memang sifatnya top-down dan dipaksakan, bertentangan dengan kehendak masyarakat, karena itu masyarakat banyak yang menolak”, ungkapnya kepada Kuatbaca.com, Rabu (29/6/2022).

 

Itu sebabnya Trubus tidak melihat urgensi dari kebijakan ini. Melengkapi penjelasan Trubus, Pengamat Politik Ujang Komarudin menyatakan kebijakan ini bisa disebut mempunyai urgensi jika ada usulan warga. Jika tidak, jelas motif Anies tak jauh dari langkah politis. Tujuan dari kebijakan ini disinyalir untuk mencari simpati warga Betawi yang tersebar di seluruh Indonesia meskipun dirinya hanya memiliki otoritas di Jakarta.

   

“Kalau itu usulan dari warga, ada urgensinya. Tetapi kalau kebijakannya sepihak, tentu hanya ini bermotif politis”, ujar Dosen Universitas Al Azhar tersebut saat dihubungi Kuatbaca.com, Selasa (28/6/2022).

 

Tanpa usulan dan perembukan bersama warga, tak mengagetkan kebijakan ini diresmikan dalam waktu singkat. Sebab, idealnya, ada proses yang mesti ditempuh untuk menghasilkan kebijakan serupa dengan waktu yang relatif lebih lama.

 

Trubus Rahardiansyah menegaskan kebijakan yang bersifat bottom-up umumnya butuh waktu rata-rata setahun. Proses yang ditempuh dari mulai usulan dari tingkat terkecil (RT) hingga kecamatan, bersama dengan konsultasi kepada pakar terkait. Karena itu pula, ia menduga ada motif politik kepentingan di sini.

 

“Dalam kebijakan publik itu ada satu teori di mana sebuah kebijakan itu keluar atas desakan kelompok-kelompok kepentingan. Kalau berdasarkan teori ini, artinya bahwa keluarnya (kebijakan pergantian nama jalan) itu ada kelompok kepentingan yang bermain, dalam rangka 2024 menjelang injury time Pak Gubernur”, ungkapnya.

 

Pada 29 Juni, tim Kuatbaca.com mendatangi Jalan Madrasah II Sukabumi Utara, lokasi di mana warga menolak pergantian nama jalannya menjadi Syech Abdul Karim Bin Asfan. Plang nama jalan sudah tak tampak lagi di lokasi tersebut.

 

Ketua RT 2 RW 2, Muntako menyatakan tak tahu menahu mengenai pemasangan plang nama jalan yang baru. Sebelumnya, ia menyatakan ada survei kepada warga soal pergantian nama jalan Madrasah II menjadi Syech Abdul Karim Bin Asfan. Hasilnya, 90% warga menolak. Akhirnya, warga menolak dan protes sebab tak ada musyawarah lanjutan setelah survei sebelumnya.

 

Nihilnya partisipasi warga dalam pergantian nama Jalan Madrasah II ini juga dikeluhkan oleh Mpok Nung, salah satu warga RT 2. Ia menyayangkan tak ada sosialisasi sedari awal. Sewaktu peresmian jalan pun tak ada satu orang perwakilan dari jalan Madrasah II yang diundang.

 

Mpok Nung sudah empat generasi tinggal di sana, yaitu sejak kakek-neneknya hingga anaknya sekarang. “Nama jalan ini sudah ada sejak dari mama saya lahir 65 tahun yang lalu itu sudah ada”, jelasnya kepada Kuatbaca.com, Selasa (28/6/2022).

 

Menurut Ketua RT 2 Muntako alasan warga menolak tak hanya soal perubahan dokumen identitas dan surat menyurat sebagai buntut nama jalan yang berganti, hal terpenting baginya adalah nama Jalan Madrasah punya sejarah panjang bagi warga.

“Dulu sejarahnya ada Madrasah dua biji. Keluarga yang punya madrasah juga masih ada di sini”, kata Ketua RT 2 tersebut.

 

Jalan Madrasah II memang diambil dari dua madrasah yang ada di wilayah tersebut.

“Yang di depan (dari jalan) yaitu Ustad Ahmad atau Haji Muhammad dan di sini depan rumah kami itu dibina oleh Ustad Muslih”, ucap Mpok Nung.

 

Seiring berjalannya waktu, madrasah ini bahkan mampu menghasilkan ustad-ustad baru yang ada di wilayah itu. “Madrasah itu udah banyak melahirkan kiyai-kiyai juga, ustad-ustad kita sekarang,” kata Ketua RT 2 Muntako.

 

Pada titik ini, kebijakan ini semakin krusial sebab ruang kota, menurut JJ Rizal, adalah kontestasi memori. Karena itu, ada aturan yang mewadahinya. JJ Rizal menjelaskan pilihan ruang memori dengan mengabadikan nama tokoh Betawi untuk nama jalan dan tempat harus sesuai dengan PP Nomor 2 Tahun 2021 tentang pengaturan penyelenggaraan Nama Rupabumi.

 

Namun, dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 565 Tahun 2022 tentang Penetapan Nama Jalan, Gedung dan Zona dengan Nama Tokoh Betawi dan Jakarta, PP No. 2 Tahun 2021 tidak tercantum dalam bagian konsiderans. Itu artinya, peraturan tersebut tak masuk pertimbangan dalam Kepgub pergantian nama jalan.

 

Tiap nama jalan punya historisnya masing-masing. Karena itu, ketika nama jalan itu diubah, ada sejarah yang juga akan hilang. JJ Rizal mencontohkan Jalan Warung Buncit Raya diubah Jalan Tutty Alawiyah. Ia menjelaskan nama Warung Buncit diambil dari nama orang Tionghoa Tan Buncit yang senang membantu warga. Alhasil, Anies seperti mengabadikan sejarah dengan menenggelamkan sejarah lain.

 

Maksud taktik politis Anies ingin memenangkan hati warga Betawi tak sepenuhnya tercapai. Sebab, sejak awal, partisipasi publik diabaikan. Kedua, PP No. 2 Tahun 2021 juga tak masuk dalam pertimbangan.

 

Jika niatnya memang mengabadikan nama tokoh Betawi, maka mengganti nama jalan yang masih baru bisa jadi opsi.

 

“Masyarakat setuju bahwa nama pahlawan itu harus diabadikan dan dikenang oleh generasi berikutnya. Tetapi apakah harus diletakkan pada jalan yang sudah ada. Kenapa tidak pada (nama) gedung-gedung juga bisa atau jalan-jalan yang masih baru”, ujar Trubus.

 

Pada akhirnya, fenomena ini membuktikan disertasi doktoral yang ditulis sendiri oleh Gubernur Anies Baswedan saat ia berkuliah di Northern Illinois University. Salah satu temuan penelitian berjudul “Regional Autonomy and Patterns of Democracy in Indonesia” itu adalah implementasi otonomi wilayah tak serta merta meningkatkan partisipasi politik warga, khususnya dalam pembuatan kebijakan.

 

Tak senada dengan karya ilmiahnya, Anies ternyata tak mengindahkan partisipasi publik sebagian warga Betawi yang menolak nama jalannya diganti. (*)

 

Jurnalis :Rizal Mahmuddhin
Editor :Virga Agesta
Illustrator :
Infografis :
side ads
side ads