“Mahligai rumah tangga RA dan EDS dinyinyir Wakil Presiden, Ma’ruf Amin. Menurut tokoh MUI itu, pernikahan beda agama RA dan EDS tidak sejalan dengan fatwa. PN Surabaya yang memberi restu pernikahan mereka pun ikut terseret. Lembaga peradilan itu dituding dan digugat dengan alasan melanggar konstitusi. Pada kasus-kasus sebelumnya, sejumlah Pengadilan Negeri tercatat menolak permohonan pernikahan beda agama. Perbedaan putusan ini terjadi lantaran UU Perkawinan no 1 tahun 1974 tidak mengatur secara rinci regulasi pernikahan. Selain pasal karet, sebuah Jurnal mengatakan, regulasi ini juga berbenturan dengan dasar hukum penjamin Hak Asasi Manusia yang bermakna bahwa hak perkawinan tidak boleh dikurangi atau direduksi dengan alasan agama.”
Ruang Kartika 1 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjadi saksi bisu kegembiraan pasangan RA dan EDS setelah hakim tunggal mengabulkan permohonan pernikahan mereka yang berbeda agama. Setelah dua bulan menanti, akhirnya pernikahan mereka diakui oleh negara dan tercatat di atas kertas Dispendukcapil Surabaya.
Sebelumnya, dua sejoli yang sudah melangsungkan pernikahan secara Islam dan Kristen pada Maret 2022 ini berniat mencatatkan pernikahan mereka di Dispendukcapil. Namun, berkas pendaftaran tersebut mendapat penolakan dari dinas terkait karena perbedaan agama keduanya. Dispendukcapil tak mengakui pernikahan itu.
“Jadi, mereka sudah melakukan perkawinan secara agama Islam, kemudian mereka di hari yang sama mereka melakukan perkawinan secara agama Kristen,” kata Wakil Humas PN Surabaya Gede Agung, Selasa (21/6/2022).
Maka dari itu, RA dan EDS mengajukan permohonan pernikahan beda agama ke PN Surabaya dengan nomor penetapan 916/Pdt.P/2022/PN Sby. Imam Supriyadi, sebagai hakim tunggal dalam perkara ini kemudian mengabulkan permohonan keduanya.
Dalam pengambilan keputusannya, PN Surabaya mengaku sudah melalui beberapa pertimbangan undang-undang yang berlaku, yaitu:
Pertama, pernikahan atau perkawinan berbeda agama tidak terlarangan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kedua, Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, maka terkait dengan masalah perkawinan beda agama menjadi wewenang PN untuk memeriksa dan memberikan keputusan.
Ketiga, fakta yuridis yang terungkap di persidangan, yaitu para pemohon telah bersepakat dan telah mendapat persetujuan serta izin dari kedua orangtuanya bahwa proses perkawinan di hadapan Pejabat Kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya, dan selanjutnya mereka telah sepakat untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Keempat, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 menegaskan bahwa suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.
Kelima, Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Keenam, Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Putusan itu kemudian menuai respon dari berbagai pihak. Mulai dari masyarakat awam, MUI hingga Wakil Presiden, Ma’ruf Amin. Orang nomor dua di Indonesia sekaligus Tokoh NU tersebut bahkan mengatakan bahwa putusan pernikahan beda agama tidak sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Kalau dari segi fatwa MUI tidak sejalan ya, tidak sejalan dengan fatwa,” kata Ma'ruf Amin kepada wartawan saat melakukan kunjungan ke kantor MUI pusat, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/6/2022).
Selain komentar tersebut, PN Surabaya digugat oleh kalangan santri lantaran telah mengesahkan pernikahan beda agama. Para penggugat diantaranya, M Ali Muchtar, Tabah Ali Susanto, Ahmad Khoirul Gufron, dan Shodiku dengan nomor perkara 658/Pdt.G/2022/PN Sby.
Gugatan yang didaftarkan pada 23 Juni 2022 tersebut bahkan turut menyeret Mahkamah Agung Republik Indonesia, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja Indonesia, serta Pondok Pesantren Al Anwar Sarang dan Pondok Pesantren Alquran (pimpinan Gus Baha).
Sebenarnya permohonan pernikahan beda agama bukan hal baru bagi Pengadilan Negeri di Indonesia. Mahkamah Agung mencatat setidaknya ada 193 data permohonan pernikahan beda agama. Pada tahun 2022 sendiri ada empat permohonan perkawinan yang ditujukan ke pengadilan diantaranya, PN Surabaya dengan nomor 916/Pdt.P/2022/Pn Sby, PN Pontianak nomor 12/Pdt.P/2022/PN Ptk, PN Makale dengan nomor 2/Pdt.P/2022/PN Mak, PA Tanjung Balai Karimun nomor 8/Pdt.P/2022/PA.TBK.
Keempat permohonan tersebut dikabulkan masing-masing pengadilan. Bahkan salah satu putusan dari PN Surakarta pada tahun 2018 mengatakan bahwa tidak menerima permohonan merupakan hal yang diskriminatif.
“Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, dan penolakan atas perkawinan beda agama merupakan tindakan yang diskriminatif,” seperti tertulis dalam surat penetapan putusan PN Surakarta nomor 454/Pdt.P/2018/PN Skt.
Meski demikian, masih ada Pengadilan Negeri yang menolak permohonan pernikahan beda agama. Contohnya adalah permohonan kepada PN Blora dengan nomor 71/Pdt.P/2017/PN Bla tanggal 18 April 2017 yang memutuskan menolak permohonan pemohon dengan alasan Para Pemohon menyatakan tetap ingin memeluk agamanya masing-masing dan di dalam ajaran agama Islam maupun agama Kristen juga tidak memperbolehkan pernikahan beda agama.
Maka berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diputuskan bahwa keinginan Para Pemohon yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama tidak dapat dilakukan karena pernikahan beda agama dilarang menurut ajaran agama sehingga permohonan tersebut tidak dapat dikabulkan.
Putusan itu membuat calon pasangan suami istri yang tidak dapat melangsungkan pernikahan tersebut mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, namun kasasi itu pun ditolak.
Nikah Beda Agama Dalam Perspektif HAM
Perbedaan putusan tiap pengadilan terhadap perkara pernikahan beda agama terjadi karena UU Perkawinan no 1 tahun 1974 tidak mengatur secara rinci regulasi pernikahan Indonesia, terutama dalam hal perbedaan agama mempelai.
Ketidaklengkapan itu menyebabkan UU Perkawinan beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi baik perseorangan maupun kelompok.
Sebut saja gugatan yang diajukan Ramos Petage, Pria yang gagal menikahi kekasihnya karena perbedaan agama. Gugatan itu diajukan ke MK pada 7 Februari 2022.
"Pemohon kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan maka akan ada paksaan salah satunya untuk menundukkan keyakinan," ujar kuasa hukum E Ramos Petege, Ni Komang Tari Padmawati, dalam sidang perdana uji materi UU Perkawinan pada Rabu (16/3/2022) lalu.
Gugatan juga pernah dilakukan pada 2014 lalu oleh mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang mempersoalkan aturan Pasal 2 ayat (1) dengan maksud meminta tafsir agar perkawinan beda agama dilegalkan. Namun, MK menolak judicial review itu.
"Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," demikian bunyi putusan MK yang diketok pada 18 Juni 2015.
MK menolak pernikahan beda agama dengan alasan perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.
Pada hakikatnya, prinsip hak asasi manusia tidak membatasi masyarakat dengan agama. Hak tersebut dilihat dari Pasal 28E ayat(1) dan Pasal 29 ayat(2) mengenai kebebasan memeluk agama, kebebasan dalam hal ini diartikan sebagai hal yang hakiki maka tidak ada turut campur negara sekalipun.
Lebih jauh pasal 10 ayat (2) UU HAM menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat diadakan atas kehendak bebas kedua belah pihak. Yang dimaksud dengan kehendak bebas adalah kehendak yang lahir atas dasar niat yang tulus dan suci tanpa paksaan, tipu daya, atau tekanan.
Hukum hak asasi manusia hanya mempertimbangkan aspek keperdataan yang tidak memiliki unsur agama untuk diprioritaskan dalam perkawinan yang sah. Selama ini UU Perkawinan masih mengonsepkan efektifitas perkawinan atas dasar agama.
Mengutip jurnal hukum yang berjudul ‘Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia’ bahwa Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui ikatan perkawinan yang sah seharusnya dilakukan berdasarkan UUD 1945 Pasal 10 ayat(2) dan Pasal 3 ayat(3) yang tidak boleh dikurangi atau direduksi dengan alasan agama.
“Terdapat konflik norma antara Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (3) UU HAM dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berakibat pada konsekuensi yang diterima salah satu calon pasangan yakni penundukan diri atas agama yang dianutnya untuk mengikuti agama pasangannya,” dikutip dari jurnal tahun 2021. (*)