Kuatbaca
13 May 2023 09:21
Ahda Imran sebelumya dikenal sebagai penyair, esai, dan novelis. Namun, belakangan namanya semakin melejit setelah novel “Jais Darga Namaku” diadaptasi film berjudul “Nana” (judul internasional: Before, Now & Then). Film yang disutradarai oleh Kamila Andini merupakan film drama sejarah Indonesia tahun 2022 yang diadaptasi dari bab pertama novel “Jais Darga Namaku” karya Ahda Imran.
Film “Before, Now & Then” berhasil meraih Piala Citra sebagai film cerita Panjang terbaik dan empat penghargaan lain dalam Festival Film Indonesia pada November, 2022 lalu. Film ini diproduksi oleh Fourcolours Films bersama Titimangsa Foundation dan dibintangi oleh Happy Salma sebagai Nana.
Kepada tim KuatBaca.com, Ahda membagikan pengalamannya dalam alih wahana karya sastra ke pertunjukan teater hingga film. Di balik kesuksesan film “Before, Now, & Then”, masyarakat penasaran bagaimana proses kreatif Ahda dalam menciptakan karya sastra (novel) hingga masuk dalam dunia film. Bagi Ahda, menulis bukan hanya mengandalkan imajinasi, tapi juga perlu riset.
Dalam menulis “Jais Darga Namaku”, Ahda melakukan penelusuran sejarah perjalanan hidup Jais Darga, perempuan pertama Indonesia yang menjejakkan dirinya sebagai art dealer skala internasional dan perempuan pertama yang memiliki galeri di Paris.
“Saya menulis novel biografis yang dimulai dari perjalanan ibunya, hingga masa ia berkiprah di Eropa. Kemudian yang di filmkan adalah nukilan dari bab pertama novel yang menceritakan kisah kehidupan nyata Raden Nana Sunani di Jawa Barat pada era 1960-an”, ungkap Ahda.
Beberapa karyanya diantaranya Buku Antologi Puisi 70 Puisi: Penunggang Kuda Negeri Malam (2008); Rusa Berbulu Merah: Kumpulan Puisi 2008-2013 (2014); Lidah Orang Suci (2022) diterbitkan Teroka. Novelnya "Jais Darga Namaku" diadaptasi menjadi film dengan judul “Nana” ((judul internasional: Before, Now & Then). Beberapa karya non-fiksi : Di Atas Viaduct (2009); diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama, 5 Dasa Warsa Irawati Menari (2011); bersama Miftahul Malik dan Irawati Durban Ardjo.
Kiprahnya di dunia kepenulisan, mengantarkannya meraih beberapa penghargaan diantaranya: Buku Puisi Rusa Berbulu Merah masuk dalam daftar lima besar nominasi ajang Kusala Sastra Khatulistiwa (2014), Nominasi Penulis Skenario Adaptasi Terbaik bersama Kamila Andini dalam film Nana di Festival Film Indonesia 2022., Buku puisi Rusa Berbulu Merah menjadi buku Rekomendasi Majalah Tempo (2015), Buku puisi Ludah Orang Suci menjadi buku Rekomendasi Majalah Tempo (2021), Buku puisi Ludah Orang Suci menerima Penghargaan Buku Puisi Kemendikbud (2022), Pemenang Sayembara Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta (2022) untuk naskah Mesin Jemaat, dan Rawayan Award.
Belakangan, Ahda juga banyak menulis naskah drama monolog yang dipentaskan dalam panggung teater. Untuk menyebut beberapa naskah monolog yang ia tulis, seperti : Monolog Inggit Garnasih (2013) yang kemudian dipentaskan oleh Happy Salma dan disutradarai oleh Wawan Sofwan. Di tahun berikutnya, Monolog 3 Perempuan (2014); bersama Gunawan Maryanto dan Djenar Maesa Ayu. Juga beberapa naskah monolog lainnya: Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah, Sjahrir, Amir Hamzah; Nyanyian Sunyi Revolusi, The Sin Nio, Sepinya Sepi, Annelis Mallema, dan Kacamata Sjafruddin.
Dari beberapa karya naskah monolog tokoh tersebut, menjadikan Ahda dikenal dengan sebutan ‘penulis biografi tokoh-tokoh’. “Saya kira penulisan tokoh-tokoh masa lalu bisa menjadi suri tauladan”, ungkap Ahda.
Ia juga menegaskan, apa yang dilakukan dengan menulis biografi para tokoh adalah upaya membaca kembali pemikiran tokoh masa lalu dalam realitas kekinian.
Secara umum lewat naskah monolognya, Ahda ingin mengajak masyarakat untuk berkaca pada teladan orang-orang besar di masa silam, setelah ternyata kita tak juga mendapatkan teladan itu dari orang-orang “besar” hari ini.
“Salah satu teladan yang tak juga kita dapatkan hari ini adalah satunya kata dan laku, satunya ucapan dengan perbuatan. Dan, teladan seperti itu hanya kita temukan pada tokoh-tokoh silam, seperti Sjafruddin, Tan Malaka, Sjahrir, Amir Hamzah, hingga The Sin Nio,” ungkap Ahda.
Dalam upaya pelacakan dan penelusuran sejarah para tokoh, Ahda menemui banyak kesulitan. Salah satu kesulitan yang ia alami adalah sedikitnya sumber informasi yang valid dari tokoh tersebut. Seperti saat Ahda menulis The Sin Nio”, sosok pejuang etnis Tionghoa asal Wonosobo yang terlupakan oleh sejarah. The Sin Nio adalah pejuang masa revolusi yang menjadi satu-satunya perempuan yang tergabung dalam Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18 di bawah komando Sukarno.
Dalam proses menelusuri tokoh The Sin Nio, Ahda mencari informasi hingga ke Museum Peranakan Tionghoa untuk mendapatkan salah satu kontak cucu dari The Sin Nio. Menurut pengakuannya, penulisan naskah biografi tokoh harus intens menggali sumber data yang kita perlukan.
“Dalam mengeksekusi karyanya sih sebentar, memakan waktu lama ketika kita harus riset dengan mengumpulkan dan memverifikasi data, kemudian memilah dan menguji validasi, hingga kemudian mencari konstruksi dan merelevansikan dengan kontekstual hari ini,” pungkas Ahda.
Simak obrolan kami selengkapnya di #SafariSastra KuatBaca.com EPS.08
AHDA IMRAN MELEJIT SEBAGAI PENULIS NOVEL YANG DIADAPTASI FILM #SAFARISASTRA EPS 08
https://youtu.be/bjztJg9oC5o
*********
Jurnalis : Nissa Rengganis
Editor : Jajang Yanuar
Illustrator : Fandy Dwimarjaya
Infografis : Fandy Dwimarjaya
Komentar
Belum ada komentar