top ads
Home / Telik / Sejarah / Syekh Yusuf Al Makassari, Penggerak Anti Kolonial Lintas Benua

Sejarah

  • 258

Syekh Yusuf Al Makassari, Penggerak Anti Kolonial Lintas Benua

  • August 13, 2022
Syekh Yusuf Al Makassari, Penggerak Anti Kolonial Lintas Benua

Jejak pengasingan orang berpengaruh oleh Belanda masih dapat dikunjungi hingga hari ini di Afrika Selatan. Bahkan, nama daerah tersebut juga merepresentasikan nama Makassar dalam ejaan latin, Macassar. Petilasan Syech Yusuf yang diasingkan pada tahun 1684 bersama para nelayan dan orang-orang yang dianggap pemberontak. Ia dinobatkan pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional pada tahun 1995, melalui serangkaian penelusuran jejak petilasan yang melibatkan banyak pihak, seperti Ruslan Abdulgani dan Taufik Ismail, dengan merujuk berbagai tulisan mengenai Syech Yusuf yang dituliskan cendekiawan barat, seperti B.F Matthes dan T.W Arnold.

 

 

Syekh Yusuf Al-Makassari diyakini lahir di Gowa pada 3 Juli 1626. Namun, sumber lain ada menyebut Syekh Yusuf lahir 13 Juli 1627. Syekh Yusuf disebut lahir dari pasangan Abdullah dan Aminah. Ketika lahir ia diberi nama Muhammad Yusuf. Nama tersebut diberikan oleh Raja Gowa, Sultan Alauddin, yang juga kerabat ibu Syekh Yusuf.

 

Pendidikan agama untuk Syekh Yusuf diperoleh sejak ia berusia 15 tahun di Cikoang, saat ini masuk wilayah Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Di situ, dia belajar dari Daeng Ri Tassamang, guru Kesultanan Gowa. Selain itu Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir, dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid. Sekembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa.

 

Di tahun 1644, Syekh Yusuf memulai langkah pengembaraannya. Ia bermaksud pergi ke Mekah guna melaksanakan ibadah Haji sekaligus berguru dengan ulama-ulama yang dapat ditemuinya selama perjalanan. Dikarenakan mengikuti rute pelayaran niaga masa itu, kapal yang ditumpanginya pun singgah di Banten, dimana ia berkenalan dan bersahabat dengan Pangeran Surya (kelak menjadi Sultan Ageng Tirtayasa), putra dari Sultan Mufakir Mahmud Abdul Kadir (1598-1650).

 

Dari Banten, Syekh Yusuf selanjutnya juga singgah di Aceh, dan setelah itu baru ia melanjutkan perjalanannya menuju Jazirah Arab. Di dalam pembelajarannya menimba ilmu, Syekh Yusuf kemudian menjadi murid terkat dari Ibrahim al-Kurani. Sedangkan Ibrahim al-Kurani dan Ahmad al-Qusyasyi, adalah juga guru dari Abdul Rauf Singkel (mufti Kesultanan Aceh, wafat 1690), yang kemudian berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di Nusantara.

 

Dari Aceh, Syekh Yusuf kemudian bertolak ke Gujarat, Yaman, Damaskus (Suriah) hingga akhirnya ke Mekah dan Madinah. Selama berada di Gujarat, ada dikabarkan kalau Syekh Yusuf sempat bertemu dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri yang sudah tersingkir sebagai seorang penasihat raja perempuan Aceh, Sultanah Safiyatuddin. Syekh Nuruddin Ar-Raniri adalah mufti dan juga sejarawan sekaligus sastrawan penting dalam budaya Aceh maupun Melayu abad ke-17.

 

Akan tetapi, tentang keberadaan Syekh Yusuf sewaktu di Aceh, ada pula hikayat lain yang menceritakan kalau di situlah ia sempat bertemu dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Hal ini didasarkan pada pendapat yang menyatakan bahwa Syekh Nuruddin Ar-Raniri sebenarnya meninggal dunia pada 22 Dzulhijjah 1069 H, atau 21 September 1658 M di Aceh. Dan, di masa-masa sebelum 1658 inilah Syekh Yusuf bertemu dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam persinggahannya di Aceh. Dari Syekh Nuruddin Ar-Raniri, Syekh Yusuf belajar dan mendapatkan ijazah Tarekat Qodiriyah.

 

Setelah lebih dari 20 tahun melakukan perjalanan, Syekh Yusuf berhasil menamatkan pelajaran dari banyak sekali guru. Mulai dari tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Qadiriyah, hingga Khalwatiyah yang kemudian sangat lekat dengan namanya.

 

Sepulangnya dari tanah suci, Syekh Yusuf memutuskan untuk menetap di Banten karena mengetahui Kesultanan Makassar tengah berada di tengah serangan besar-besaran dari Kompeni Belanda yang dibantu pasukan Ambon dan Bugis. Di Banten ia langsung membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa dalam menghadapi putranya sendiri yang sudah berada di bawah jerat kuasa Kompeni Belanda.

 

Di Banten, pada tahun 1670, Syekh Yusuf diangkat menjadi mufti kesultanan. Ia memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk ratusan orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Kraeng Bisai. Sedangkan setahun sebelumnya, yakni pada 21 Juni 1669, VOC bersama-sama Arung Palaka sudah berhasil menjebol basis pertahanan terakhir Sultan Hasanuddin di benteng Sombaopu, dan memutuskan untuk menghabisi pelabuhan Makassar yang menjadi pusat perdagangan di wilayah timur Nusantara.

 

Tahun pengangkatan Syekh Yusuf sebagai mufti di Banten juga bersamaan tahun wafatnya Sultan Hasanuddin, yang meninggal dalam usia sangat muda. Tepatnya pada, pada 12 Juni 1670, dalam usia 30 tahun, Sultan Hasanuddin wafat dan dimakamkan di Katangka, Gowa. Semasa hidupnya, orang-orang Belanda menyebut Sultan Hasanuddin dengan julukan “De Haantjes van Het Oosten”, Ayam Jantan dari Benua Timur.

 

Usai menaklukkan Makassar, VOC menebangi tanaman rempah-rempah yang tidak dapat diawasi. Hal ini menyebabkan sebagian orang Bugis dan Makassar terpaksa pergi meninggalkan kampung halamannya.

 

Dari Kesultanan Makassar, selain Syekh Yusuf yang angkat senjata, ada pula Kraeng Galesong yang turut berperang membantu Trunojoyo melawan Mataram dan VOC di Jawa. Akan tetapi kedua poros perlawanan ini sama-sama bisa ditumbangkan oleh VOC. Pertarungan yang awalnya berlangsung segi tiga antara Banten, Batavia, dan Mataram, akhirnya berujung pada lemahnya semua kekuatan di Jawa, terkecuali VOC Batavia.

 

Usai ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, pada tahun 1684, Belanda berhasil membawa rombongan Syekh Yusuf ke Cirebon untuk kemudian dibawa ke Batavia (Benteng). Namun, demi melihat besarnya kharisma Syekh Yusuf, muncul kekhawatiran Kompeni Belanda.

 

Maka, pada tanggal 12 september 1684 Kompeni Belanda memutuskan untuk mengasingkan Syekh Yusuf beserta rombongannya ke Ceylon (Sri Lanka). Akan tetapi, di tempat pengasingannya yang baru itu, kebesaran figur Syekh Yusuf juga tidak dapat diisolasi oleh Kompeni. Dalam waktu singkat ia banyak diikuti oleh murid-muridnya yang ternyata juga banyak terdapat di tanah Hindustan (India) dan Sri Lanka.

 

Di India, seorang sultan yang juga menaruh perhatian pada kehidupan tasawuf, Aurangzeb Alamgir (1659-1707), sangat menghormati Syekh Yusuf. Bahkan Aurangzeb pernah menyurati wakil pemerintah Belanda di Sri Lanka supaya kehormatan pribadi Tuan Syekh itu dipelihara, karena jika diganggu akan menggelisahkan umat Islam Hindustan. Alhasil, Belanda pun terpaksa harus mengupayakan lagi pemindahan tempat pengasingan bagi Syekh Yusuf.

 

Di era itu, peristiwa kejatuhan demi kejatuhan imperium di Nusantara yang diawali dari pertikaian internal, lambat laun telah menampilkan orang Belanda sebagai "pahlawan" yang pada akhirnya membawa akibat sangat jauh terhadap konkurensi politik dan perniagaan secara umum.

 

Kegiatan orang Inggris, Denmark dan Portugis, ikut berakhir hampir di segala tempat di Nusantara. Inggris yang terusir dari Banten kemudian membangun benteng di pantai barat Sumatra dekat Bengkulu, tempat dimana mereka berhasil mempertahankan kedudukannya selama 150 tahun. Sedangkan Portugis terpaksa mundur ke Timor, tempat yang sangat terpencil di kepulauan nusantara. Dan, kejatuhan berbagai otoritas muslim telah pula memancing reaksi besar di Nusantara.

 

Menurut Bernard H.M. Vlekke, seorang guru besar di bidang international relations dari Universitas Leiden dalam tulisannya Nusantara Sejarah Indonesia, akibat dari naiknya hegemoni Belanda orang-orang di era itu akhirnya mulai membicarakan "jihad" melawan "kafir". Tulisan Vlekke diterjemahkan dari buku aslinya yang terbit di tahun 1960 dengan judul Nusantara: A History of Indonesia.

 

Pada tanggal 7 Juli 1693, setelah 9 tahun berada di Ceylon, Belanda memutuskan untuk memberangkatkan Syekh Yusuf beserta 49 orang rombongannya dari Ceylon ke Kaap de Hoop (Tanjung Harapan atau sekarang Cape Town, Afrika Selatan) dengan menaiki kapal “Voetboeg”. Pada saat diberangkatkan Syekh Yusuf telah berusia 68 tahun, dan rombongannya tiba di pantai Afrika pada tanggal 2 April 1694, setelah menempuh 8 bulan 23 hari perjalanan.

 

Di selatan Afrika, Syekh Yusuf tetap memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari itu sebagai hari peringatan. Di Afrika Selatan, bahkan Nelson Mandela menyebutnya sebagai "Salah Seorang Putra Afrika Terbaik". Sedangkan bagi kultur masyarakat tradisional di Sulawesi, Syekh Yusuf disebut dengan nama Tuanta Salamaka ri Gowa, yang berarti "Tuan Guru penyelamat kita dari Gowa".

 

Syekh Yusuf wafat dan dimakamkan di Faure, Cape Town. Tetapi kemudian, atas permintaan Sultan Gowa, Sultan Abdul Djalil, tulang-belulang Syekh Yusuf dibawa kembali ke Tanah Air dan dimakamkan kembali di Lakiung, Sulawesi Selatan sekarang, pada 6 April 1705. Namun begitu, masyarakat di dua tempat itu, Macassar (Afrika) dan Lakiung, tetap yakin bahwa jasad Syekh Yusuf ada dimakamkan di masing-masing tempat tersebut sehingga pusaranya sama-sama ramai diziarahi. Dan, Kramat (kuil) Syekh Yusuf (Tuanta Salamaka) dari Kesultanan Gowa yang berada di Makassar Indonesia, adalah juga tempat yang dianggap luhur bagi komunitas muslim Afrika Selatan.

 

Di Afrika Selatan, terdapat kota kecil yang bernama Macassar. Sejarah Macasar ini terkait erat dengan penduduk yang pertama kali menetap di daerah tersebut.

Tentang keberadaanya di Afrika, disebutkan bahwa Syekh yang diasingkan oleh Belanda pada tahun 1694, datang ke daerah pinggiran-pinggiran pantai dan menjadikannya sebagai tempat peristirahatan terakhir; meskipun para pengikutnya, yang sebagian besar adalah nelayan, menganggap laut Macassar kurang menarik dan membuat mereka harus bergerak lebih jauh di sepanjang pantai ke Strand's Mosterds Bay. Setelah Syekh Yusuf meninggal, para pengikutnya kemudian menamai daerah itu dengan nama tempat kelahirannya, hanya saja mereka mengejanya dengan mengambil huruf "c" sebagai ganti "k".

 

Bagi masyarakat, khususnya di Sulawesi Selatan, nama Syekh Yusuf teramat sangat masyhur. Ia dikenal sebagai tokoh agama penyebar ajaran tarekat Khalwatiyah. Dan, untuk itu ia dikenal dengan nama Syekh Yusuf Tajul Khlawati al Makassari.

 

Mengutip dari media online Bugis Pos, ketika pada 2 April 1994 masyarakat muslim memperingati 300 tahun pendaratan Syekh Yusuf di Afrika Selatan, pihak Universitas Hasanuddin di Makassar pun menggelar seminar tentang tokoh Syekh Yusuf. Dari forum ini disimpulkan bahwa Syekh Yusuf pantas jika mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional. Dua pembicara utama dari Jakarta yang diundang waktu itu adalah Dr.H.Ruslan Abdulgani dan Taufik Ismail. Keduanya juga sama sepakat untuk pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Syekh Yusuf.

 

Taufik Ismail memberikan kesaksian bahwa pada tahun 1993 ketika bersama sejarahwan dari Aceh dan Malaysia ia berkunjung ke Afrikan Selatan, mendapati Syekh Yusuf merupakan figur yang sungguh luar biasa. Di Benua itu terhimpun informasi bahwa terdapat sekitar 400.000 jiwa kaum muslim yang mengaku keturunan Melayu.

 

Mengenai keturunan yang dimaksud itu tidak lain adalah keturunan dari para pejuang Nusantara yang diasingkan ke Afrika Selatan oleh Kompeni dan Kolonial Belanda. Dari mereka dicatat, ada keturunan Syekh Yusuf dari Makassar, Imam Abdullah dari Tidore, Sultan Ahmad dari Ternate, Said Abdurahman dari Madura, dan Raja Tambora dari Nusa Tenggara.

 

"Di antaranya, Syekh Yusuf yang paling terpandang sebagai tokoh ulama di Afrika Selatan", jelas Taufik Ismail.

 

Sedangkan Ruslan Abdulgani menuturkan, sewaktu di tahun 1968 ia berada dalam suatu kunjungan kerja sebagai Duta Besar Indonesia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ke Lusaka, ibukota Zambia, ia sempat didatangi 5 orang tokoh muslim Afrika Selatan yang mengaku sebagai keturunan Syekh Yusuf.

 

Setelah pertemuan itu, beribu tanda tanya bergolak dibenaknya tentang tokoh Syekh Yusuf. Ruslan Abdulgani pun mencari buku-buku dan dokumentasi tentang riwayat Syekh Yusuf dari Indonesia yang ternyata begitu terkenal di Afrika Selatan.

 

"Ternyata, Syekh Yusuf selain sebagai ulama, beliau juga adalah pejuang yang militan menentang kehadiran penjajah Belanda pada abad ke-17", kata Ruslan Abdulgani.

 

Dia mengakui, antara lain memperoleh informasi mengenai kehebatan Syekh Yusuf sebagai ulama maupun pejuang melalui buku berjudul The Preaching of Islam yang ditulis oleh Prof. T.W Arnold tahun 1931.



Selain itu, pada buku berjudul ‘Syekh Yusuf, Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang’ yang ditulis oleh Prof.Dr. Abu Hamid, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 1994, dalam uraian tentang naskah-naskah menyangkut Syekh Yusuf yang pernah diterbitkan sejak tahun 1885 hingga tahun 1987 didapati berjumlah sebanyak 30 buah buku. Itu tidak termasuk buku The Preaching of Islam.

 

Dari berbagai karya pustaka tentang Syekh Yusuf, dimulai dari tulisan B.F Matthes di tahun 1885 berjudul Eenige Makassarche en Boegineshe Legenden, semua melukiskan adanya perlawanan gigih yang dilakukan oleh Syekh Yusuf terhadap pemerintahan Belanda di Indonesia pada abad ke-17. Tetapi, ide untuk mengokohkan Syekh Yusuf sebagai seorang Pahlawan, baru muncul pada tahun 1956, melalui tulisan Gaffar Ismail di harian Sulawesi Bergolak dengan judul Syech Jusuf Pahlawan Asia jang Berkaliber Internasional.

 

Kemudian, ide untuk mengukuhkan Syekh Yusuf sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, muncul pula dengan jelas dalam tulisan H.D. Mangemba yang dimuat dalam Majalah Lontara No.6 Tahun 1981 terbitan Universitas Hasanuddin, di bawah judul: 5 Tokoh Sulawesi Selatan Bertarung di Pulau Jawa Abad XVII.

 

Ide tentang mempahlawankan Syekh Yusuf juga bergaung lagi melalui hasil wawancara yang dimuat pada suratkabar Mingguan Gema, Ujungpandang, dalam rangka menyambut Hari Pahlawan 10 Nopember di tahun 1988. Dari situ, menyusul kemudian pengadaan seminar di Ujungpandang dan di Jakarta pada tahun 1994, yakni mengenai Syekh Yusuf yang dianggap layak mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

 

Syekh Yusuf dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 071/TK/Tahun 1995 tertanggal 7 Agustus 1995. Tidak cuma itu, pada 2005, Syekh Yusuf juga diberi penghargaan Oliver Thambo, yakni penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki, kepada tiga ahli warisnya, dan disaksikan Wakil Presiden, Jusuf Kalla. (*)

Jurnalis :Bayu Widiyatmoko
Editor :Jajang Yanuar
Illustrator :
Infografis :
side ads
side ads