top ads
Home / Telik / Sejarah / Sunda, dari Galuh ke Pakwan Pajajaran - [Bagian 01]

Sejarah

  • 162

Sunda, dari Galuh ke Pakwan Pajajaran - [Bagian 01]

  • January 05, 2023
Sunda, dari Galuh ke Pakwan Pajajaran - [Bagian 01]

Babak ini menceritakan kisah pengungsian kerabat keraton Majapahit ke bumi Pasundan setelah Majapahit dikalahkan oleh pasukan keling utusan Raja Girindrawardhana. Diantara para pengungsian itu ada yang menjadi penguasa daerah Banyumas dan beberapa generasi berikutnya menjadi penguasa Sunda-Galuh.

 

 

Melewati pertengahan periode abad 15, Majapahit berhasil dikalahkan oleh Keling yang diperintah oleh Raja Girindrawardhana. Prasasti Petak dan Trailokyapuri menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, yang runtuh akibat serangan tentara Keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 Masehi. Keterangan ini sesuai dengan Pararaton. Sejak itu, Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan.

 

Kekuasaan Kertabhumi (Brawijya V) berakhir sebagaimana diberitakan di dalam Pararaton yang dicatat melalui candrasengkala sirna-ilang-kertaning-bhumi. Kejatuhan Prabu Kertabumi disebutkan karena raja Kadiri yang dendam setelah ayahnya, Suraprabawa atau Bhre Pandanalas, diturunkan dari tahta Majapahit oleh Bhre Kertabumi.

 

Pasca kejatuhan Bhre Kertabhumi, terdapat suatu roman tentang pengungsi dari kerabat keraton Majapahit yang akhirnya sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden (Rahadiyan) Baribin, saudara sebapak Bhre Kertabumi. Selain diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala, ia bahkan dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah menjadi raja daerah di Pasir Luhur (daerah Banyumas sekarang).

 

Keturunan Raden Baribin dan Ratna Ayu Kencana inilah yang akhirnya menjadi leluhur penguasa Banyumas. Disamping itu, Dewa Niskala sendiri juga menikah dengan salah seorang wanita pengungsi.

 

Menurut hikayat tradisional Sunda, Prabu Dewa Niskala menikahi Socainten, salah seorang kerabat keraton Majapahit yang sebenarnya telah bertunangan. Sedangkan menurut aturan "estri larangan ti kaluaran", seorang wanita yang sudah bertunangan dan tunangannya belum memutuskan hubungan, serta nasib tunangannya belum diketahui apakah masih hidup atau sudah mati, tidak boleh dinikahi. Selain itu, kerabat keraton Sunda-Galuh juga dilarang menikahi kerabat kraton Majapahit sejak terjadinya peristiwa Palagan Bubat.

 

Akibat dari dua pelanggaran adat yang berat ini, Susuktunggal menuntut pengunduran diri Dewa Niskala dan mengancam untuk memutuskan hubungan. Bahkan Susuktunggal berniat menyerbu ke Kawali.

 

Pada tahun 1482, diadakan perundingan para tetua Sunda-Galuh di Batu Layang untuk menghindarkan perselisihan diantara mereka. Perundingan tersebut menghasilkan keputusan bahwa kedua raja akan mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada Jayadewata.

 

Maka, Dewa Niskala pun menyerahkan tahta Galuh kepada putranya, Jayadewata. Begitu pula Prabu Susuktunggal, menyerahkan tahta Sunda kepada Jayadewata, yang merupakan menantunya setelah menikahi Nay Kentring Manik.

 

Di dalam beberapa literatur Sunda, masa pemerintahan Susuktunggal dan Dewa Niskala ini sering tidak disebutkan. Pertama, karena keduanya hanya menjadi raja wilayah setingkat raja muda di wilayah masing-masing, bukan setingkat Maharaja. Kedua, karena skandal yang dilakukan oleh Dewa Niskala. Sehingga sering disebutkan, setelah masa pemerintahan Wastu Kencana, langsung berlanjut ke masa pemerintahan Prabu Siliwangi.

 

Selain Kentring Manik Mayang Sunda (putri Prabu Susuktunggal), Jayadewata juga beristrikan Ambetkasih atau Ngabetkasih (istri pertama) sepupunya sendiri, yang merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastu Kancana dari Mayangsari, yang menjadi raja muda di Surantaka (Sekitar Majalengka sekarang). Dengan adanya pernikahan ini ia ditunjuk untuk menjadi pengganti Ki Gedeng Sindangkasih sebagai raja muda Surantaka. Dari Ambetkasih Jayadewata tidak mendapat keturunan.

 

Jayadewata lalu menikah dengan istri keduanya, Subanglarang atau Subangkrajang putri Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yang didapatkannya melalui sayembara setelah mengalahkan Amuk Murugul. Ki Gedeng Tapa sendiri adalah putra Ki Ageng Kasmaya, sehingga Subanglarang masih terhitung sepupunya.

 

Dengan pernikahan ini, Jayadewata juga ditunjuk menjadi raja muda Singapura, untuk menggantikan Ki Gedeng Tapa. Sedangkan Kentring Manik Mayang Sunda merupakan istri ketiga Jayadewata dan juga adik dari Amuk Murugul.

 

Keturunan Jayadewata dengan Kentring Manik Mayang Sunda kemudian dianggap sebagai yang paling sah untuk menduduki tahta Pajajaran. Selain itu, Jayadewata menikah pula dengan istri keempatnya, Nyai Aciputih putri Ki Dampu Awang, seorang panglima perang dari Cina yang menjadi nahkoda kapal Laksamana Cheng Ho.



Sebagai penguasa baru, Jayadewata kemudian dinobatkan untuk kedua kalinya, yakni sebagai raja Sunda-Galuh, dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu (H)Aji di Pakwan Pajajaran. Sri Sang Ratu Dewata mengambil gelar buyutnya, Sri Baduga Maharaja Lingga Bumi, untuk mengenang keberanian buyutnya yang gugur dalam peristiwa Palagan Bubat. Sedangkan nama Siliwangi diberikan karena ia pun dianggap sebagai penganti (silih) Maharaja Prabu Niskala Wastu Kancana yang juga bergelar Prabu Wangi. Sebelumnya, ketika dinobatkan sebagai raja Galuh, Jayadewata naik tahta dengan gelar Prabu Guru Dewapranata.

 

Sewaktu lahir, oleh kakeknya, Prabu Niskala Watu Kancana, Jayadewata diberi nama Pamanah Rasa. Sedangkan nama Jayadewata merupakan nama pemberian ayahnya, Dewa Niskala. Pemberian nama oleh orang tua dan kakek nampaknya merupakan suatu adat yang umum di Jawa Barat pada masa itu. Seperti juga nama Anggalarang dan Wangisuta, yang keduanya merupakan nama dari Niskala Watu Kancana. Atau, Rakeyan Santang dan Walangsungsang, yang keduanya merupakan nama dari orang yang sama yaitu Pangeran Cakrabuana, perintis Kerajaan Cirebon.

 

Masa pemerintahan Jayadewata dan penerusnya lebih dikenal sebagai masa pemerintahan raja-raja Pajajaran. Menurut salah satu penelitian, hal ini terjadi setelah Jayadewata membangun beberapa kraton yang dibangun secara berjajar di wilayah Pakwan. Pada mulanya kraton dibangun oleh Prabu Susuktunggal yang kemudian diteruskan oleh Jayadewata.

 

Untuk membedakan dengan kerajaan Sunda-Galuh yang sebelumnya juga beribukota di Pakwan, kerajaan ini pun disebut sebagai Pakwan Pajajaran. Kraton-kraton tersebut adalah Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Sedangkan menurut legenda lain, kelima kraton tersebut sesungguhnya merupakan satu kesatuan bangunan yang berada diantara dua sungai yang mengalir sejajar dan sama besar, yakni Cihaliwung (Ciliwung) dan Cisadane. Karenanya, tidak mustahil apabila nama Pajajaran dihubungkan pula dengan letak istana raja yang berada di antara dua buah sungai yang sejajar.

 

Meskipun bukan pertama kalinya ibukota Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, tetapi kali ini pemindahan ibukota Sunda dari Kawali ke Pakwan Pajajaran diduga juga sebagai antisipasi atas menguatnya pengaruh Demak dan Cirebon. (*)

Jurnalis :Bayu Widiyatmoko
Editor :Jajang Yanuar
Illustrator :Priyana Nur Hasanah
Infografis :Priyana Nur Hasanah
side ads
side ads