Pakwan Pajajaran semakin tersudut dengan semakin kecilnya daerah yang mengirimkan upeti, terlebih setelah Prabu Siliwangi mangkat. Situasi ini mendorong Pajajaran melakukan perjanjian dengan Portugis, dan yang paling signifikan dalam perjanjian itu diberikannya ijin mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Di titik inilah Demak melakukan serangan besar-besaran ke Pajajaran, karena aliansi Pajajaran dan Portugis mengancam jalur perdagangan.
Pada tahun 1521, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi mangkat. Surawisesa pun naik tahta Pajajaran sepeninggal ayahnya. Semasa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1481-1521), kerajaan-kerajaan yang masih mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi (Pleyte, 1911:172).
Setelah mangkatnya Prabu Siliwangi, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang memerintah di Cirebon Syarif Hidayatullah, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau bernama pula Haji Abdullah Iman), yang merupakan kakak beda ibu dengan Prabu Surawisesa.
“Penjajakan kedua” antara Pajajaran dengan Portugis baru mendapatkan balasannya di tahun 1522, dengan datangnya utusan Portugis yang dipimpin oleh Henrique de Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakwan. Dalam kunjungan itu, disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan, akan tetapi sumber Portugis yang kemudian dikutip oleh Hageman menyebutkan, “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu).
Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu, tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan sesuai dengan permintaan dari pihak Sunda. Kemudian, pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).
Ketika Henrique Leme mengunjungi Sunda, kota itu disebutkan mempunyai, menurut kepastian orang, 50.000 penduduk dan kerajaan itu mempunyai 100.000 orang tentara. Tetapi oleh karena peperangan dengan orang Mor, jumlah tersebut sangat berkurang. Pergantian mahkota turun dari bapak kepada anak laki-laki. Orang sangat bangga memakai senjata-senjata yang diukir permai. Hasil terutama negeri itu adalah lada, yang jumlahnya setiap tahun lebih dari tiga puluh ribu sentenar. Negeri itu sangat kaya dengan bermacam-macam makanan. Penduduknya tidak begitu suka kepada peperangan, tetapi hidupnya ditekankan kepada penyembahan dewa-dewa mereka. Mereka banyak mempunyai kuil-kuil untuk menyembah dewa-dewa itu. Mereka itu musuh-musuh besar orang-orang Mor, terlebih setelah mereka ditaklukkan oleh seorang Sangue de Pate de Dama.
Adanya perjanjian antara Pajajaran-Portugis menyulut reaksi keras Sultan Trenggono (Sultan Demak III). Setelah Portugis berhasil menguasai Selat Malaka, yang menjadi pintu antara Samudera Hindia dengan Laut Cina Selatan melalui pendudukan Malaka dan Pasai, maka apabila Selat Sunda yang kemudian menjadi satu-satunya pintu keluar dari Laut Jawa menuju Samudera Hindia juga dapat dikuasai oleh Portugis akan mengakibatkan terkuncinya seluruh jalur perdagangan di Nusantara dan Cina ke dalam satu monopoli. Dan, perniagaan dunia yang telah terhubung berabad-abad lamanya dari Laut Cina, Samudera Hindia, Teluk Persia, hingga ke Madagaskar dan Al Jazair, tentu bakal mengalami blokade yang telak dikarenakan kebijakan politik Portugis berjalan di atas kebencian terhadap orang dan pemerintahan muslim.
Setelah lima tahun peperangan, pada tahun 1528, Cirebon yang didukung sepenuhnya oleh armada Demak berhasil mengalahkan kerajaan Galuh (Pakwan). Pasukan meriam Demak datang tepat pada saat pasukan Cirebon mulai terdesak mundur. Tentara Galuh (Pakwan) yang hampir unggul tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar, menyemburkan kukus ireng, bersuara seperti guntur dan memuntahkan logam panas".
Sementara itu, di kerajaan Galuh, Ujang Meni yang bergelar Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh berusaha mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Cirebon. Namun, karena kekuatan yang tidak seimbang, ia bersama puteranya yang bernama Ujang Ngekel —yang kemudian naik tahta Galuh dengan gelar Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608), akhirnya bersedia memeluk Islam dan mengakui kekuasaan Cirebon (Demak).
Di tahun 1535, Surawisesa meninggal dunia. Menurut kisah, kekalahan Pajajaran dari Cirebon telah menyebabkan Surawisesa masygul hatinya karena selalu teringat akan kebesaran ayahandanya. Untuk menghormati dan mengenang ayahandanya ia membuat prasasti di Batu Tulis sebagai tanda puja kepada ayahnya. Sepeninggal Surawisesa, tahta Pajajaran diisi oleh putranya, Ratu Dewata.
Di masa pemerintahan Ratu Dewata, pusat kerajaan sempat diserang oleh pasukan tak dikenal yang menyebabkan gugurnya panglima perang Pajajaran, Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. Meskipun serangan tersebut gagal karena kokohnya benteng Pakwan yang dikelilingi parit, tetapi daerah sekitarnya berhasil diduduki oleh pasukan tersebut.
Memasuki pertengahan abad 16, pengaruh Islam mulai melunturkan dominasi Kerajaan Sunda di Pakwan Pajajaran. Melalui Cirebon dan Banten sebuah emporium baru muncul dan mengambilalih kekayaan niaga di Selat Sunda. (*)