Raden Mas Said atau Mangkunegara I tercatat sebagai panglima sekaligus pemimpin yang mampu membangun kekuatan milisi tangguh. Jika Kompeni Belanda memandang Susuhunan sebagai raja pertama dan Sultan sebagai raja kedua, Mangkunegara diposisikan sebagai raja ketiga Jawa. Itu tak lain karena sejak dini Mangkunegara memposisikan diri sebagai "raja kecil", setelah melakukan serangkaian perlawanan terhadap hasil dari perjanjian Giyanti. Karena itu, dalam cerita rakyat Raden Mas Said dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa. Ia sebenarnya tengah melakukan gerakan mengambil politik sharing of power, yang akhirnya dikabulkan melalui Perjanjian Salatiga. VOC mempermudah keinginan Mangkunegara karena ia semakin sulit keluar dari krisis akibat konflik.
Perang besar terhadap Mangkunegara pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora. Pasukan Mangkunegara bertempur melawan detasemen Kompeni Belanda, yang maju di bawah pimpinan Kapiten Van Der Poll dan Kapiten Beiman.
Dalam pertempuran ini pasukan Belanda juga didukung oleh militer dari Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Patih Danurejo dan Raden Ronggo beserta tentara Mataram Surakarta. Pasukan gabungan ini berhasil mengejar Mangkunegara di hutan Sitakepyak.
Mangkunegara mencatat, perang ini terjadi pada hari Senin Legi, bulan Syuro Tahun Wau 1681 (Jawa) atau 1756 Masehi. Pasukan Mangkunegara berhasil dikepung oleh sekitar 200 soldadu Kompeni, 400 pasukan Kesultanan Yogyakarta dan 400 pasukan Surakarta.
Akan tetapi, pasukan gabungan ini tidak berhasil meringkus Mangkunegara. Malahan, berdasarkan catatan Mangkunegara, 85 orang pasukan musuh telah dibunuh sedangkan ia hanya kehilangan 15 orang prajuritnya. Dan, Mangkunegara juga menceritakan bahwa dalam pertempuran ini ia berhasil “menyambar nyawa” Kapten Van Der Poll, yaitu memenggal kepalanya. Lalu, dengan tangan kirinya Mangkunegara menyerahkan kepala itu kepada Mbok Ajeng Wiyah (salah seorang selirnya) sebagai tanda cinta. Catatan Mangkunegara itu selaras dengan laporan De Jonge, “In een bosch, idcht bij Blora, versloeg hij een detachement compagnies troepen, waar van de aanvoeder sneuvelde” (Di sebuah hutan dekat Blora, ia membinasakan satu detasemen pasukan Kompeni, komandannya pun mati di peperangan).
Sebagai pusat dari basis komando pasukannya, pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa) atau 1756 Masehi, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe. Di tempat inilah istananya kelak dikenal sebagai Kraton Mangkunegaran.
Usai keluar dari pengepungan, Mangkunegara lalu memimpin pasukannya untuk balas menyerang benteng Kompeni dan kraton di Yogyakarta. Ia mencatat peristiwa bersejarah ini terjadi pada hari Kamis, tanggal 3 Sapar Tahun Jumakir 1682 (Jawa) atau 1757 Masehi.
Peristiwa penyerangan ke Yogya itu juga dipicu oleh kelakuan tentara Kompeni yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa, sehingga Mangkuneraga balik menyerang pasukan Kompeni dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukannya mendekat ke Kraton Yogyakarta.
Mangkunegara menyerang benteng Kompeni Belanda yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Kraton Yogyakarta. Lima orang tentara Kompeni tewas, sedangkan ratusan lainnya melarikan diri ke dalam Kraton Yogyakarta.
Selanjutnya, pasukan Mangkunegara meringsek ke area Kraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh dan Mangkunegara baru menarik mundur pasukannya menjelang malam.
Serbuan Mangkunegara ke Kraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati, kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara. Kompeni, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegara ke meja perundingan, juga menjanjikan hadiah 1.000 real bagi siapa saja yang dapat membunuh Mangkunegara. Namun tak seorang pun dapat menjamah Mangkunegara.
Melihat kenyataan itu, Nicholas Hartingh, penguasa Kompeni di Semarang, mendesak Susuhunan Paku Buwono III untuk pergi meminta kesudian Mangkunegara menerima meja perundingan. Susuhunan pun mengirimkan utusannya menemui Mangkunegara yang terhitung masih saudara sepupunya. Mangkunegara menyatakan bersedia untuk berunding, tetapi dengan syarat tanpa melibatkan Kompeni.
Dengan dikawal 120 orang prajurit Mangkunegara pun datang menemui Paku Buwono III di Kraton Surakarta. Susuhunan kemudian memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real bagi prajurit Mangkunegara.
Setelah itu, berlangsung lagi pertemuan yang kedua di Desa Jemblung, Wonogiri, dimana Susuhunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Dalam kesempatan ini, konon Susuhunan meminta Mangkunegara agar mau membimbingnya. “Jika Kangmas mengasihi saya, janganlah Kangmas pergi lagi” , kata Paku Buwono III, sambil merangkul Mangkunegara. “Bimbinglah saya dan menetaplah di nagari Solo. Mari kita pulang sama-sama ke nagari Solo” . Ratusan prajurit menitikkan air mata menyaksikan pertemuan dua pembesar Mataram itu.
Akhirnya sebuah perjanjian dilangsungkan di Salatiga, pada 17 Maret 1757. Perjanjian ini merupakan solusi untuk mengakhiri peperangan di Jawa. Sebab, Mangkunegara tidak mau menyerah kepada salah satu dari ketiganya ataupun kepada semuanya.
Ketika VOC menyarankan untuk menyerah kepada salah satu dari dua penguasa (Surakarta dan Yogyakarta), Mangkunegara malah memberi tekanan agar Mataram dibagi sekalian menjadi tiga kekuasaan. Yang artinya, sekali lagi Mataram harus mengalami palihan nagari.
VOC melihat peperangan antar sesama Mataram kali ini tidak menghasilkan pemenang yang unggul. Gabungan tiga kekuatan ternyata tidak mampu untuk mengalahkan Mangkunegara. Begitu pula sebaliknya, Mangkunegara juga tidak dapat mengalahkan ketiganya bersama-sama.
Sementara itu, demi mengamankan kantong serta hegemoni yang sudah diraihnya, VOC yang semakin terjepit mulai kesulitan untuk keluar dari krisis akibat konflik. Sehingga, VOC Batavia pun kembali mendekatkan diri ke jalan perundingan.
Pihak-pihak yang kemudian hadir untuk menandatangani Perjanjian Salatiga adalah Mangkunegara, Kasunanan Surakarta, VOC, dan Kesultanan Yogyakarta yang diwakili oleh Patih Danureja. Perjanjian yang dilaksanakan di gedung VOC (sekarang digunakan sebagai kantor Walikota Kota Salatiga) ini membawa penetapan Mangkunegara sebagai penguasa Kadipaten Mangkunegaran, dan diperolehnya separuh dari wilayah Surakarta (4000 karya). Wilayah ini mencakup daerah yang sekarang termasuk Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, serta Ngawen sebagai eksklave Mangkunegara di wilayah Yogyakarta. Selain itu, Mangkunegara juga diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri.
Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman atau penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni. Secara sadar, sejak dini Mangkunegara memposisikan dirinya sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa yang ke-3".
Demikian dalam kenyataannya, Kompeni pun memperlakukan Mangkunegara sebagai raja yang ketiga di dalam kultur Jawa, selain Susuhunan sebagai raja pertama dan Sultan sebagai raja kedua. Kedudukannya sebagai penguasa dari dinasti Mataram sama sejajar dengan Susuhunan ataupun Sultan.
Namun demikian, penguasa wilayah Mangkunegaran tidak berhak menyandang gelar Sunan atau Sultan, dan hanya berhak atas gelar Pangeran Adipati. Secara formal penguasa Mangkunegaran juga bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha.
Sepanjang masa hidupnya, Raden Mas Said berperang selama 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, yaitu antara tahun 1743-1752. Namun, Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang berhasil membelah tlatah Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh Mas Said karena telah memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendiri memimpin pasukan melawan dua kerajaan milik Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, Pamannya sekaligus mertua Beliau yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kompeni (VOC), selama tahun 1752-1757. Dalam kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkunegara melakukan pertempuran tidak kurang sebanyak 250 kali. Karena itu, dalam cerita rakyat Raden Mas Said dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.
Di tahun 1795, setelah bertahta selama 40 tahun, KGPAA Mangkunegara I wafat. Semasa perjuangannya, ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan militan. Keunggulannya dalam strategi perang bukan hanya dipuji oleh pengikutnya, melainkan juga sangat disegani lawan-lawannya. Gubernur Direktur Jawa yang berkuasa ketika itu, Baron van Hohendorff, memuji kehebatan Mangkunegara. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman,” tutur Hohendorff.
Selama bertahta, Mangkunegara membangun kekuasaan militer terbesar di antara tiga kerajaan keturunan Mataram. Jumlah pasukannya mencapai 4.279 tentara reguler. Dan, diantara pasukannya itu terdapat prajurit-prajurit wanita, yang terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda).
Prajurit wanita itu bahkan diikutkan dalam berbagai pertempuran sewaktu ia masih memberontak melawan Susuhunan, Sultan dan Kompeni. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa untuk dapat mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Selain itu, ia juga menugaskan seorang sekretaris wanita untuk mencatat kejadian-kejadian di peperangan. (*)