Kuatbaca
18 May 2023 18:51
Di tengah estafet perang yang terus bergulir di wilayah Hindia Timur, di dalam negeri Belanda tengah menghadapi ancaman besar. Bahkan pergolakan itu sudah terjadi sejak abad pertengahan, yang dikenal sebagai Perang Delapan Puluh Tahun atau Pemberontakan Belanda (1566–1648) yang merupakan pemberontakan Tujuh belas Provinsi terhadap raja Spanyol kala itu. Kemampuan Belanda dalam mengatasi konflik dan peperangan harus diakui memang melebihi kepandaian raja-raja dan semua ningrat di Nusantara maupun Eropa.
Nusantara di abad 19, yakni era 1800-an, kepulauan yang waktu itu diklaim sebagai Hindia Timur mengalami pergolakan tak habis-habis. Pertempuran pecah sambung-menyambung, dan seakan menjadi era mencolok bagi perang abadi melawan dominasi Belanda.
Usai dibubarkannya VOC, tahun 1800-an merupakan masa dimulainya era kolonial tumbuh bersama dengan percik-percik perlawanan yang sesungguhnya juga merupakan estafet dari abad-abad sebelumnya. Raja-raja di Nusantara yang tunduk pada Belanda tidak serta merta diikuti dengan takluknya pemimpin-pemimpin rakyat yang lain.
Di Ambon (1817), Pattimura menyulut api perlawanan. Dan, di bagian lain kepulauan yang jauh terpisah, menyala pula Perang Paderi dari Minang.
Belum lagi redup Perang Paderi (1803-1837), menyala Perang Diponegoro (1825-1830) dengan gerilya-gerilya yang menyapu hampir seluruh Jawa wilayah tengah dan timur. Sementara itu, di bagian selatan Sulawesi, Bone berhasil menggerus wilayah pendudukan Belanda yang mengakibatkan perang-perang sporadis setelah Belanda berhasil mendesak Bone (1859-1860).
Di Aceh (1873-1913), pijar-pijar perlawanan semesta juga tidak pernah padam dan justru makin hebat meski ekspedisi dibawah Karel van der Heijden sudah membakar habis ratusan desa. Getapi di abad ini, Aceh menggelontorkan pahlawan-pahlawan yang seakan tak terhitung lagi jumlahnya. Mereka berjatuhan namun juga tumbuh bermekaran. Makin diterjang makin menyala, silih berganti.
Di Bali (1848-1850), raja-raja di Badung, Klungkung, Karangasem dan Buleleng menandatangani perjanjian yang mengakui dominasi Belanda. Akan tetapi, raja-raja di Buleleng dan Karangasem kemudian juga menolak untuk mengesahkan perjanjiannya itu dengan Belanda. Akibatnya, pasukan-pasukan Hindia Belanda menyerang Buleleng, dan kraton di Singaraja dihancurkan. Meski demikian perlawanan Buleleng tetap berkobar dan tidak berakhir kecuali dengan puputan.
Di antara pertempuran-pertempuran yang bersambungan itu, kemampuan Belanda dalam mengatasi konflik dan peperangan harus diakui memang melebihi kepandaian raja-raja dan semua ningrat di Nusantara maupun Eropa. Di tengah estafet perang yang terus bergulir di wilayah Hindia Timur, Belanda sesungguhnya juga tengah menghadapi ancaman besar di kampung halamannya sendiri. Revolusi Prancis yang mengusung semboyan Liberte, Egalite, Fraternite, berhasil menyulut bara nyaris ke seluruh wilayah di Eropa, termasuk sebagian orang-orang Belanda yang bersedia menggulingkan pemerintahan di negerinya sendiri.
Akan tetapi, dalam kurun waktu yang amat panjang, pemimpin-pemimpin Belanda mampu menyelesaikan semua tantangan, ancaman, gangguan dan hambatan seolah tanpa kepayahan yang berarti. Padahal, di era yang sama ketika menghadapi berbagai perang yang mengancam negerinya, di Nusantara, Kesultanan Aceh, Banten, Mataram, Makassar, dan sultan-sultan di Maluku sedang menapaki masa keemasannya.
Dulu di masa-masa awal memulai kedaulatan di negerinya sendiri, dipimpin oleh Willem van Oranje, Belanda menghadapi Perang Delapan Puluh Tahun. Perang hebat yang legendaris ini berhasil membuahkan kemerdekaan bagi Belanda dari Spanyol. Perjuangan Willem, yang awalnya melayani tahta Spanyol, kemudian diabadikan menjadi lagu kebangsaan Kerajaan Belanda, berjudul Het Wilhelmus.
Di masa perang kemerdekaan melawan Spanyol, Belanda mendapat keuntungan luar biasa dari Aceh yang menerbitkan surat rekomendasi guna pembukaan hubungan diplomatik dan perdagangan bagi seluruh negeri-negeri muslim yang menjadi sekutu Aceh, termasuk juga dengan wilayah-wilayah yang bernaung di bawah Turki Usmani. Sultan Aceh bahkan mengirim utusan langsung ke Belanda untuk menyaksikan sendiri perlawanan Willem dalam membebaskan negerinya dari kuasa Spanyol.
Di satu sisi Aceh tengah menghadapi Portugal di Selat Malaka, sedangkan antara Portugal dan Spanyol di Eropa, keduanya telah disatukan dalam nama Holy Roman Empire. Melalui Perjanjian Tordesillas (1494) yang diratifikasi oleh Paus Julius II, dunia dibagi menurut kepemilikan eksklusif dibawah dua kuasa antara Portugal dan Spanyol. Dan, bersisian dengan itu, di kampung halamannya sendiri, Katolik Roma menerbitkan fatwa kafir bagi orang-orang Protestan yang kebanyakan bermukim di Belanda dan sedang melawan Spanyol, demikian pula kepada orang-orang Calvinis yang berkembang di Inggris. Maka, siapapun yang melawan Portugal atau Spanyol dimanapun kekuasaannya berada, akan berada di paket yang sama dalam menghadapi Paus dan pihak penandatangan Plakat Tordesillas.
Perang Delapan Puluh Tahun atau Pemberontakan Belanda (1566–1648) adalah pemberontakan Tujuh belas Provinsi terhadap raja Spanyol. Perang besar di Eropa ini sesungguhnya terbagi dalam beberapa tahapan. Awalnya, Spanyol berhasil meredam pemberontakan provinsi-provinsi Belanda tersebut, tetapi pada tahun 1572, pihak pemberontak berhasil menguasai Brielle, dan pemberontakan kembali merebak. Provinsi-provinsi di utara saling bergabung, yang awalnya hanya sebagai kekuatan politik secara de facto, namun dapat berdiri secara resmi pada tahun 1648 sebagai Republik Belanda.
Asal-usul Perang Delapan Puluh Tahun sesungguhnya merupakan perkara yang rumit, dan telah menjadi sumber perselisihan di antara para sejarawan selama berabad-abad. Kaum Habsburg Belanda muncul sebagai hasil dari perluasan wilayah Negara Burgundi pada abad ke-14 dan ke-15. Setelah kepunahan negara Burgundi pada tahun 1477/1482, tanah ini diwariskan oleh Wangsa Habsburg, dimana Charles V menjadi Raja Spanyol sekaligus Kaisar Romawi Suci (Holy Roman Empire).
Sambil menaklukkan dan menggabungkan sisa dari apa yang kemudian menjadi "Tujuh Belas Provinsi" selama Perang Guelders (1502–1543), dan berusaha untuk menempa serta memusatkan wilayah yang berbeda-beda menjadi satu entitas politik, Charles V bercita-cita untuk melawan Reformasi Protestan dan mempertahankan semua miliknya sebagaimana ketaatan kepada Gereja Katolik.
Raja Philip II dari Spanyol, dalam kapasitasnya sebagai penguasa Habsburg Belanda, terus melanjutkan kebijakan ayahnya, Charles V, yang anti bid'ah dan sangat sentralistik. Hal inipun menyebabkan perlawanan yang semakin meningkat di kalangan bangsawan ataupun penduduk moderat (baik Katolik maupun yang berbeda pendapat) di Belanda.
Suasana perlawanan pertama-tama berujung pada protes secara damai, tetapi pada musim panas 1566 meletus protes keras oleh kaum Calvinis, yang dikenal sebagai kemarahan ikonoklastik, atau dalam bahasa Belanda: Beeldenstorm, di seluruh Belanda. Gubernur Habsburg Belanda, Margaret dari Parma, serta otoritas di tingkat yang lebih rendah, takut kalau bakal pecah pemberontakan sehingga ia memberikan kelonggaran lebih lanjut kepada para Calvinis, seperti menunjuk gereja tertentu untuk pemujaan bagi kaum Calvinis. Akan tetapi, di bulan Desember 1566 dan awal tahun 1567, terjadi pertempuran pertama antara para pemberongak Calvinis dengan pasukan pemerintah Habsburg. Peristiwa ini lantas memulai apa yang kemudian dikenal sebagai Perang Delapan Puluh Tahun.
Perang Delapan Puluh Tahun atau Pemberontakan Belanda (Nederlandse Opstand) di sekitar kurun 1566/1568–1648, adalah sebuah konflik bersenjata di Habsburg Belanda yang terjadi antar berbagai kelompok pemberontak melawan rezim Spanyol. Yang jadi pemicu perang termasuk soal reformasi, sentralisasi, perpajakan, serta hak istimewa kaum bangsawan dan penguasaan kota.
Pada fase awal, Philip II dari Spanyol, yang juga bertindak sebagai penguasa Belanda, mengerahkan pasukannya dan mampu mendapatkan lagi kendali atas sebagian besar wilayah yang dikuasai pemberontak. Namun, pemberontakan yang ternyata juga meluas di dalam tubuh tentara Spanyol, akhirnya menyebabkan menjalarnya pemberontakan umum.
Di bawah kepemimpinan Willem I yang diasingkan, provinsi-provinsi yang didominasi Katolik dan Protestan berusaha membangun perdamaian agama sambil bersama-sama menentang rezim raja (Phillip II) melalui Pasifikasi Ghent, namun pemberontakan umum masih gagal mempertahankan dirinya sendiri. Meski Gubernur Spanyol Belanda dan Jenderal untuk Spanyol, Adipati Parma (Duke of Parma), sukses secara militer dan diplomatik, Persatuan Utrecht (aliansi melawan Spanyol) tetap dapat melanjutkan perlawanannya, dan memproklamasikan kemerdekaan melalui Act of Abjuration di tahun 1581, lalu mendirikan Republik Belanda yang didominasi kaum Protestan pada tahun 1588. (*)
Jurnalis : Bayu Widiyatmoko
Editor : Jajang Yanuar
Illustrator : Rahma Monika
Infografis : Rahma Monika
Komentar
Belum ada komentar