Kuatbaca
04 March 2023 15:00
Dalih penjajahan untuk melakukan misi pemberadaban menyebabkan negara terjajah harus dianggap tidak memiliki kebudayaan, tidak berilmu pengetahuan, tidak berperadaban, dan tidak memiliki sejarah. Bahkan, sejarah negara terjajah dianggap baru dimulai bersamaan dengan datangnya masa penjajahan. Bangsa penjajah beranggapan bahwa merekalah yang akan membawa negara terjajah dari kegelapan menuju cahaya dan dari tiada menuju ada. Apakah benar demikian?
Studi ketimuran, atau biasa dikenal dengan istilah orientalisme, yang lahir dan mencapai kematangannya melalui imperialisme Eropa telah menempatkan Barat sebagai ego yang menjadi subjek, dan menganggap non-Barat sebagai the others yang menjadi objek. Dalam hal ini, garis permulaan orientalisme bertolak dari pandangan ego Eropa sebagai subjek pengkaji terhadap the others.
Dalam posisinya sebagai subjek pengkaji, muncullah kompleks superioritas dalam diri ego Eropa. Sedangkan di luar itu, akibat posisinya sebagai objek yang dikaji, terjadi pula pemarjinalan terhadap diri the others atau non-Eropa.
Melalui imperialisme yang melejit di awal abad ke-19, kemudian dikemas sebagai mission civilisatrice atau misi pemberadaban, Eropa menjarah tanah jajahan dan memperlakukan manusia-manusia terjajah sebagai sosok yang seolah layak dicampakkan dan “dibinatangkan”. Imperialisme memandang tubuh terjajah sebagai objek kepuasan dan ejekan.
Si terjajah diberi peran wadag, liar, instingtif, dan kasar sehingga terbuka bagi penguasaan dan dapat dipergunakan untuk berbagai eksploitasi. Dalih penjajahan untuk melakukan misi pemberadaban juga menyebabkan negara terjajah harus dianggap tidak memiliki kebudayaan, tidak berilmu pengetahuan, tidak berperadaban, dan tidak memiliki sejarah. Bahkan, sejarah negara terjajah dianggap baru dimulai bersamaan dengan datangnya masa penjajahan.
Bangsa penjajah beranggapan bahwa merekalah yang akan membawa negara terjajah dari kegelapan menuju cahaya dan dari tiada menuju ada. Keberhasilan imperialis Eropa yang melesat hingga melampaui batas geografisnya menyebabkan kesadaran Eropa enggan untuk membicarakan sumber-sumber peradaban Eropa yang mendahului sumber Yunani.
Hal ini dikarenakan negara-negara penyumbang peradaban itu adalah negara-negara terjajah, yang dengan sendirinya tidak pantas menjadi sumber kesadaran dan peradaban negara penjajah. Sedangkan penyebab lain disembunyikannya sumber-sumber tersebut adalah rasialisme yang terpendam dalam kesadaran Eropa.
Clive Day, Guru Besar sejarah ekonomi di Yale University yang menyatakan bahwa orang Jawa dibanding dengan orang Sumatra atau luar Jawa lainnya secara tradisional memang kalah pintar dan kurang semangatnya dalam berdagang, ia menulis antara lain: Now, the characteristic of the native of the tropics, that is of prime importance when he is regarded in his relations to the outside civilized and commercial world, is the smallness of his wants. If we can believe the traditional descriptions of tropical life, he may pick breakfast, dinner and supper from a tree that grows wild in his backyard, he may clothe himself with leaves stripped from another tree, and build his house by a days labor on another …. Nature is so beautiful that he relies almost entirely upon her, and the educating influence of labor is lost to him. The characteristic proverb of hot countries is to the effect that it is better to sleep than to wake, that it is better to lie down than to sit up, that is better to be seated than to stand, that it is better to rest than to work, and that death is better than all.
Tulisan tersebut tidak berhenti, melainkan juga menjadi sumber disertasi doktor bagi Boeke dan Mohr. Orang Indonesia atau Nusantara tetap dibilang ketinggalan dan bodoh, tidak lain karena alamnya yang tropis, terisolasi di pulau masing-masing dan karena tidak mempunyai kemampuan teknologi, berarti tidak berani melaut, atau takut dengan laut yang mengelilingi pulaunya.
Akan tetapi, di antara segala ilustrasi tentang ketertinggalan itu, kenyataan sejarah yang lain justru menyeruak ke permukaan. Di bidang ekonomi, para pedagang Jawa, Sumatra dan orang dari pulau-pulau lain ternyata meninggalkan jejak-jejak yang sangat aktif.
Jacob Cornelis van Leur menyatakan bahwa ketika Vasco da Gama sampai di perairan Asia, yang ditemukannya adalah lalu lintas perdagangan di laut yang sangat ramai dengan diatur oleh institusi-institusi pemerintah yang tingkat perkembangannya sama dengan di Eropa.
Intensitas perdagangannya sama atau malahan melebihi Eropa Selatan. Van der Kroef menambahkan, bahwa: A supposed superiority of the Western trading companies over the Oriental, including the Indonesians, is out of question.
Tesis Leur kemudian memicu tampilnya para peneliti-peneliti Indonesia yang baru untuk memperbaiki, mengkritik dan membuat kesimpulan-kesimpulan baru, yang pada dasarnya setuju dengan tesis Leur.
Meilink-Roelofz, dalam buku Asian Trade and European Influence berupaya membuka pengetahuan tentang siapa yang paling dominan di antara orang Indonesia, orang Portugis atau orang Belanda. Dan, ia pun tiba pada kesimpulan, bahwa pertemuan Eropa dan Indonesia adalah pertemuan antara dua peradaban yang setara, bukan antara Eropa yang lebih maju dengan Indonesia yang terbelakang.
Selain itu, ada pula kisah yang diuraikan oleh Ludovico de Vaerthema, orang Italia yang bersama temannya orang Persia tiba di Nusantara pada tahun 1503—1508. Ia dan beberapa teman-teman lainnya menyewa kapal di Nusantara untuk berlayar dari Kalimantan ke pulau Jawa dengan sewa kapal 100 Ducat.
Pada masa itu ternyata kapten kapal yang dinaikinya sudah menggunakan kompas dan peta yang ditandai dengan garis-garis pelayaran seperti peta-peta di Eropa. Bahkan, teknologi perkapalannya telah dikenal sejak millenium pertama dengan dibangunnya kapal-kapal yang cukup besar dengan dua tiang layar serta kapal yang dilengkapi cadik atau outrigger di kiri kanannya.
Kapal jenis ini adalah karya orang Nusantara yang kemudian tersebar hingga Afrika Timur. Kapal tersebut kemungkinan satu jenis kapal yang sama dengan yang terukir di relief pada Candi Borobudur.
Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang Cina sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, namun hingga abad VII, kecil sekali peran kapal Cina dalam pelayaran laut lepas. Jung-jung Cina lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai.
Tentang hal ini, Oliver William Wolters mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan Cina, juga antara Cina dan India Selatan serta Persia, pada abad V hingga VII, terdapat indikasi bahwa bangsa Cina hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.
I Tsing, pengelana dari Cina yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I Tsing yang berasal dari tahun 671-695 Masehi, perjalanannya dari Kanton menuju perguruan Buddha di Nalanda, disebut menggunakan kapal Sriwijaya, yakni negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.
Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama yang diistilahkan oleh Hasan Muarif Ambary sebagai ”Jalur Sutra Laut”, sangat bergantung pada peranan pelaut-pelaut Indonesia. Selain Hasan Muarif Ambary, tesis Dick-Read bahkan berbicara lebih jauh lagi, yakni pada awal milenium pertama kapal-kapal yang disebut "Kun Lun" dari Nusantara disebut sudah terlibat dalam perdagangan yang mendukung suplai di laut Mediterania, padahal orang-orang Eropa masih mempercayai kalau bumi itu datar. (*)
Jurnalis : Bayu Widiyatmoko
Editor : Jajang Yanuar
Illustrator : Bagus Maulana
Infografis : Bagus Maulana
Komentar
Belum ada komentar