Kuatbaca
29 April 2023 22:52
Setelah Belanda dalam pengaruh Prancis, banyak dilaporkan pengelolaan buruk koloni Hindia Timur. Raja Louis Bonaparte kemudian mengutus Daendles sebagai Gubernur Jenderal pada Januari 1807. Ia banyak memberi ide kebebasan dan pengakuan hak milik di Nusantara, meski menghadapi situasi penolakan dari raja-raja di Jawa.
Akibat banyaknya laporan buruk tentang keadaan wilayah koloni di Hindia Timur yang diterima oleh Raja Louis, maka ia merasa perlu untuk segera mencari calon gubernur jenderal yang mampu mempertahankan martabat Prancis di Hindia Timur. Soal banyaknya laporan yang ia terima, khususnya adalah laporan tentang maraknya korupsi di wilayah koloni ini. Masalah pertahanan di Batavia juga sangat rapuh dan pasti tidak siap dalam mengantisipasi serangan Inggris atas pulau Jawa.
Untuk mengatasi semua permasalahan itu, Jawa harus dipimpin oleh seorang jenderal yang kuat, yang mampu melakukan perubahan, serta memiliki kemampuan untuk mempertahankan pulau Jawa dari ancaman militer Inggris. Raja Louis Bonaparte kemudian memanggil Herman Willem Daendels, mantan panglima Legion Etrangère atau Legiun Batavia yang telah berjasa banyak dalam menurunkan tahta Staadhouder Willem V dan pendirian Republik Bataaf.
Ialah satu-satunya orang menurutnya mampu mempertahankan martabat Prancis, khususnya dalam menegakkan ide-ide Revolusi Prancis di wilayah koloni Hindia Timur. Sesudah menjadi raja Belanda yang pertama, Louis Bonaparte mengeluarkan keputusan mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Timur pada 29 Januari 1807. Dan, pada 9 Februari 1807, Daendels berangkat menuju ke Jawa dengan terlebih dahulu singgah di Paris untuk menghadap Kaisar Napoleon Bonaparte di istana Tuileries di Paris.
Setelah menempuh perjalanan selama 10 bulan, pada 1 Januari 1808, ia mendarat di pelabuhan Anyer bersama lima orang ajudannya. Selanjutnya, dengan menempuh perjalanan darat selama empat hari, Daendels dapat tiba di Batavia. Pada 14 Januari 1808 Daendels secara resmi menerima jabatan gubernur jenderal dari gubernur jenderal yang lama Albertus Henricus Wiese.
Pangkat Daendels saat menerima keputusan sebagai gubernur jenderal 29 Januari 1807 adalah Kolonel Jenderal. Namun, mengingat bahwa begitu besar kekuasaan, tugas, tanggung jawab dan luasnya wilayah yang menjadi bebannya, pada 9 Februari 1807 sebelum keberangkatannya ke Jawa, Raja Louis Bonaparte menaikkan pangkatnya dari kolonel jenderal menjadi marsekal (maarschalk/marshall).
Tugas utama yang harus dilakukannya adalah mempertahankan selama mungkin pulau Jawa dari ancaman serangan Inggris dan membenahi sistem administrasi negara dengan sistem yang baru agar memberikan kemakmuran bagi negara induk.
Tugas utama Daendels dijabarkan oleh Raja Louis Bonaparte ke dalam beberapa instruksi, yaitu instruksi untuk gubernur jenderal (37 pasal), instruksi untuk gubernur jenderal dan Raad van Indie (25 pasal) , serta instruksi untuk membubarkan Pemerintahan Tinggi di Batavia atau Haute Régences des Grandes Indes (6 pasal).
Sejak menjabat sebagai gubernur jenderal 14 Januari 1808, Daendels melaksanakan apa yang ditugaskannya dan telah ditetapkan dalam instruksi yang diterimanya dari Raja Louis Bonaparte. Instruksi yang diterimanya itu dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip utama dalam Revolusi Prancis, yang antara lain menegaskan bahwa hak milik adalah suci. Oleh karena itu, negara akan melindungi semua hal yang telah menjadi milik seseorang, institusi atau negara.
Selain itu, Daendels juga menghargai prinsip liberte (kebebasan), yaitu dengan membebaskan para budak, dan melarang sistem anak semang yang saat itu masih berlaku di Jawa. Prinsip ini juga diterapkan dalam pemberian kebebasan bagi penduduk untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing. Prinsip egalite (persamaan), oleh Daendels diterapkan khususnya dalam bidang peradilan.
Akan tetapi, tentu saja ide-ide Barat itu mengalami banyak penolakan bahkan penentangan dari iklim feodal di Jawa. Sebab, bagi budaya Jawa seperti di Mataram misalnya, seorang raja bergelar khalifatullah, artinya ia bertahta sebagai wakil Tuhan di bumi dan ucapannya akan diterima sebagai sabda. Alhasil, bagaimana mungkin kelakuan Daendels dapat diterima, bukankah ia menurunkan posisi dan menempatkan wakil Tuhan hanya sebagai pembantunya?
Ide-ide pemerintahan yang dijalankan atas kehendak rakyat seperti yang dimaksudkan dalam Revolusi Prancis, pada akhirnya baru bisa meresap saat Jawa menjadi motor bagi era Pergerakan Nasional. Akan tetapi, di saat itu ide Barat tentang pemerintahan rakyat yang merdeka, justru digunakan untuk melawan imperialisme serta kolonialisme Barat itu sendiri.
Dari Prancis, Undang-Undang Napoleon memang bukan undang-undang sipil resmi pertama yang disusun di negara Eropa. Sebelumnya ia sudah didahului oleh Codex Maximilianeus bavaricus civilis (Bavaria, 1756); dan Allgemeines Landrecht (Prussia, 1792) dan West Galician Code, (Galicia, Austria, 1797). Namun demikian, Undang-Undang Napoleon dianggap sebagai undang-undang sipil pertama yang berhasil dan sangat mempengaruhi perundang-undangan di banyak negara, termasuk di Indonesia. (*)
Jurnalis : Bayu Widiyatmoko
Editor : Jajang Yanuar
Illustrator : Fandy Dwimarjaya
Infografis : Fandy Dwimarjaya
Komentar
Belum ada komentar