Tulang punggung kekuasaan Makassar benar-benar dapat dipatahkan pada tahun 1668, setelah pengepungan kota yang berlangsung lebih dari dua tahun oleh Kompeni.Kekuatan VOC dari Batavia menggempur wilayah timur Nusantara pada dasarnya dibentuk dari kekonyolan perilaku ningrat Mataram serta Banten yang tidak mencerminkan pemahaman geostrategis kawasan: raja lebih memilih orang Belanda muncul sebagai pemenang ketimbang orang yang sedarah dengannya, dan ini berakibat fatal secara domino.
Pada tanggal 12 Juni 1660, VOC yang tidak cukup kuat untuk berperang habis-habisan dengan Makassar, ternyata telah menyebabkan kerugian yang cukup besar dan harus dianggap serius sebagai mitra negosiasi. Kota kerajaan terbakar, daerah Portugis dan istana telah dirusak parah oleh pemboman artileri. Dan, di Panakukang sekarang sudah berkibar bendera Belanda.
Keesokan harinya, duta besar sultan datang untuk berunding. Kali ini ganti Kompeni memanfaatkan posisi tawarnya yang sudah sangat baik. Kompeni menyuruh negosiator itu kembali karena dianggap tidak memenuhi syarat level yang pantas.
Van Dam menuntut agar sultan mengirim seorang yang berkuasa penuh ke Batavia. Dan, sampai negosiasi selesai, Panakukang akan tetap diduduki sebagai jaminan. Orang Makassar pun mengirim Kraeng Papowa ke Batavia sebagai duta. Di sana, sebuah perjanjian baru dicapai pada 19 Agustus.
Perjanjian baru ini jauh lebih tepat, dan berdampak daripada yang disepakati oleh Van der Beecke lima tahun sebelumnya. Perjanjian tersebut menetapkan bahwa Makassar tidak akan lagi mengganggu bisnis Kompeni di Manado, Buton dan Ambon. Di samping itu Makassar juga dilarang berlayar di Banda dan Ambon, serta akan membayar ganti rugi perang sangat besar yang akan menutupi biaya seluruh operasi. Dan, yang terburuk adalah semua orang Portugis harus meninggalkan Makassar, lalu Kompeni akan membuka perdagangan di sana.
Namun begitu, unjuk kekuatan dan perjanjian yang dihasilkan tidak lantas mengubah penyebab permusuhan yang lebih dalam antara Makassar dan Kompeni. Meski pada awalnya sultan tampil bersungguh-sungguh untuk mengusir semua orang Portugis dari ibukotanya, tapi segera pula menjadi jelas betapa pentingnya kehadiran Portugis bagi kesejahteraan Makassar. Sultan pun menyadari bahwa dia sedang merusak dirinya sendiri.
Selain itu, sultan tampaknya juga tidak mengharapkan perdamaian yang merugikan itu berlangsung selamanya. Maka, ia pun bukan hanya mulai memulihkan diri tetapi juga meningkatkan pertahanannya bahkan sebelum perjanjian itu berlaku.
Pada tahun 1663, pemberontak yang melawan sultan Makassar mulai berlindung di Buton, di mana Makassar tidak diizinkan untuk mencampurinya sebagaimana telah tertuang dalam perjanjian. Sementara itu, Batavia juga berunding dengan orang Bugis yang turut memberontak melawan Makassar. Akibatnya, suasana dengan cepat berubah menjadi buruk.
Serangkaian insiden yang muncul silih berganti disela-sela upaya untuk menjaga perdamaian melalui negosiasi, hanya memperjelas bahwa tinggal masalah waktu saja sebelum perang akan pecah lagi. Pada tahun 1665, Kompeni melakukan evakuasi di Makassar.
Dan, ketika akhir tahun 1666 Hoge Regering menduga bahwa Makassar merencanakan serangan terhadap Buton, Ternate dan juga mungkin Ambon sesudahnya, Kompeni sekali lagi mengambil jalan perang. Sebuah ekspedisi di bawah pimpinan Speelman pertama-tama dikirim ke Buton dan Ternate, lalu harus pergi ke Makassar, bukan untuk mengalahkannya secara definitif, melainkan untuk –sekali lagi– melenturkan otot-otot VOC dengan harapan dapat mempertahankan Makassar.
Akan tetapi, yang terjadi ternyata berjalan lebih jauh. Dikarenakan ada begitu banyak sekutu lokal bergabung dengan armada Kompeni, Speelman pun merasa yakin untuk menyerang Sombaopu. Akhirnya, setelah pengepungan kota yang berlangsung lebih dari dua tahun, tulang punggung kekuasaan Makassar dapat dipatahkan pada tahun 1668.
Di tengah rincian yang dramatis tentang upaya VOC mengalahkan Makassar, tampak terlihat kalau Tristan Mostert terlalu melebih-lebihkan keunikan yang dimiliki Batavia. Di satu sisi, ia betul soal keunggulan yang pantas dimiliki VOC akibat keunikan sifatnya sebagai 'Perusahaan'. Akan tetapi, jelas di antara keberhasilan yang didapat oleh VOC di dalam kampanye memukul Makassar, seperti juga banyak penulis sejarah lain, abai terhadap faktor-faktor yang berjalan secara pararel sehingga apa yang diinginkan Batavia terhadap Makassar membuahkan hasil.
Di tengah pembahasannya yang begitu fokus dan terstruktur tentang VOC, Christan Mostert tidak menggali faktor jatuhnya Malaka di tahun 1640 yang kemudian segera melemahkan Aceh dan Johor sekaligus. Juga, tidak memperdalam kekonyolan perilaku ningrat Mataram serta Banten, yang pada akhirnya menjadikan posisi Batavia tidak lagi terancam di Jawa.
Padahal jelas, apa yang dicapai oleh VOC adalah sebuah prestasi yang muncul juga akibat dari pecahnya integritas ningrat-ningrat terutama di pulau Jawa. Kalau boleh untuk dikatakan, bukan hanya VOC yang pandai, tetapi adalah juga berkat raja Jawa yang menjadi bodoh akibat keangkuhannya. Sehingga, ia terbelakang dalam membaca politik melalui kacamata geostrategis di kawasan. Sadar atau tidak, raja lebih memilih orang Belanda muncul sebagai pemenang ketimbang orang yang sedarah dengannya, dan ini berakibat fatal secara domino. (*)