SidebarKanan
Sejarah

Lubang Peluru di Dahi Pakubuwono VI

Kuatbaca

28 February 2023 12:30

Test

Jenderal KGPH Djatikusumo salah satu putra Pakubuwana X, setelah memindahkan jasad kakek buyutnya dari Ambon ke Astana Imogiri menemukan lubang di dahi seukuran senapan baker. Ini menunjukkan kemungkinan besar Pakubuwana VI wafat karena dibunuh, sementara menurut laporan resmi Belanda bahwa pada 2 Juni 1849, pendukung Pangeran Diponegoro itu dikabarkan meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.

 

 

Sri Susuhunan Pakubuwana VI (Bahasa Jawa: Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono VI) lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 April 1807 dan meninggal di Ambon, 2 Juni 1849 pada umur 42 tahun. Ia adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1823 – 1830. Ia dijuluki pula dengan nama Sinuhun Bangun Tapa, karena kegemarannya melakukan tapa brata.

 

Sunan Pakubuwana VI telah ditetapkan pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan S.K. Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964.

 

Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terikat perjanjian dengan Belanda, Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu.

 

Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam.

 

Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Konon, kereta Pangeran Diponegoro tertinggal dan segera ditanam di dalam keraton oleh Pakubuwana VI.

 

Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.

 

Belanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Pakubuwana VI atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.

 

Belanda berusaha mencari bukti untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis keraton yang bernama Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai keterangan. Sebagai anggota keluarga Yasadipura yang anti Belanda, Pajangswara menolak membocorkan hubungan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya meninggal setelah disiksa secara kejam. Konon jenazahnya ditemukan penduduk di sekitar Luar Batang (Batavia).

 

Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.

 

Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.

 

Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana VII.

 

Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.

 

Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal KGPH. Djatikusumo (salah satu putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan baker.

 

Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas tidak wafat karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan wafat dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.



Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI, Mas Pajangswara (termasuk juga putranya, Ranggowarsita), Kusumoyudho, dan Cokrojoyo (kemudian menjadi Cokronegoro), mereka satu paket, walaupun Belanda konon sangat senang terutama dengan kiprah Cokrojoyo. Namun demikian, masing-masing di antara mereka memainkan perannya sendiri-sendiri dalam berjuang melawan Belanda baik selama pecah Perang Jawa maupun sesudahnya.

 

Usai Perang Jawa (Java Orlog) Belanda melakukan isolasi (dipangku –Jawa) terhadap Cokrojoyo dengan pengangkatannya menjadi adipati Purworejo yang bergelar Cokronegoro dan berada dibawah kekancingan Kesultanan Yogyakarta, karena sebelumnya Cokrojoyo adalah pengikut setia Pakubuwana VI Surakarta, dan membuatnya terlibat di dalam rivalitas (atau sentimen) dengan daerah-daerah di sebelahnya, yang juga dibuat oleh Belanda secara bersamaan.

 

Perang Jawa berlangsung bersamaan dengan perang Paderi. Di Sumatera, Belanda berhasil melemahkan kekuatan perlawanan setelah pecahnya golongan adat (istana) dengan ulama. Di Purworejo, Cokronegoro membangun beduk amat besar (sarana penanda masuknya waktu salat), alun-alun amat luas, juga pendopo yang tinggi. Tiga hal ini menyimbolkan harmoni antara ulama, rakyat, dan pemerintah agar tidak terpecah belah.

 

Sekali lagi, Belanda berhasil mengambil keuntungan dari krisis yang diciptakannya sendiri. Kuasa kraton-kraton di Jawa berhasil dikurangi lebih jauh lagi. Dan, pergolakan Paderi di Sumatera juga dapat dipasifikasi. (*)

 

Jurnalis : Bayu Widiyatmoko

Editor : Jajang Yanuar

Illustrator : Bagus Maulana

Infografis : Bagus Maulana


Komentar

Pencarian tidak ditemukan

Belum ada komentar

SidebarKanan
Kuatbaca.com

Informasi


Tentang Kami

Pedoman Media Siber

Susunan Redaksi

2023 © KuatBaca.com. Hak Cipta Dilindungi