Kuatbaca
27 February 2023 13:36
Kiai Boestam Kertoboso bekerja untuk pemerintahan kolonial, namun ia juga berbuat banyak bagi rakyat jajahan, terutama sekali umat Islam. Ia pun mengambil partisipasi untuk mengakhiri sebuah peperangan, yang kemudian melahirkan Kesultanan Yogyakarta.
Adalah Kiai Boestam yang membuat konsep pengangkatan Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan di Yogyakarta dan Pakubuwono III melanjutkan sebagai Susuhunan di Surakarta. Konsep itu ditulis dalam dua bahasa, satu bahasa Jawa dan satunya lagi dalam bahasa Belanda untuk disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761) untuk mendapatkan pengesahan. Setelah naskah itu ditandatangani oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal, surat pengangkatan itu diterima kembali oleh Panglima Ossen Bruggen, disertai catatan bahwa surat pengangkatan itu harus disampaikan melalui seorang bupati.
Akan tetapi, tak seorang pun bupati bersedia mengantar surat itu, karena takut kehilangan nyawa. Mereka mengembalikan epok, lampit dan payung mereka sebagai tanda mengundurkan diri dari jabatannya, dan menyatakan lebih suka mati dibunuh di depan panglima atau tewas di medan perang daripada mati hina dina dibunuh kaum pemberontak.
Panglima Ossen Bruggen sungguh naik amarahnya melihat perilaku para bupati itu. Dan, pada saat itulah Kiai Boestam maju ke depan panglima lalu menyatakan bersedia memikul beban menjalankan tugas tersebut. Mendengar kesediaan itu, tampak kegembiraan bersinar di mata panglima. Maka Ossen Bruggen pun berkata, Kiai Boestam boleh memilih sendiri salah seorang dari para bupati itu untuk menemaninya. Tetapi Kiai Boestam menolak tawaran itu, dan menyampaikan bahwa dia sendirian dapat melaksanakan tugasnya.
Pada hari keberangkatannya, Panglima Ossen Bruggen datang ke kabupatenan Semarang untuk mengucapkan selamat jalan kepada Kiai Boestam. Dengan memakai celana pendek hitam, baju berwarna sama hitamnya, sarung melilit di pinggang, ikat pinggang berbintik-bintik di mana surat untuk Pangeran Mangkubumi itu diselipkan, Kiai Boestam pun berangkat meninggalkan kota.
Ketika tiba di Candi, dalam perjalananya mencari Mangkubumi, Kiai Boestam bertemu dua orang yang sedang memotong rumput. Atas pertanyaan Kiai Boestam, mereka mengatakan dirinya adalah pemotong rumput dari Demang kota Jetak dan mereka akan segera berangkat pulang. Kiai Boestam mengatakan kepada mereka, dirinya adalah penduduk Magelang dan tak berani pulang sendirian, takut dibunuh di tengah jalan. Lalu ia menolong kedua orang itu memotong rumput dan mengangkatnya ke atas bahu, berjalan mengiringi kedua orang itu. Dengan cara itulah ia sampai ke Jetak.
Setelah enam hari di Jetak, Kiai Boestam melanjutkan lagi perjalanannya. Di Magelang ia ditangkap oleh pasukan pemberontak pengikut Pangeran Mangkubumi. Tetapi penangkapan ini menimbulkan kegemparan, sehingga Mangkubumi langsung turun tangan dan memerintahkan tangkapan itu agar dibawa menghadap.
Pangeran Mangkubumi bertanya kepada sang tangkapan, apa gerangan maksudnya datang ke Magelang. Dengan terus terang, Kiai Boestam mengatakan bahwa dirinya diutus Gubernur Jenderal untuk menyampaikan sepucuk surat kepada paduka yang mulia. Mangkubumi amat terkejut, orang yang berpakaian compang camping itu menyampaikan sepucuk surat untuknya.
Kepada Pangeran Mangkubumi, Kiai Boestam menuturkan bahwa ia berpakaian demikian kotor, tak lain agar dapat melaksanakan tugasnya dengan mudah. Seandainya ia mengenakan seragam bupati, maka “saya hanya mengantarkan mayat saja ke hadapan paduka yang mulia”. Pangeran memaklumi taktik Kiai Boestam, lalu meminta agar surat Gubernur Jenderal itu dibacakan untuknya.
Ternyata, Pangeran Mangkubumi sangat senang mendengar isi surat itu, dan hari itu juga memerintahkan menarik mundur pasukan-pasukannya. Kiai Boestam pun diberi hadiah seperangkat pakaian dodet, kuluk, sikepan, jas, blangkon dan sepucuk keris emas. Penghormatan yang tinggi diberikan kepada sang kiai selama keberadaannya di Magelang. Dan, ketika ia pamit untuk pulang, Pangeran memerintahkan dibuatkan suatu surat jawaban.
Dengan didampingi oleh beberapa pejabat tinggi dan berjalan di bawah payung emas, Kiai Boestam sampai kembali di Semarang. Ia pun diterima dengan segala kebesaran oleh Panglima Ossen Bruggen. Surat jawaban Pangeran Mangkubumi lalu disampaikan kepada panglima.
Sepanjang hayatnya, Kiai Boestam telah mengabdikan diri kepada Gubernemen Belanda selama lima puluh tahun, dan meninggal dalam ‘masa jabatannya’, pada usia 78 di tahun 1759, empat tahun setelah Perjanjian Giyanti. VOC sendiri berakhir tahun 1799 setelah merugi karena korupsi yang merajalela di tubuhnya. Kekuasaannya di Indonesia dilanjutkan oleh pemerintahan langsung oleh Kerajaan Belanda hingga 1942, sampai kedatangan Jepang.
Kiai Boestam Kertoboso bekerja untuk pemerintahan kolonial, namun ia juga berbuat banyak bagi rakyat jajahan, terutama sekali umat Islam. Ia pun mengambil partisipasi untuk mengakhiri sebuah peperangan, yang kemudian melahirkan Kesultanan Yogyakarta. Lantas, bagaimana literasi sejarah sekarang, yang mengambil frame nasionalisme, akan menempatkannya, tanya Rum Aly.
Dari Kiai Boestam Kertoboso (1681–1759) nantinya terlahir Raden Saleh (1811), yang menginspirasi Peter Carey, Harsja W Bachtiar dan Onghokham, menulis dalam buku berjudul “Raden Saleh, Anak Belanda, Moi Indie & Nasionalisme”. Raden Saleh membela Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Java Oorlog (Perang Jawa, 1825-1830) melalui lukisannya yang berjudul "Penangkapan Pangeran Diponegoro". (*)
Jurnalis : Bayu Widiyatmoko
Editor : Jajang Yanuar
Illustrator : Rahma Monika
Infografis : Rahma Monika
Komentar
Belum ada komentar