Meriam berukir Surya Majapahit menjadi salah satu keunggulan Kerajaan Jawa lama yang kini menjadi salah satu koleksi The Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika Serikat menjadi peninggalan Jawa Lama yang unggul. Menyertai capaian peradaban teknologi logam, orang Jawa yang sebelum Mataram disebut K'un-lun po tercatat dalam perjalanan pelaut Portugis sebagai bangsa yang menghasilkan kapal-kapal besar berlayar tanja. Jung terutama dibangun di dua pusat pembuatan kapal besar pantai utara Jawa sekitar Rembang-Demak dan Cirebon; serta pantai selatan Kalimantan (Banjarmasin) juga pulau-pulau sekitarnya.
Kapal layar dalam perupaan para pelayar Portugis
Pada zaman dahulu, masyarakat Jawa unggul dalam mengarungi lautan dan berdagang. Hal ini karena tidak semua komoditas dapat dihasilkan di pulau Jawa, sehingga perdagangan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kapal seperti yang terpahat pada relif Borobudur dari dinasti Syailendra Jawa diduga kuat telah membawa pelaut maupun pemukim Nusantara hingga ke Ghana dan Madagaskar di abad ke-8 M.
Pada tahun 1645, Sebuah catatan Portugis menggambarkan bagaimana orang Jawa telah memiliki keterampilan pelayaran tingkat lanjut dan telah berkomunikasi dengan Madagaskar. Dan, dapat dipastikan, bahwa mereka sebelumnya sudah berlayar ke Tanjung Harapan dan berkomunikasi dengan pantai timur pulau São Lourenço (San Laurenzo —Madagaskar), di mana terdapat banyak penduduk asli berkulit coklat mirip orang Jawa yang mengatakan bahwa mereka adalah memang keturunannya. Begitu kata Diogo do Couto, dalam Decada Quarta da Asia.
Orang Jawa diduga juga telah sampai di Australia pada abad ke-10 M, dan bermigrasi ke sana, pemukiman mereka ada hingga awal tahun 1600-an. Menurut Prasasti Waharu IV (931 M) dan Prasasti Garaman (1053 M), Kerajaan Mataram dan Kerajaan Kahuripan era Airlangga (1000–1049 M) di Jawa mengalami kemakmuran yang panjang sehingga diperlukan banyak tenaga kerja, terutama untuk membawa hasil bumi, mengemas, dan mengirimnya ke pelabuhan. Tenaga kerja kulit hitam didatangkan dari Jenggi (Zanzibar), Pujut (Australia), dan Bondan (Papua). Menurut Naerssen, mereka tiba di Jawa dengan berdagang (dibeli oleh saudagar) atau ditawan saat perang dan kemudian dijadikan budak.
Di dalam Declaraçam de Malaca e India Meridional com o Cathay yang dibuat oleh Manuel Godinho de Eredia (1613), menjelaskan tentang apa yang disebutnya "Meridional India". Pada bukunya itu ia menceritakan tentang perjalanan Chiaymasiouro (atau Chiay Masiuro), raja Damuth (Demak) di Jawa, ke tanah Selatan disebut Luca Antara (atau Lucaantara). Penjelasan singkat tentang negara ini diberikan dalam surat yang ditulis oleh Chiaymasiouro kepada Raja Pahang dan dalam sertifikat yang dibuat oleh Pedro de Carvalhaes di Malaka pada tanggal 4 Oktober 1601.
Dalam bagian pertama "Concerning the Meridional India", Eredia menyebutkan bahwa Meridional India terdiri dari daratan yang disebut "Lucach", yang memiliki semenanjung bernama Beach, dan sebuah negara bernama Lucaantara (atau Luca Antara). Di timur Lucaantara adalah dua pulau kecil Agania dan Necuran, dan sebuah pulau yang lebih besar bernama Java Minor. Di baratnya adalah Angaman Minor atau Luca Tambini (Tembini), dan Angaman Major atau Lucapiatto. Lontar (teks daun lontar) dan catatan sejarah Jawa menyebutkan perniagaan Meridional India dan perdagangannya.
Sedangkan pada Report of Meridional India (1610), Eredia telah pula menyebut bahwa di zaman dahulu para pedagang melakukan pergaulan dan perdagangan yang ekstensif dari Luca Antara dengan Jawa. Perhubungan dan perdagangan ini berhenti selama 331 tahun, karena perang dan konflik antar negara. Mereka tidak dapat berkomunikasi satu sama lain sampai medio tahun 1600 (ini berarti komunikasi terhenti pada tahun 1269). Dan, disebutkan pada 1600, sebuah kapal dari Lucaantara keluar jalur pelayarannya karena badai dan mendarat di pelabuhan Balambuam (Blambangan) di Jawa, di mana penghuninya disambut dengan baik.
Untuk sebutan maupun penamaan Lucaantara atau Luca Antara ini juga ada ditulis dengan Nuca antara, seperti dalam Peta India Timur dan India Selatan, yang dituliskan berada pada wilayah semenanjung di Australia sekarang. Luca antara: yakni Nusa antara, tanah selatan yang diklaim Eredia telah ia temukan, sebenarnya juga muncul di Pararaton, sebuah karya sejarah Jawa sekitar abad ke-16.
C.O Blagden mengadopsi penjelasan J.J Brandes dari istilah tersebut, bahwa Nusantara mengacu pada kepulauan Nusantara pada umumnya. Sedangkan menurut G. Ferrand, kata "nusa" hanya digunakan di Jawa, Madura, dan Madagaskar (nusi); di tempat lain, pulau biasanya diwakili oleh nama "pulaw", "pulo", atau beberapa varian dialektisnya. Kata asal kata "nusa" sendiri mungkin dihubungkan melalui bahasa Sanskerta, dengan bahasa Yunani νῆσος (nesos). Yakni, dengan kemungkinan kecenderungan lidah untuk mengubah "N" menjadi "L" sehingga seperti "Nakhon" yang menjadi "Lakhon" (Ligor) dan kata Melayu "nuri" menjadi "lory". Pada peta Linschoten tentang laut timur memuat pula bentuk "Lusa" (Luca) dan "Nusa".
Namun demikian, amat disayangkan bahwa siapakah Chiaymasiuro, yang mungkin dalam tuturan asli adalah "Kyai Mas Syuro", belum diketemukan konfirmasinya dari peneliti-peneliti sejarah Indonesia. Sebab, jika Demak adalah seperti yang dikisahkan oleh Eredia, maka di masa kejayaannya kesultanan pertama di Jawa ini berarti sudah menduduki wilayah hingga ke semenanjung di Australia.
Catatan Arab abad ke-10 Ajayeb al-Hind (Keajaiban India) memberikan catatan tentang invasi di Afrika oleh orang-orang yang disebut Wakwak atau Waqwaq, kemungkinan orang Melayu Sriwijaya atau orang Jawa dari kerajaan Mataram, tahun 945–946 M. Mereka tiba di pantai Tanganyika dan Mozambik dengan 1000 perahu dan berusaha merebut benteng Qanbaloh, meski akhirnya gagal. Alasan penyerangan itu karena di tempat itu ada barang-barang yang cocok untuk negara mereka dan untuk China, seperti gading, tempurung kura-kura, kulit macan kumbang, dan ambergris , dan juga karena mereka menginginkan budak kulit hitam dari orang (disebut Zeng atau Zenj oleh orang Arab, Jenggi oleh orang Jawa) yang kuat dan menjadi budak yang baik.
Pada masa Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa. Hal ini karena pelayaran yang ekstensif oleh kerajaan Majapahit menggunakan berbagai jenis kapal, terutama jung, untuk berdagang ke tempat-tempat yang jauh. Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) yang berkunjung ke Jawa pada tahun 1413, menyatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Jawa merupakan tempat perdagangan barang dan jasa yang jumlahnya lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan-pelabuhan lain di Asia Tenggara.
Meriam Surya Majapahit
Pada masa Majapahit pula penjelajahan Nusantara meraih pencapaian terbesarnya. Ludovico di Varthema (1470-1517), dalam bukunya Itinerario de Ludovico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa orang-orang Jawa berlayar ke "negeri Selatan yang jauh" sampai mereka tiba di sebuah pulau di mana sehari hanya berlangsung empat jam dan, "lebih dingin daripada di belahan dunia mana pun". Studi modern telah menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) ke arah titik paling selatan Tasmania. Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka, Portugis pernah menemukan sebuah peta dari seorang nahkoda Jawa, yang bahkan sudah memasukan bagian dari Amerika. Sedangkan tentang Jawa atau "Giava", Varthema menyebutnya sebagai “pulau terbesar di dunia dan paling kaya, dan Anda akan menyaksikan sesuatu yang belum pernah terlihat sebelumnya”.
Sekitar kuartal kedua abad ke-16, beberapa peta Eropa memasukkan benua yang disebutnya sebagai "Jave la Grande" (atau La Grande Jave). Dalam La Cosmographie, Jean Alfonse mendefiniskan "La Grande Jave" sebagai perpanjangan dari benua Antartika raksasa, atau Terra Australis (benua Selatan): "Jawa ini menyentuh Selat Magellan di barat, dan di timur Terra Australis ... Saya memperkirakan bahwa pantai Samudra Laut yang disebut pantai Austral membentang ke timur ke Jawa, ke pantai barat Jawa tersebut". Agaknya demi menghormati klaim Marco Polo bahwa Java Major adalah pulau terbesar di dunia, Alfonse memberikan nama Jave Mynore ke pulau Jawa dan nama La Grand Jave ke sebuah daratan benua di selatan. Sedangkan untuk Java Minor-nya Marco Polo, ia sebut Samatrez (Sumatra).
Di dalam La Cosmographie (1544), Alfonse juga berkata: "Cest Jave est un terre qui va jusques dessoubz le polle antarctique et en occident tient à la terre Australle, et du cousté d'oriant à la terre du destroict de Magaillant. Aulcuns dient que ce sont isles. Et quant est de ce que j'en ay veu, c’est terre firme ... Celle que l'on appelle Jave Mynore est une isle. Mais la Grand Jave est terre ferme". Artinya kira-kira, "Jawa adalah daratan yang membentang sejauh di bawah Kutub Antartika dan dari Terre Australle di barat hingga tanah Selat Magellan di sisi timur. Beberapa orang mengatakan bahwa itu adalah pulau tetapi dari apa yang saya lihat, itu memang benar sebuah terre ferme (benua) ... Yang disebut Jave Mynore adalah sebuah pulau, tetapi Jawa Major (Grand Jave) adalah terre ferme.
Untuk memenuhi kebutuhan pelayarannya orang Jawa sudah di masa dulu telah menggunakan sistem navigasi yang solid, yaitu tentang orientasi di laut yang dilakukan dengan menggunakan berbagai tanda alam yang berbeda, dan dengan menggunakan teknik astronomi yang sangat khas yang disebut "navigasi jalur bintang". Secara mendasar, para navigator Jawa menentukan haluan kapal ke pulau-pulau yang dikenali dengan menggunakan posisi terbit dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di atas cakrawala.
Di era Majapahit, kompas dan magnet pun telah digunakan, termasuk tentunya pengembangan ilmu kartografi (ilmu pemetaan). Pada tahun 1293 M Raden Wijaya memberikan peta dan catatan sensus kepada ekspedisi dari Dinasti Yuan (Tartar atau Mongol), yang menunjukkan bahwa pembuatan peta telah menjadi bagian formal dari urusan pemerintahan di Jawa. Penggunaan peta yang penuh dengan garis membujur dan melintang, garis belah ketupat, dan garis rute langsung yang dilalui kapal dicatat oleh orang Eropa, sampai-sampai membuat Portugis menganggap peta Jawa sebagai peta terbaik di awal tahun 1500-an.
Di akhir abad 16, Diogo de Couto menerangkan bahwa orang Jawa masih berkomunikasi dengan pantai timur Madagaskar. Secara luar biasa Diogo de Couto juga menyebut tentang karakter orang Jawa. Ketika lewat di jalan dan melihat ada orang bangsa lain sedang berdiri pada onggokan tanah atau tempat lain yang lebih tinggi dari tanah dimana ia berjalan, maka orang Jawa bisa membunuh orang itu jika tidak segera turun dari tempatnya. Orang Jawa begitu dinamis, percaya diri, dan lebih baik mati dari pada harus memikul sesuatu di atas kepalanya. Dalam bertempur, semakin terluka, maka semakin mereka maju ke depan.
Sebelum era Kasuhunan Mataram, orang Jawa dikenal mampu memproduksi kapal besar yang disebut K'un-lun po (po orang K'un-lun). Kapal-kapal ini telah mengarungi lautan antara India dan Cina pada awal abad ke-2 M, membawa hingga 1000 orang bersama 250–1000 ton kargo. Ciri-ciri kapal ini adalah besar (panjang lebih dari 50–60 m), lambung dibuat dari beberapa papan, tidak memiliki cadik , dipasang dengan banyak tiang dan layar, layarnya berupa layar tanja (jenis layar yang biasa digunakan oleh suku bangsa Austronesia, khususnya di Indonesia, Malaysia, dan Filipina –Red), dan memiliki teknik pengikatan papan berupa jahitan dengan serat tumbuhan.
Kapal besar lain yang dibangun oleh orang Jawa adalah jung, pertama kali tercatat dalam prasasti Jawa Kuno dari abad ke-9 Masehi. Meskipun karakteristiknya mungkin serupa, namun memiliki beberapa perbedaan dari po yang menggunakan pasak kayu untuk menggabungkan antar papan dan memiliki rasio penumpang terhadap bobot mati ganda. Pada zaman Majapahit, jung biasanya membawa 600–700 orang dengan bobot mati 1.200–1400 ton. Dan, jung yang terbesar dapat membawa 1000 orang dengan bobot mati 2000 ton.
Jung terutama dibangun di dua pusat pembuatan kapal besar di sekitar Jawa: pantai utara Jawa, terutama di sekitar Rembang-Demak (sepanjang selat Muria, dimana dulu Gunung Muria terpisah dengan Pulau Jawa/Jepara) dan Cirebon; serta pantai selatan Kalimantan (Banjarmasin) juga pulau-pulau sekitarnya. Pegu, yang merupakan pelabuhan pembuatan kapal besar pada abad ke-16, juga menghasilkan jung, dibangun oleh orang Jawa yang tinggal di sana.
Karena terkesan oleh keahlian orang Jawa dalam pembuatan kapal, Afonso de Albuquerque pernah mempekerjakan 60 tukang kayu dan pembuat kapal Jawa untuk bekerja di India untuk Portugis. Mereka tidak pernah tiba di India, karena mereka memberontak dan mengambil kapal Portugis yang mereka tumpangi ke Pasai, di mana mereka disambut dengan luar biasa.
Pembuatan kapal di Jawa juga terhambat ketika VOC mulai menguasai Jawa pada awal abad ke-17. Namun, pada abad ke-18 daerah pembuatan kapal Jawa (khususnya Rembang dan Juwana) telah mulai membangun kapal besar bergaya Eropa (tipe kulit kayu dan brigantine), kapal tersebut dapat mencapai 400-600 ton beban. Sampai medio tahun 1856, John Crawfurd mencatat, bahwa aktivitas pembuatan kapal Jawa masih ada di pantai utara Jawa, dengan galangan kapal diawasi oleh orang Eropa, tetapi semua pekerjanya adalah orang Jawa. Kapal-kapal yang dibangun pada abad ke-19 ini memiliki tonase maksimal 50 ton dan digunakan untuk angkutan sungai.
Selain kemahiran di bidang pelayaran, tradisi penggunaan logam juga menjadi keunggulan yang dimiliki Jawa. Kegiatan pandai besi secara tradisional bagi orang Jawa amat dihargai. Beberapa pandai besi sering dikisahkan berpuasa dan bermeditasi untuk mencapai kesempurnaan pekerjaannya. Pandai besi Jawa membuat berbagai perkakas serta peralatan pertanian, juga barang-barang budaya seperti instrumen musik gamelan, dan keris.
Untuk musik, gamelan adalah satu-satunya produk budaya di dunia yang secara masif menggunakan susunan logam guna menghasilkan nada. Sedangkan seni pembuatan keris, tekniknya juga tertransfer pada keterampilan yang diterapkan pada pembuatan senjata lain. Meriam-meriam maupun senjata api berukuran lebih kecil yang membutuhkan keahlian khusus, kemungkinan besar dibuat oleh golongan orang yang sama.
Majapahit diketahui telah menggunakan senjata api dan meriam sebagai fitur perang. Cetbang, senapan putar perunggu Jawa, digunakan di mana-mana oleh angkatan laut Majapahit, bajak laut dan para pesaingnya. Sebuah meriam yang berukir Surya Majapahit kini menjadi salah satu koleksi The Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika Serikat.
Kemudian, kehancuran yang melanda Majapahit, pada akhirnya juga turut menyebabkan para ahli meriam perunggu menyebar hingga ke Sumatera, Malaysia, Brunei, dan Filipina. Hal ini pun menyebabkan adanya penggunaan senjata api sebagai hal yang umum, terutama pada kapal dagang untuk melindungi diri dari bajak laut di Selat Makassar. Pistol bertiang (bedil tombak) tercatat pernah digunakan oleh orang Jawa pada tahun 1413.
Duarte Barbosa pada medio tahun 1514 mengatakan bahwa penduduk Jawa adalah ahli dalam casting artileri dan memiliki personel artileri yang baik. Mereka membuat banyak meriam satu pon (cetbang atau rentaka), senapan panjang, spingarde (arquebus), schioppi (meriam tangan), api Yunani, meriam (canon), dan senjata api lainnya. Di tahun 1513, armada Jawa dibawah pimpinan Pati Unus, berlayar untuk menyerang Malaka Portugis yang dikatakan datang "dengan banyak artileri yang dibuat di Jawa, karena orang Jawa ahli dalam membangun dan pengecorannya, dan dalam semua pekerjaan pandai besi, melebihi apa yang mereka miliki di India".
Zhang Xie dalam Dong Xi Yang Kao (1618) menyebutkan bahwa kota Palembang telah ditaklukkan oleh orang Jawa yang menghasilkan minyak api yang membara (ming huo yu), yang menurut Hua I Kao adalah berasal dari sejenis getah pohon (shu chin), dan juga disebut minyak lumpur (ni yu).
Zhang Xie menulis: "Ini sangat mirip kapur barus, dan dapat menimbulkan korosi pada daging manusia. Ketika dinyalakan dan dilemparkan ke atas air, cahaya dan nyalanya menjadi semakin kuat. Orang-orang barbar menggunakannya sebagai senjata api dan menghasilkan kebakaran besar di mana layar, benteng, bagian atas dan dayung semuanya terbakar dan tidak dapat menahannya. Ikan dan kura-kura yang bersentuhan dengannya tidak bisa lepas dari hangus."
Sejak di masa-masa keunggulannya, peradaban Jawa berjalan pararel dengan India, Tiongkok, Persia. Sedangkan di Eropa, pasca peristiwa Penjarahan Roma (Sack of Rome), Dark Age baru saja dimulai. Dan sampai berabad-abad ke depan mereka masih terus mempercayai bahwa bumi berbentuk datar seperti di atas lempengan, yang kalau kapal berlayar hingga ke ujungnya bakal jatuh ke jurang maha dalam yang penuh berisi monster-monster. (*)