Perebutan pengaruh Sriwijaya dan Mataram Kuno terus mengalami eskalasi. Situasi ini bahkan tidak bisa dibendung ketika perwakilan masing-masing negeri tengah melakukan kunjungan ke Tiongkok. Diplomasi perlindungan terjadi di negeri Tirai Bambu, namun perebutan pengaruh sejatinya berhenti ketika Gunung Merapi meletus di awal Abad 11 Masehi.
Di penghung abad 8, setelah Dharmasetu, menjadi penerus kerajaan adalah Samaratungga. Ia berkuasa pada periode 792 M sampai 835 M. Samaratungga tidak lagi melakukan ekspansi militer seperti pendahulunya, tetapi lebih memilih untuk mengokohkan penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya pembangunan candi Borobudur dilakukan.
Menurut Prasasti Klurak (782 M) pembuatan Borobudur dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddha Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dan dilanjutkan oleh putranya, Samaratthungga, kemudian oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.
Memasuki medio awal abad 9, setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton menurut sumber dari Tiongkok, antara tahun 820-850 Masehi pemerintahan Jambi menyatakan sebagai kerajaan merdeka dan mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 853 dan 871. Kemerdekaan Jambi bertepatan dengan dengan diusirnya Balaputradewa dari Jawa setelah gagal menyingkirkan kekuasaan Rakai Pikatan yang merupakan iparnya dari wangsa Sanjaya.
Di awal abad 10 Masehi, dari prasasti Mantyasih yang diketemukan di Mantyasih, Kedu, Jawa Tengah, berangka tahun 907 M dan ditulis menggunakan bahasa Jawa Kuno, dapat diurai daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Balitung, yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watukura Dyah Balitung; untuk itu prasasti Mantyasih – Kedu ini juga disebut dengan prasasti Balitung.
Pada tahun 929 Masehi, diduga akibat letusan Gunung Merapi, Raja Mataram, Mpu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Menurut catatan sejarah, tempat baru tersebut adalah Watugaluh yang terletak di tepi Sungai Brantas, sekarang kira-kira berlokasi di wilayah Kabupaten Jombang (Jawa Timur). Kerajaan baru ini tidak lagi disebut Mataram, melainkan Medang. Namun demikian, beberapa literatur masih menyebutnya sebagai Mataram.
Menurut data vulkanologi, Gunung Merapi di sekitar awal abad 11 M atau akhir abad 10 M mempunyai sejarah letusan teramat besar, hingga sanggup meruntuhkan dinding barat dayanya dan mengalirkan milyaran ton material vulkanik yang selanjutnya membentuk Pegunungan Menoreh, membentuk perbukitan Gendol dan mengubur Candi Borobudur.
Sedangkan di sekitar tahun 929 M pula —di Desa Candirejo Kec. Loceret Kab. Nganjuk—, Mpu Sindok memimpin perang gerilya dan terjadi pertempuran hebat antara prajurit Empu Sindok melawan bala tentara kerajaan Melayu (Sriwijaya). Empu Sindok memperoleh kemenangan gemilang dan dinobatkan menjadi raja bergelar Sri Maharaja Mpu Sindok Ishana Wikrama Dharma Tungga Dewa. Kemudian, untuk menghindari serangan Sriwijaya berikutnya Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan di Jawa lebih ke timur. Mpu Sindok memerintah Medang sampai meninggal pada tahun 947 Masehi.
Untuk mengenang kemenangannya tersebut, didirikan sebuah tugu bernama Jaya Stamba dan sebuah candi atau Jaya Merta. Terhadap masyarakat desa, karena jasa-jasanya dalam membantu pertempuran, Empu Sindok memberikan hadiah sebagai desa perdikan atau desa bebas pajak dengan status Anjuk Ladang pada tanggal 10 April 937 M.
Semenjak abad ke-8, Kerajaan Melayu (Sriwijaya) selalu berusaha menjadikan kerajaan-kerajaan di pulau Jawa sebagai daerah taklukannya. Usaha tersebut terus berlangsung hingga Raja Medang terakhir, Dharmawangsa. Sekutu Kerajaan Melayu (Sriwijaya) di Jawa pada saat itu adalah Raja Sri Jayabupati dan Raja Wurawari.
Di tahun 960, Kaisar pertama Dinasti Sung berhasil memulihkan ketertiban atas seluruh negerinya dan Kanton dibuka kembali sebagai pelabuhan niaga terbuka. Sesudah itu, segera tercatat perutusan-perutusan yang datang dari Nusantara, dimana sembilan diantaranya datang dari Sriwijaya, sementara dua utusan berasal dari Jawa dan Bali.
Selain dari Tiongkok, terdapat pula beberapa referensi dari saudagar dan ahli geografi Arab serta Parsi. Referensi tersebut dibuat berdasarkan minat pada komoditi perdagangan. Produk Sriwijaya didaftarkan seperti timah, emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga dan kapur barus. Bahkan, Ibn Al-Fakil, seorang penulis Arab, pada abad 10 mencatat dengan serius bahwa beo dari Sumatra punya reputasi tersendiri. Burung-burung itu disebutkannya sanggup bicara dengan bahasa Arab, Parsi, Yunani dan Hindustani. Pada masa itu, Cula badak dari Sumatra dianggap punya kualitas pengobatan yang diakui sebagai komoditi sangat berharga.
Di tahun 991 Masehi, muncul nama Dharmawangsa Teguh (991-1016) sebagai penerus Mpu Sindok. Sebagaimana pendahulunya, ia gigih memerangi Sriwijaya. Sri Dharmawangsa Tguh Anantawikramottunggadewa adalah pengganti Makutawangsawardhana. Selain menghalau Sriwijaya, pengaruhnya juga sangat besar di Bali sebagaimana nampak pada prasasti-prasasti Bali yang semula berbahasa Bali namun sejak tahun 989, terutama sesudah tahun 1022, sebagian besar tertulis dalam bahasa Jawa Kuno.
Dharmawangsa Teguh merupakan raja Medang terakhir. Ia mengadakan sejumlah penaklukan, termasuk ke Bali dan mendirikan koloni di Kalimantan Barat. Selain itu, ia dikenal pula sebagai patron penerjemahan Kitab Mahabharata ke dalam Bahasa Jawa Kuno, dan pada masa pemerintahannya disusun pula sebuah kitab hukum Siwasasana pada tahun 991. Di masa kekuasaannya pula, Carita Parahyangan ditulis dalam Bahasa Sunda, yang menceritakan kerajaan Sunda dan Galuh. Adapun pendapat lain perihal masa kekuasaan Dharmawangsa Teguh yaitu antara 985-1006 Masehi.
Di tahun 992 Masehi, tercatat duta-duta datang ke Tiongkok dari Sriwijaya maupun Jawa. Duta dari Sumatera yang sudah meninggalkan Kanton pada musim semi tiba-tiba kembali lagi. Ketika sampai di pantai Champa (Vietnam bagian selatan) diperolehnya kabar bahwa negerinya sedang diserbu oleh Jawa. Duta tersebut segera meminta supaya kaisar menyatakan bahwa Sriwijaya berada dibawah perlindungan kaisar Tiongkok. Sementara duta Jawa memberikan kisah berbeda. Dikatakannya dalam nada protes bahwa antara raja mereka dan Sriwijaya memang selalu ada perang terus-menerus.
Menurut Krom dan pakar-pakar sejarah Jawa yang lebih tua, Dharmawangsa disebutkan memulai suatu program penaklukan yang ambisius. Dia menaklukan Bali dan menggempur Sriwijaya. Akan tetapi, Sriwijaya membalas serangan hingga ke wilayah Jawa timur dimana kraton dapat dihancurkan dan rajanya berhasil dibunuh. “seluruh pulau Jawa ketika itu seperti lautan purba (lautan bencana)”.
Memasuki abad 11 Masehi, kepopuleran Sriwijaya sebagai patron agama Buddha di timur semakin meninggi keharumannya. Seorang raja Sriwijaya memerintahkan pembangunan sebuah candi di Negapatnam, di wilayah penguasa Chola yang kuat di India. Menurut Coedes, Chola terletak di pantai Coromandel (Cholamandala).
Selain itu, sumber Tibet dan Nepal mencatat pula perihal kepopuleran candi-candi suci Budhis di Sumatra. Disebutkan Atisha, reformator besar Budhisme di Tibet, pergi belajar selama 12 tahun (1011-1023) di ibukota Sriwijaya di tepi Sungai Musi. Duta-duta Sriwijiya juga secara teratur mengunjungi Kanton, tempat dimana mereka meminta lonceng-lonceng untuk candi yang mereka bangun untuk raja mereka. Dan, konon di situlah rakyat mereka berdoa agar kaisar Tiongkok diberi umur panjang.
Di tahun 1006, Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan, ibu kota Kerajaan Medang, yang tengah mengadakan pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga lolos dalam serangan itu. Airlangga putra Mahendradatta raja Bali, berhasil lolos sewaktu terjadi gelombang penyerangan tersebut. Saat itu Airlangga berusia 16 tahun. Bersama Narottama ia bersembunyi di hutan pegunungan (Wanagiri) mengikuti para pertapa dan setelah dewasa kawin dengan sepupunya, anak dari Dharmawangsa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Pendapat lain menyebutkan penyerangan yang mengakibatkan Dharmawangsa Teguh pralaya (gugur) terjadi pada tahun 1016 M. Tentang kehancuran kekuasaannya, menurut prasasti batu Calcutta, seluruh Jawa bagaikan satu lautan yang dimusnahkan oleh raja Wurawari. Keras dugaan bahwa yang berdiri di belakang penyerangan terhadap Dharmawangsa sebenarnya Sriwijaya. (*)