“Idul Fitri pada masa keultanan Iskandar Muda begitu meriah karena menjadi bagian dari tata upacara kerajaan. Dalam pembacaan para sejarawan, tata kerajaan tersebut menjadi sebuah strategi kebudayaan. Tidak hanya melahirkan tata aturan budaya dan perangkatnya yang indah, tetapi juga menciptakan soliditas negara.”
Aceh di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda berhasil pula membangun undang-undang atau “kanun” pengatur negri yang kemudian dikenal sebagai “Adat Mahkota Alam”. Pada masa inilah Aceh mencapai puncak kejayaan yang sangat mengesankan.
Seluruh Tanah Melayu sampai di kepulauan Riau, Inderagiri dan pantai-pantai timur (Aru, Langkat, Asahan, Labohan Batu) dan pesisir barat Pulau Perca dari Tapak Tuan, Singkel, Barus, Sinabang, kepulauan Nias, Air Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, sampai ke Inderapura menjadi daerah bawahan Aceh. Tanah Aceh diberi nama Darus-Salam. Istana raja bernama Darud Dunia. Masjid istana diberi nama Baiturrahim dan masjid besar (umum) bernama Baiturrahman. Kekuatan pasukan Aceh pada masa itupun diperkuat pula oleh tentara berkebangsaan Turki, Habsy, Kabul (Afghanistan) dan Hindustan (India).
Amirul Hadi, pengajar UIN Ar-raniry Banda Aceh, dalam bukunya Islam and State in Sumatra; A Study of Seventeenth Century Aceh (2004) mencatat beberapa strategi kebudayaan yang dilakukan di masa kekuasaan Iskandar Muda di abad ke-17 guna menjaga soliditas negara. Hasil dari strategi itulah yang kemudian dicatat oleh sejarah menjadi zaman keemasan yang pernah dialami oleh Kesultanan Aceh Darussalam.
Salah satu prestasi Aceh di medio awal abad 17 adalah kegiatan perayaan-perayaan penting dengan segala aturan dan perangkatnya. Perayaan yang dilakukan ini memiliki makna serta peruntukkan yang berbeda-beda. Sisi kegunaannya tergantung dari apa momentum yang ada.
Peristiwa politik memiliki perayaan tersendiri yang diselenggarakan guna memberi kesan kebesaran dan kemegahan singgasana Aceh di mata utusan-utusan negara lain. Sedangkan peristiwa agama, memiliki hal khusus yang bahkan Sultan Iskandar Muda sendiri sebagai seorang raja yang sangat jarang membuka diri ke publik, harus memimpin sendiri perayaan itu. Perayaan hari raya keagamaan mengandung makna integritas dan kesetiaan bagi para "makmum" kepada "imamnya", dimana hukum dan adat negeri Aceh memang diazaskan menurut syariat Islam.
Disebutkan bahwa, dengan berakhirnya bulan Ramadan, perayaan pertama Syawal—dulu dan sekarang menjadi salah satu hari raya keagamaan terpenting di Aceh, sama seperti di belahan dunia Islam lainnya. Acara ini juga dirayakan secara terbuka oleh Sultan, yang akan pergi ke masjid dalam prosesi penuh kenegaraan untuk mengikuti ritual shalat 'Id.
Upacara seperti yang digambarkan oleh Adat Aceh, dimulai dengan kedatangan penghulu bilal ke istana untuk meminta tongkat khutbah disampaikan. Meminta persetujuan kerajaan untuk menabuh genderang. Persetujuan kerajaan kemudian diberikan. Pembawa pesan yang bertanggung jawab membawa pedang kerajaan maju ke depan untuk memberi penghormatan dan meminta pedang tersebut guna memulai prosesi, pelayan sirih kerajaan dan kantong sirih.
Ketika permintaan itu dikabulkan, pembawa berita itupun membawa pedang, diikuti oleh semua peserta lain yang ditempatkan sesuai dengan pangkatnya. Para kepala suku, sesuai urutannya, juga menempati posisi mereka di Balai Pedang. Kemudian datanglah qadi malik al-'adil yang memberi hormat kepada Sultan dan memintanya untuk berangkat ke masjid Bayt al-Rahman untuk shalat I'd. Genderang ditabuh, dan raja berangkat ke masjid diikuti oleh pedang kerajaan yang dibawa oleh seorang bintara, semua atribut lain dari prosesi kerajaan (segala alat pawai) dan semua kepala disusun dalam urutan yang hirarkis. Prosesi tersebut juga dihadiri oleh para sufi, sharif, imam, khatib, hafiz, qorì, dan mereka yang memimpin pembacaan takbìr dan dzikir. Semua orang ini berbaris di sepanjang jalan menuju gerbang utama Dalam (keraton).
Ketika arak-arakan telah pergi, para kepala suku menghadapkan wajah mereka ke arah Sultan dan memberi hormat, lalu mengikuti Sultan dalam perjalanannya ke masjid. Saat arak-arakan mendekati masjid, para pemimpin maju ke depan dan mengambil posisi di sisi kanan gerbang utamanya, menyambut penguasa dengan memberi hormat. Sang penguasa kemudian memasuki masjid. Sesampai di tembok mesjid, kendang ditabuh sesuai irama ragam siwajan.
Baik qadi malik al-'adil dan faqih seri rama faqih kemudian bergegas ke ceruk pintu pribadi penguasa, dan berdiri di depannya. Setelah melakukan berbagai ritual, Sultan menuju ke tempat pribadinya di mana qad dan faqih menyambutnya dengan kata-kata al-salamu 'alaykum wa rahmat Allah ya daulat Makuta (damai dan rahmat Tuhan menyertaimu wahai Yang Mulia Makuta [Iskandar Muda]).
Semua sudah siap untuk ritual 'Id. Para pemimpin mengambil posisi mereka dalam urutan peringkat, sementara itu di ceruk, penguasa melakukan dua raka'at sunnah ta'iyyat al-masjid. Kemudian, imàm memimpin pembacaan takbìr (mengucapkan kata: Allàh Akbar, artinya Allah Yang Maha Besar), yang diulang sebanyak mungkin (barang sedapatnya).
Sholat 'Id dimulai ketika bilal muncul dan diucapkan dengan lantang al-salah jami'ah ra'imakum Allah (semoga sholat dilakukan secara berjamaah, semoga Allah merahmatimu). Imam kemudian melangkah maju dan memimpin shalat, yang terdiri dari dua rakaat dan satu salam. Pada rakaat pertama ada tujuh takbìr yang dibacakan, sedangkan pada rakaat kedua hanya lima. Ini merupakan tambahan dari takbir salat biasa. Setelah shalat dua rakaat, bilal maju dan menyerahkan tongkat khutbah kepada khatìb yang kemudian menyampaikan khotbah 'Id-nya. Ketika ini dilakukan, semua kepala datang untuk mempersembahkan kesetiaan mereka kepada penguasa. Kemudian arak-arakan dirombak agar bisa kembali ke keraton. Dapat dikatakan bahwa bagian dari upacara ini pada dasarnya sejalan dengan apa yang ditentukan dalam teks-teks fikih standar.
Para pemimpin mengambil posisi mereka di luar masjid, membawa pedang mereka dan menunggu penguasa untuk memberi hormat sementara dia berjalan kembali ke howdah yang dibawa gajah yang akan dia tempati dalam perjalanan pulang. Sementara itu, semua orang yang ikut dalam prosesi itu, termasuk bintara yang membawa pedang kerajaan, para pejabat negara dan para prajurit, berkumpul dalam urutan yang telah ditentukan. Saat penguasa mendekati gajahnya, berbagai irama dimainkan pada instrumen dan drum. Selama prosesi pulang itu sendiri, senjata berat yang dipasang di atas gajah lain ditembakkan. Saat arak-arakan tiba di alun-alun keraton yang disebut Medan Khayyali, seluruh petinggi dan pejabat negara turun dari gajahnya dan berjalan perlahan mengiringi gajah kerajaan masuk ke dalam keraton. Sementara itu, kendang ditabuh mengikuti irama ragam siwajan.
Di Balai Uleebalang ada beberapa kepala suku yang berdiri berurut-urutan menunggu untuk menyambut penguasa. Pada saat penguasa memasuki Balai Besar, semua kepala suku telah memberi hormat kepadanya. Pedang kerajaan diangkat untuk menghormati penguasa. Sedangkan gendang ditabuh mengikuti irama ragam kuda berlari.
Semua kepala pimpinan, pejabat, dan prajurit mengikuti upacara pedang dengan penuh kekhidmatan. Ketika raja sampai di panggung, yang disebut Biram Penting, tempat ia turun, para pengawal dan pejabat senior rumah tangga kerajaan siap menyambutnya dengan menaburkan howdah kerajaan dengan nasi kuning dicampur kertas emas. Kemudian penguasa memasuki kamar pribadinya. Akhirnya, perintah kerajaan diberikan bahwa semua kepala suku harus kembali ke tempat-tempat tugasnya. (*)