top ads
Home / Telik / Sejarah / Hijrah Pangeran Diponegoro - [Bagian 2 Diponegoro]

Sejarah

  • 79

Hijrah Pangeran Diponegoro - [Bagian 2 Diponegoro]

  • January 20, 2023
Hijrah Pangeran Diponegoro - [Bagian 2 Diponegoro]

Perang Jawa yang dipelopori Pangeran Diponegoro menjadi pertempuran panjang, nyata telah menyedot sumber daya kolonial. Pembangunan benteng pertahanan dilakukan secara masif untuk menghalau perlawanan rakyat yang setia pada Diponegoro.

 

 

Selain soal Jawa dan Mataram, Perang Jawa juga memiliki peran penting bagi masa depan Indonesia. “Benang halus antara keprihatinan ekonomi dan pengharapan akan Ratu Adil menciptakan gerakan dengan jangkauan sosial luar biasa, yang dalam beberapa segi merupakan pendahulu bagi gerakan kebangsaan awal abad ke-20”, kata Peter Carey.

 

Karena gerah melihat ulah Belanda dan gaya hidup ala Barat di Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro menyingkir. Selain menggalang kekuatan, dia mempersiapkan kebutuhan logistik. Salah satunya dengan memborong persediaan beras di pasar-pasar di daerah Kedu dan Yogyakarta.

 

Karena menolak untuk bertanggungjawab, Residen Yogyakarta Smissaert memerintahkan pasukannya menyerang dan membakar markas Diponegoro di Tegalrejo pada 21 Juli 1825. Tiga minggu kemudian, Diponegoro membalas dan menyerang Yogyakarta. Perang Jawa pun pecah secara terbuka.

 

Menurut Saleh A. Djamhari, dosen Sejarah Universitas Indonesia, dalam kurun 1825-1826, karena unggul jumlah pasukan, Diponegoro mengandalkan taktik ofensif. Namun, setelah pertempuran di Gawok, strategi ini tak lagi dipertahankan.

 

Sebaliknya, karena jumlah pasukannya terbatas, Jenderal de Kock mengunggulkan strategi mobilitas melalui operasi pengejaran. Tetapi strategi ini berakibat fatal. Banyak prajuritnya tewas; bukan karena bertempur tapi kelelahan, sakit karena epidemi, cuaca buruk, dan medan yang berat.

 

“Berdasarkan pengalaman tersebut pada 1827 Jenderal de Kock memperkenalkan strategi baru yang dikenal dengan Stelsel Benteng,” kata Saleh dalam bukunya Strategi Menjinakan Diponegoro, Stelsel Benteng 1827-1830.

 

Dengan strategi ini, di setiap wilayah yang berhasil dikuasai, Belanda membangun benteng pertahanan; kemudian infrastruktur yang menghubungkan setiap benteng.

 

Peter Carey mengatakan, bahwa Stelsel Benteng merupakan kunci sukses de Kock melawan Diponegoro. Dari Mei 1827 sampai Maret 1830, de Kock membangun sekira 258 benteng (Saleh menyebut 265 benteng) di seluruh Jawa tengah dan timur, terbanyak (90 benteng) dibangun pada 1828.

 

“Benteng Stelsel dirintis perwira kepala zeni, Kolonel Cochius, yang jauh sebelum Perang Jawa memiliki keahlian membangun sistem perbentengan semacam itu,” kata Carey.

 

Stelsel Benteng mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Perlahan-lahan moril pasukannya pun turun. “Karena itu banyak di antara pasukan Diponegoro yang terpaksa menyerah,” kata Saleh.

 

Bahkan Sentot Alibasah, panglima pasukan Diponegoro, menyerah kepada Kolonel Cochius pada Oktober 1829.

 

Menurut Saleh, selama perang, peranan para ilmuwan jarang disebut. Misalnya, De Kock mengerahkan beberapa ahli yang dipimpin Rooda van Eisinga untuk melakukan kajian budaya, terutama watak dan karakter bangsawan Jawa serta nilai-nilai yang dianutnya. Hasil kajian itu memberikan kontribusi penting bagi proses pengambilan keputusan dan perlakuan terhadap Diponegoro.

 

Tatkala menerima laporan keberadaan Diponegoro dan sisa pasukannya di hutan Remojatinegara, de Kock mengambil keputusan yang tak pernah diperkirakan bawahannya. Dia memerintahkan Kolonel Cleerens untuk membujuk Diponegoro agar mau berunding. Jawaban ya dari Diponegoro sudah cukup bagi de Kock.

 

Dengan satu kata ya, de Kock telah memenangi peperangan dan menaklukkan orang Jawa tanpa merendahkan martabatnya. Kesuksesan misi Cleerens membawa Diponegoro ke Magelang, merupakan salah satu sukses kajian budaya dalam rangka Stelsel Bentang sebagai sistem senjata.

 

Di hari Minggu 28 Maret 1830, setelah lebaran, suasana Magelang masih ramai. Ditambah lagi kedatangan panglima Perang Jawa, Diponegoro, ke Magelang untuk memenuhi undangan Hendrik Merkus Baron De Kock, panglima tentara Belanda dalam Perang Jawa. Diponegoro diringi pengikutnya dari Metesih ke tempat pertemuan di rumah residen Kedu.

 

Namun tiga hari sebelumnya, De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada dua orang perwira infanteri seniornya, Louis du Perron dan A.V. Michiels, agar mempersiapkan pasukannya ketika Diponegoro datang. Dengan demikian, menurut Peter Carey, tentara harus tetap siaga di tangsi-tangsi mereka dan kuda kavaleri sudah dipasang pelana, sehingga begitu perintah pertama dikeluarkan, semua anggota tentara sudah dapat langsung berkumpul dengan senjata lengkap.

 

De Kock hadir didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (seorang perwira de Kock), Mayor F.V.H.A. de Stuers dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs. Sementara Diponegoro didampingi tiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan panglimanya, Basah Mertanegara.

 

“Sebaiknya Tuan tidak usah kembali ke Metesih, tinggal disini saja bersama saya”. Meluncur ucapan de Kock membuka percakapannya dengan Diponegoro.

 

“Mengapa saya tidak diizinkan untuk kembali? Apa yang harus saya lakukan di sini? Saya hanya datang untuk beramah-tamah, seperti kebanyakan orang Jawa setelah akhir bulan puasa”. Begitu jawab Diponegoro, seperti ditulis Peter Carey dalam Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme.

 

De Kock mulai serius. “Saya akan menahanmu supaya masalah selama ini lekas selesai.”

 

Suasana mulai berubah. Semua yang hadir tegang. “Ada masalah apa Jenderal? Sesungguhnya, saya tidak merasa ada masalah, saya juga tidak menaruh benci kepada siapapun,” sahut Diponegoro.

 

Mertanegara juga menyela, supaya masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. “Tidak! Terserah Pangeran setuju atau tidak, saya akan menuntaskan masalah politik hari ini juga!”, potong De Kock dengan nada tinggi.

 

“Heh Jenderal, kamu sangat jahat. Buru-buru memutuskan dan tidak dibicarakan selama bulan puasa. Hatimu busuk, jika tahu begini aku tidak akan membiarkan dua utusanmu (Clerens dan Ali Basah) ke Bagelen,” balas Diponegoro.



Diponegoro lalu menjelaskan bahwa dirinya tidak memiliki keinginan lain, kecuali kepala agama Islam di Jawa dan gelarnya sebagai sultan. Namun, De Kock langsung meminta Roest agar memerintahkan du Perron menyiapkan pasukan.

 

“Jika begini situasinya, ini karena sifat jahatmu. Saya tidak takut mati! Sekarang tidak ada lagi tersisa kecuali dibunuh. Saya tidak bermaksud menghindarinya,” ucap Diponegoro.

 

De Kock terhenyak mendengar ucapan Diponegoro. Wajahnya tertunduk. “Memang Tuan, saya tidak ada niatan membunuhmu. Tetapi tidak tepat memenuhi semua keinginanmu disini”, jawabnya lirih.

 

Diponegoro cepat mengendalikan diri. “Jadi Diponegoro pernah berdebat dalam diri sendiri apakah patut dia menghunus keris dan membunuh Jenderal De Kock, tapi pada akhirnya merasa bahwa itu tidak patut dan layak bahwa seorang pangeran keraton Yogya merendahkan diri dan bertindak seperti orang pengamuk. Jadi dia pasrah saja kepada takdir.” Begitu ditulis Peter Carey dalam surelnya kepada Historia berkenaan dengan penangkapan Diponegoro.

 

Diponegoro pun menghampiri beberapa pengikutnya. Semua tertunduk. Dia lalu mengambil secangkir teh, meminumnya, kemudian beranjak keluar. Kereta kuda residen yang telah dipersiapkan di depan rumah segera membawa Diponegoro menuju tanah pengasingan.

Jurnalis :Bayu Widiyatmoko
Editor :Jajang Yanuar
Illustrator :Rahma Monika
Infografis :Rahma Monika
side ads
side ads